Alam Dongtian berada di ambang kehancuran. Tatanan surgawi mulai retak, membuka jalan bagi kekuatan asing.
Langit menghitam, dan bisikan ramalan lama kembali bergema di antara reruntuhan. Dari barat yang terkutuk, kekuatan asing menyusup ke celah dunia, membawa kehendak yang belum pernah tersentuh waktu.
Di tengah kekacauan yang menjalar, dua sosok berdiri di garis depan perubahan. Namun kebenaran masih tersembunyi dalam bayang darah dan kabut, dan tak seorang pun tahu siapa yang akan menjadi penyelamat... atau pemicu akhir segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YanYan., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Kekacauan
Langit siang merunduk kelam di ufuk barat. Zhang Wei melesat sendirian, mengikuti jejak samar kekuatan jiwa Gurita Pemakan Jiwa yang sempat terdeteksi sebelum menghilang. Keheningan di sekelilingnya terasa ganjil, seolah dunia tengah menahan napas.
Di dalam kesadarannya, suara Lian Xuhuan bergema lirih namun mengandung tekanan.
“Bahkan di masa jayaku, tak ada satu pun dari makhluk kolosal yang berani menembus batas wilayah mereka tanpa alasan. Ini lebih dari sekadar kegilaan sesaat. Sesuatu telah bangkit…”
Zhang Wei mengerutkan kening. Kecepatan terbangnya bertambah, kabut kelabu membungkus tubuhnya rapat seperti jubah jiwa.
Beberapa saat kemudian, tanah di bawahnya berubah drastis. Pohon-pohon hangus, padang yang tadinya hijau kini retak seperti baru saja dilanda gempa maha dahsyat. Suara angin menggulung membawa aroma daging terbakar dan darah yang mulai mengering.
Zhang Wei turun.
Lalu dia melihatnya.
Puluhan… tidak, ratusan jasad tergeletak di lereng dan lembah kecil yang membentuk arena pertempuran. Tubuh-tubuh muda, mengenakan jubah dari berbagai faksi besar. Mata terbuka, sebagian membatu dalam ketakutan, sebagian lain telah hancur sepenuhnya. Beberapa masih menggenggam senjata mereka… ada yang bahkan tubuhnya terbelah menjadi dua, seakan diterkam makhluk yang luar biasa kuat.
Zhang Wei melangkah pelan, memeriksa sekitar. Jejak-jejak cakar raksasa menghancurkan bebatuan, pepohonan tercabik seperti kertas. Ada bekas luka bakar, goresan petir, dan sisa-sisa racun di tanah.
“Ini bukan ulah makhluk tunggal…” gumamnya. “Lebih dari satu… dan mereka bukan binatang biasa.”
Lian Xuhuan menjawab lirih, napasnya seakan menahan duka.
“Tanda-tandanya jelas. Para kolosal lain ikut bergerak. Aku bisa merasakannya… mereka semua telah bangkit dari tempat mereka masing-masing.”
Zhang Wei mengepalkan tangannya. Makhluk-makhluk kolosal yang selama ribuan tahun menjaga tempat terlarang di alam rahasia Qianlong. Mereka bukan sekadar binatang roh. Mereka adalah penjaga neraka yang diam karena kontrak dunia, dan kini… dunia membiarkan mereka bebas?
Sebuah suara gemetar menarik perhatiannya.
Dari balik batu besar, seorang kultivator muda yang sekarat menggenggam perutnya yang robek. Napasnya tersengal, darah merembes deras.
“… mereka… mereka muncul tiba-tiba… dari tanah, dari langit… kami tak bisa lari… semua mati… semua…”
Zhang Wei berjongkok, menyentuh dahinya, menyampaikan aliran qi untuk mengurangi rasa sakitnya. Tapi jiwanya sudah terlalu rusak. Dalam hitungan detik, tubuh itu melemas dalam damai.
Zhang Wei berdiri pelan.
“Jika makhluk-makhluk itu mulai bergerak... maka kita sedang menuju sebuah bencana besar yang tak pernah tercatat dalam sejarah.”
Dia menatap jauh ke barat, aura kelabu mulai membumbung dari tubuhnya. Tidak lagi sekadar pengawasan.
Dia akan masuk lebih dalam. Dia akan mencari kebenaran.
Namun yang belum dia ketahui… dunia perlahan bergerak menuju kehancuran yang terencana.
***
Langit di atas Hutan Malam Hijau tak lagi bersinar. Cahaya matahari tertahan oleh pusaran energi hitam kehijauan yang melingkar di langit seperti mata raksasa yang mengawasi. Tanah gemetar, udara terasa berat seperti membawa beban dari ribuan tahun silam.
Empat makhluk kolosal mengelilingi kuil purba di tengah hutan. Tubuh mereka membentuk lingkaran sempurna, membatasi siapa pun yang hendak masuk. Masing-masing makhluk itu merupakan legenda hidup yang seharusnya hanya disebut dalam kitab-kitab kuno.
Di utara, naga batu dengan sisik kelam seperti granit tua, berdiri dengan kaki-kaki sebesar menara. Punggungnya dipenuhi bebatuan tajam yang berdenyut seperti jantung bumi.
Di selatan, phoenix berwarna salju hitam, bulu-bulunya memantulkan kilau dingin, seperti kristal yang terkutuk. Dari sayapnya mengalir angin es yang tak berjiwa.
Di timur, seekor ular baja bercula sepuluh melingkar di antara pepohonan mati. Setiap geraknya menimbulkan gesekan logam yang memekakkan telinga.
Di barat, gurita pemakan jiwa dengan tubuh sobek dan tentakel yang koyak, masih menunjukkan ketaatan mutlak pada sosok yang berdiri di atas kepalanya.
Empat siluman berdiri gagah di atas keempat kolosal itu. Aura mereka beresonansi dengan makhluk tunggangan masing-masing, menciptakan simfoni tekanan jiwa yang mengguncang hutan.
“Ini tak seperti yang kubayangkan.” Pemuda bersisik hijau di atas gurita menyipitkan mata ke arah pusat altar. “Entitas seperti apa yang bisa melukai mahluk kolosal separah ini?.”
Dari lidah bercabangnya mengalir uap kehijauan—racun abadi yang bisa meretakkan tulang dengan hanya satu helaan. Gurita di bawahnya mengerang pelan, tapi tak bergerak.
“Guo Shi, diamlah. Jangan ganggu fokus Kui,” seru sosok berambut perak dari atas phoenix, nadanya tetap tenang walau matanya bersinar dingin. “Kalau kau terlalu berisik, Kui bisa terganggu.”
Phoenix di bawahnya mengepak perlahan, menciptakan pusaran es yang membungkam seluruh arah angin.
Guo Shi menyeringai tipis. “Dia masih terluka parah. Jika yang melakukannya muncul sekarang, aku akan melahapnya.”
“Justru karena itu kau harus diam,” timpal pemuda ramping di atas naga batu. Api kehancuran menari-nari di kedua lengannya. “Yan Nuo juga ingin sekali melawan orang itu… tapi kita punya tujuan yang lebih penting.”
Guo Shi melirik tajam. “Kau masih bermain dengan apimu, Yan Nuo. Fokusmu buruk.”
Lang Ke yang berdiri tegak di atas kepala ular baja menurunkan jubahnya sedikit. Mata gelapnya menyapu ke arah Guo Shi. “Kalau kau ingin mati duluan, teruskan saja berbicara. Tapi jangan ajak kami ikut.”
Semua sunyi seketika, hingga satu suara bergema dari pusat altar.
“Diam.”
Satu kata. Tak ada nada keras. Tapi seluruh tekanan di tempat itu seolah membeku.
Sosok berjubah hijau gelap perlahan membuka telapak tangannya. Di depannya, segel kuno mengambang—seperti matahari mini yang dibungkus belenggu cahaya kehijauan. Tangan-tangannya melayang pelan, membentuk mudra yang tidak bisa dikenali siapa pun.
Cahaya dari altar berdenyut lebih cepat, hingga akhirnya sebuah retakan muncul dari dalam cahaya itu. Retakan tak bersuara, namun langit mengerang.
“Segel kedua akan terbuka,” gumam Lang Ke, pelan tapi dalam.
“Dan dunia akan mengingat hari ini…” bisik Lei Mo dari atas phoenix salju hitam.
Guo Shi menyipitkan mata, menatap altar dengan tatapan tajam. Gurita di bawahnya gemetar seperti mengenali energi yang hendak dibebaskan. “Kui… lebih dari yang kita bayangkan.”
Yan Nuo tersenyum bengis. Api kehancurannya memanjang seperti lidah iblis. “Kalau segel kedua saja sudah seperti ini… bagaimana dengan yang ketiga?”
Di tengah kuil, Kui tetap berdiri tanpa berkata apa pun. Mata peraknya menyala, menatap dalam pada retakan di hadapannya.
Ia bahkan tak perlu menjawab.
Karena jawaban akan datang bersama kehancuran.
tetap semangat berkarya Thor, msh ditunggu lanjutan cerita ini