Gara-gara fitnah hamil, Emily Zara Azalea—siswi SMA paling bar-bar—harus nikah diam-diam dengan guru baru di sekolah, Haidar Zidan Alfarizqi. Ganteng, kalem, tapi nyebelin kalau lagi sok cool.
Di sekolah manggil “Pak”, di rumah manggil “Mas”.
Pernikahan mereka penuh drama, rahasia, dan... perasaan yang tumbuh diam-diam.
Tapi apa cinta bisa bertahan kalau masa lalu dari keduanya datang lagi dan semua rahasia terancam terbongkar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon
IG: Ijahkhadijah92
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akad dan Duka
Suasana di ruang VIP rumah sakit itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Hanya ada suara mesin monitor dan detak jantung pelan dari tubuh lemah Ardiansyah Alfarizki yang terbaring di ranjang. Wajahnya pucat, oksigen terpasang di hidung, namun matanya tak lepas menatap dua sosok yang berdiri di hadapannya.
Dian sudah sadar, tapi dia hanya mencari Haidar, anak satu-satunya. Dari tadi ia meminta Haidar untuk menikah. Akhirnya setelah keluarga Emily menyetujui pernikahannya, mereka segera mengurus berkas. Sangat mudah bagi Rakha, dia tinggal mengutus asistennya. Setelah semua berkas siap dan penghulu datang, mereka berkumpul kembali.
Haidar memakai kemeja putih sederhana dan celana bahan gelap. Rambutnya disisir rapi, meski jelas tampak ketegangan di wajahnya. Sementara Emily mengenakan gamis putih susu dan kerudung instan abu-abu, wajahnya sedikit sembab karena sempat menangis sebelum menuju rumah sakit. Emily menangis karena tidak menyangka dengan jalan hidupnya. Dan sebenarnya dia juga masih mencintai pacarnya.
Di sisi tempat tidur, Indira memegangi tangan suaminya, Rakha, yang terus-menerus mengepalkan jemari seperti menahan gemuruh di dada. Soraya juga terlihat tak kuasa menahan tangis.
Seorang penghulu duduk tak jauh dari mereka, di sampingnya Ardiansyah terbaring dengan senyuman tipisnya.
"Saudara Haidar Zidan Alfarizki bin Ardiansyah Alfarizki," ujar sang penghulu dengan suara tenang, "Apakah Anda sudah siap?"
Semua mata tertuju pada Haidar yang duduk tepat di depan Rakha. Dia menoleh ke arah Emily sejenak, menatap matanya yang jernih namun penuh tekanan. Lalu, dia menghela napas panjang dan mengangguk mantap.
Ijab kabul dimulai dengan tangan Rakha menggenggam tangan Haidar dengan pasti.
"Saudara Haidar Zidan Alfarizki, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri saya Emily Zara Azalea dengan mas kawin berupa logam mulia tujuh belas gram dan satu set perhiasan emas murni sepuluh gram, dibayar tunai."
"Saya terima nikah dan kawinnya Emily Zara Azalea binti Rakha Raditya Azhari dengan mas kawin yang tersebut, dibayar tunai."
Semua berlangsung dalam satu tarikan napas. Sederhana, tapi sakral.
Sejurus kemudian, suara tangis pecah dari mulut Dian yang terbuka tipis. Ia tak mampu berkata-kata, hanya menggenggam tangan Rakha dengan lemah sambil menunjuk ke arah Emily dan Haidar.
"H-hati... papah... tenang..." gumamnya lirih, disambut isakan halus dari istrinya.
Haidar mendekat, menunduk di sisi ranjang papanya, lalu mencium punggung tangan lelaki yang telah membesarkannya itu. Air mata jatuh diam-diam di pipinya.
"Papah, sudah... sudah tenang ya... permintaan Papah sudah kamu laksanakan. T-terimakasih banyak, Nak... Jaga Emily dengan baik."
Dian tersenyum tipis, dan tatapannya beralih ke Emily yang kini berdiri kaku dengan wajah bingung dan sedih.
"Terima kasih... Emily, t-terimakasih, Nak..." suara itu nyaris tak terdengar, tapi cukup membuat Emily menggigit bibir bawahnya dan menahan air mata.
Emily perlahan mendekat, duduk di sisi ranjang seberang Haidar, di samping Indira. Ia menatap Dian dalam-dalam, lalu mengangguk kecil.
"Sama-sama, Om." jawab Emily serak.
Dian akhirnya menutup mata, masih dengan senyum tipis di wajahnya. Seolah napas terakhirnya ditutup dengan damai setelah melihat keinginan terakhirnya terkabul.
***
Suasana yang semula hangat karena ijab kabul baru saja terucap, perlahan berubah menjadi senyap yang menyayat.
Dian kembali membuka matanya, ia kembali memandang Emily dan Haidar dengan pandangan samar. Ia tersenyum, tipis dan sulit. Jemarinya perlahan bergerak, seolah ingin meraih tangan keduanya.
"Maafkan... Papa nggak bisa lama... lihat kalian bahagia..." suaranya lirih, seperti bisikan angin.
Haidar menggenggam tangan ayahnya dengan erat, matanya memerah.
"Jangan bicara seperti itu, Pa... Aku baru nikah, Papa harus lihat kami... lihat cucu-cucu Papa nanti..." suaranya pecah di ujung kalimat.
Dian tidak menjawab. Matanya menatap langit-langit dengan pandangan tenang, seperti sedang melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat siapa pun di ruangan itu.
Soraya menahan isak sambil memeluk bahu suaminya. "Mas... bertahan ya, sebentar lagi dokter datang..."
Setelah ijab kabul, dokter yang menangani Dian dan dua perawat yang tadi menyaksikan pernikahan Haidar dan Emily kembali menjalankan tugasnya.
Dian mengedip sekali. Lalu pandangannya mengarah lagi ke Haidar.
“Jangan... abaikan... hatimu. Dengarkan dia…”
Itulah kata terakhirnya.
Detik berikutnya, monitor detak jantung memancarkan garis lurus.
Tit...
Semua membeku.
Rakha secara refleks menekan bel panggil untuk memanggil dokter. Indira memeluk Emily yang kini berdiri terpaku dengan mata membesar dan mulut bergetar.
“P-papah?” suara Haidar pelan, tapi tak ada jawaban.
Dokter dan dua perawat masuk terburu-buru, memeriksa detak jantung, pupil, dan napas. Salah satu dokter menunduk dalam.
“Maaf... Bapak Ardiansyah telah tiada.”
Tangisan pecah di ruangan itu.
Haidar jatuh terduduk dan menangis keras. Soraya, yang mencoba tegar, perlahan menunduk dan mencium kening suaminya yang sudah dingin.
"Selamat jalan, Pa... terima kasih sudah mempercayakan Haidar..."
Emily, masih dalam pelukan ibunya, tak kuasa menahan air mata. Dia baru saja menjadi menantu dari seorang ayah yang bahkan belum sempat ia kenal lebih dalam. Seorang ayah yang rela mempertaruhkan napas terakhirnya hanya untuk menyaksikan dua anak muda bersatu dalam ikatan suci.
Dan kini, kepergian itu menjadi awal dari janji yang akan terus membekas dalam hidupnya.
***
Awan mendung menggantung di atas rumah keluarga Alfarizki. Jenazah Dian dibawa pulang ke rumah duka dengan mobil ambulans yang melaju perlahan. Suara isak dan takbir mengiringi sepanjang jalan, menyatu dengan detak hati mereka yang ditinggalkan.
Emily berdiri di teras rumah, mengenakan kerudung hitam yang sederhana. Tangannya menggenggam erat jemari Indira, sementara matanya menatap kosong pada jenazah yang baru saja diturunkan.
Haidar tak berkata sepatah pun. Ia berdiri di sisi jenazah, memandangi wajah ayahnya yang tertutup kain kafan. Pandangannya datar, tapi mata itu jelas menyimpan lautan luka yang tak sempat tumpah.
Para tetangga dan kerabat datang melayat, memberi belasungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan. Setelah salat ashar jenazah diantar ke pemakaman.
***
Pemakaman berlangsung dalam suasana khidmat dan sunyi. Doa-doa bergulir seperti embusan angin, menggema lembut di antara tanah yang digali dan bunga melati yang ditaburkan.
Hujan pun turun seperti mengetahui perasaan yang berkecamuk di dalam dada keluarga yang ditinggalkan.
Setelah semuanya selesai, keluarga dan pelayat perlahan meninggalkan rumah. Tinggalah Haidar, Soraya, Emily, Indira, dan Rakha di ruang tamu yang kini terasa terlalu luas dan dingin.
Menjelang malam, Indira mendekati Emily yang duduk bersimpuh di sudut ruangan.
“Em, kamu nggak ikut pulang, ya...” ucap Indira lembut sambil membelai punggung Emily.
Emily mengangkat wajahnya pelan, “Lho? Kenapa, Bunda? Aku ikut, ya? Di sini juga udah sepi banget.”
Rakha mendekat dan ikut duduk di dekat mereka. “Kamu sekarang sudah jadi istri, Sayang. Kamu harus temani Nak Haidar... Apalagi di hari-hari seperti ini. Papa tahu ini nggak mudah, tapi kamu bisa, kan?”
Emily terdiam. Ia menatap wajah kedua orang tuanya. Matanya berkaca-kaca.
“Aku… aku masih bingung, Pa, Bun... Aku bahkan belum sadar, ini seperri mimpi...”
Indira tersenyum getir. “Nggak apa-apa. Semuanya akan butuh waktu. Tapi yang penting sekarang, kamu di sisinya. Haidar sedang kehilangan orang yang paling dia cintai. Kehadiranmu adalah satu-satunya hal yang bisa menguatkan dia malam ini.”
Emily menunduk. Ia tahu itu benar. Tapi perasaannya masih kalut, pikirannya belum mampu menerima semuanya sepenuhnya.
Dengan berat hati, Emily mengangguk pelan. “Iya... aku coba...”
Indira dan Rakha berpamitan, memeluk putri mereka dengan lembut, sebelum meninggalkan rumah dengan perasaan yang tak kalah campur aduk. Ia juga merasa kehilangan Emily.
***
Malam pun tiba. Rumah menjadi sunyi. Emily duduk sendiri di kursi panjang dekat jendela, tempat ia dan Indira tadi berbicara. Soraya sendiri sudah masuk ke dalam kamar setelah Indira berpamitan tadi. Keluarga lain juga sudah pulang, hanya ada bibi yang sudah masuk ke kamar juga.
Pikirannya Emily melayang, hatinya penuh gejolak.
Ia belum sanggup masuk ke kamar. Rasanya terlalu nyata, terlalu cepat.
Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Udara mulai dingin. Haidar muncul dari dalam, memperhatikan dari kejauhan. Ia memperhatikan tubuh mungil Emily yang terdiam memeluk lutut, menatap keluar tanpa suara.
Tanpa berkata apa-apa, Haidar mendekat dan berjongkok di hadapan Emily.
“Kamu bisa sakit kalau duduk di sini terus,” suaranya pelan, tapi tegas.
Emily hanya menggeleng.
Haidar menarik napas dalam, lalu tanpa memperpanjang percakapan, ia menyelipkan lengannya di bawah tubuh Emily, mengangkatnya dengan lembut.
“Eh! Bapak, jangan—!” Emily refleks menolak, tapi Haidar tetap menggendongnya dengan tenang.
“Kita ini suami istri, kan?” gumamnya.
Emily terdiam. Jantungnya berdetak keras.
Sampai akhirnya mereka tiba di depan kamar. Haidar membuka pintu dan membaringkan Emily di atas tempat tidur. Ia menarik selimut hingga sebatas dada Emily, lalu berdiri di sisi tempat tidur.
“Aku tahu kamu belum siap, dan aku pun sama. Tapi setidaknya... malam ini, kita sama-sama tidak sendirian,” ucap Haidar pelan.
Emily menatap wajah Haidar yang kini terlihat lebih lelah dari biasanya.
“Terima kasih,” bisiknya.
Haidar hanya mengangguk sebelum berjalan ke sisi lain kamar, mengambil bantal dan guling, lalu berbaring di atas karpet dekat ranjang.
Malam itu, tak ada yang berbicara lagi. Tapi keheningan mereka bukan hampa—ia justru menjadi jembatan sunyi, tempat dua hati yang sama-sama kehilangan mulai saling memahami.
***
Suara adzan terdengar samar di telinga Haidar. Ia menggeliat, namun sepertinya ia hilang keseimbangan.
Bugh!
"Aduh!"
Bersambung