Pendekar Pedang Kelabu : Perang Kebangkitan

Pendekar Pedang Kelabu : Perang Kebangkitan

Babak Baru

Catatan: Cerita ini merupakan kelanjutan langsung dari serial Pendekar Pedang Kelabu musim pertama, kedua, dan ketiga. Dalam kisah sebelumnya, Zhang Wei, seorang pendekar muda dengan kekuatan pedang kelabu dan warisan dari sang Kaisar Agung terbaik dalam sejarah umat manusia, telah melewati berbagai cobaan: mulai dari konspirasi sekte, pertarungan dalam turnamen antar jenius muda, hingga puncaknya melawan lima kaisar dan tujuh raja besar yang bersekutu untuk menjatuhkannya. Kejadian tersebut mengubah keseimbangan Alam Dongtian. Kini, cerita memasuki musim keempat—dunia dalam bayang kehancuran, dan Zhang Wei berada di ambang takdirnya yang sebenarnya.

...****************...

Kabut menggulung pelan dari tanah yang retak, menari di antara tubuh-tubuh berserakan yang baru saja tumbang. Asap perang masih mengepul, bercampur bau darah dan besi panas. Di tengah medan luas yang hancur lebur, satu sosok berdiri tegak. Napasnya berat, langkahnya lambat namun pasti, dan sekeliling tubuhnya dipenuhi kabut kelabu yang berputar liar, seolah hidup.

Dari balik kabut, suara dentingan senjata kembali terdengar. Ratusan, lalu ribuan pasukan muncul dari segala penjuru. Formasi besar menyala di langit, membentuk pusaran cahaya yang memanggil kehendak langit. Artefak-artefak agung terangkat, meretakkan ruang dengan tiap denyut kekuatan.

Namun sosok itu tak bergeming. Ia menatap ke depan, matanya setenang dan sedingin tanah mati. Kabut di sekelilingnya memekat—tebal, dingin, tajam. Dalam sekejap, siluetnya lenyap di balik kabut, hanya meninggalkan suara langkah pelan dan desir angin aneh yang menusuk hingga ke sumsum.

Duaarrrr——!!

Ledakan qi menghantam sisi kiri medan perang. Pasukan pertama hancur seketika, tubuh-tubuh melayang tak bernyawa. Kabut menari lebih cepat, menyelimuti prajurit-prajurit itu sebelum tubuh mereka benar-benar menyentuh tanah.

"Formasi penjaga ketiga, aktifkan sekarang!!"

Teriakan dari langit kelima menggema, disambut cahaya suci yang membentuk penghalang pelindung. Tapi kabut tak berhenti. Ia merayap masuk seperti uap yang tak bisa ditahan, menyusup di antara celah pelindung, lalu meledak dari dalam.

Trakkk—!!!

Tiga jenderal terlempar ke udara, darah menyembur dari mulut mereka sebelum jatuh bagai karung kosong. Sosok dalam kabut itu bergerak maju, setiap langkahnya menimbulkan tekanan yang menenggelamkan pekik dan nyali.

Satu pedang panjang menyerupai bayangan muncul di tangannya—tak mengilap, tak memantulkan cahaya, seolah tak berasal dari dunia ini. Sekali tebasan, ribuan tubuh tumbang. Sekali hentakan kaki, tanah retak hingga beberapa li jauhnya.

Namun tak ada satu kata pun keluar dari mulutnya.

Tak ada peringatan. Hanya diam… dan kehancuran.

Ledakan demi ledakan mengguncang langit, membentuk pusaran kehancuran yang meretakkan batas dimensi. Lalu dari barisan belakang, sekelompok kultivator agung bersatu, merapalkan satu serangan pemusnah terakhir.

Cahaya langit menumpuk. Formasi memadat. Dunia bergetar.

"SEKARANG!!"

Boommmmm——!!!

Sinar surgawi menghantam tanah seperti palu para dewa, membakar kabut dan memecah ruang.

Zhang Wei terbangun.

Tubuhnya terangkat dari tempat tidur batu, napasnya memburu. Dada naik-turun cepat, keringat dingin menetes dari pelipis, dan matanya memandang kosong ke langit-langit batu di atasnya.

Angin asin berembus masuk dari jendela lengkung, membawa suara deburan ombak dari lautan utara. Lentera kristal qi bergetar pelan, seolah ikut terguncang oleh mimpi yang tak ingin melepaskan dirinya.

Di dalam pedang kelabunya, suara pelan menggema di dasar pikirannya—lembut dan teduh, tapi terasa menyelusup hingga ke dada.

“Mimpi buruk lagi?”

Zhang Wei tak menjawab. Ia hanya diam, tangannya perlahan meremas kain tempat tidurnya.

“Sudah berhari-hari kau seperti ini,” suara Lian Xuhuan kembali terdengar, tenang namun jelas, berbicara dari dalam pedangnya yang tersandar tak jauh dari tempat tidur.

“Setiap malam, mimpi yang sama. Kabut. Perang. Darah. Kau belum bicara satu pun tentangnya padaku.”

Zhang Wei menarik napas dalam.

“Karena aku tidak tahu harus bilang apa,” bisiknya.

“Apakah itu penglihatan masa depan? Atau ingatan masa lalu yang bukan milikku? Aku… melihat dari matanya, merasakan dari tubuhnya… Tapi aku bukan dia.”

Lian Xuhuan diam sejenak.

“Kadang, ada hal-hal dalam darah yang tidak bisa ditolak oleh kehendak. Entah kenangan, atau sesuatu yang lebih dalam dari itu. Mungkin suatu saat… semuanya akan menjelaskan dirinya sendiri.”

Zhang Wei menunduk, menatap lantai batu yang dingin.

Sudah dua minggu sejak peristiwa besar itu. Dunia belum tenang. Meski permukaan tampak damai, luka dalam masih berdarah.

Kaisar Zhaode telah musnah—terhapus dari sejarah oleh cahaya petir perak milik Ming Rui. Empat kaisar lainnya nyaris bernasib sama, jika Rong Fan tidak menghentikan tangannya. Demi keseimbangan, dan demi mencegah kekosongan kekuasaan yang bisa membawa bencana lebih besar.

Meski begitu, mereka tidak bebas. Hukuman tetap dijatuhkan. Kekuasaan mereka dicabut. Pengaruh mereka diremukkan. Dunia kini tahu, siapa yang berdiri di atas langit mereka. Dan nama Zhang Wei mulai tersebar seperti kabar angin yang menakutkan—sebuah kekuatan baru, dan juga teka-teki yang belum dipecahkan.

Namun di dalam dirinya, pertanyaan yang lebih besar mulai menggema: Siapa sebenarnya dia? Dan mengapa… setiap malam kabut itu terus memanggilnya kembali?

 

Cahaya pagi masih enggan menyentuh batas langit. Kabut dingin menyelimuti pelataran Istana Sayap Kebebasan, dan udara di dalam ruangan batu tempat Zhang Wei berdiri masih membawa sisa-sisa keheningan malam.

Mimpi itu masih membekas di belakang matanya. Perang, kabut, kehancuran. Napasnya perlahan menstabil, tapi dadanya terasa berat.

Lalu suara itu datang—tanpa kata, tanpa suara, langsung menyentuh inti kesadarannya.

“Zhang Wei. Kau sudah bangun?”

Suara Rong Fan. Dalam, stabil, dan membawa aura langit yang tegas.

“Kami menunggumu di aula.”

Zhang Wei tak menjawab. Ia hanya menggenggam gagang pedangnya dan menghilang dalam seberkas kilau kelabu. Ketika matanya terbuka kembali, dia telah berdiri di tengah aula utama Istana Sayap Kebebasan.

Ruang itu luas dan sunyi, namun tak terasa kosong. Di depannya, berdiri dua sosok yang saat ini nyaris menjadi pilar dunia: Ming Rui, Kaisar Agung Langit Perak, dan Rong Fan, Kaisar Agung Badai Merah.

Keduanya memancarkan aura yang dalam dan mapan, bukan hanya karena kekuatan mereka yang menjulang, tetapi juga karena ikatan mereka dengan masa lalu—ikatan yang tak banyak diketahui dunia.

Mereka… adalah anak angkat dari Hua Baimei.

Dan Hua Baimei adalah saudara seperguruan Lian Xuhuan, sang legenda abadi yang kini hanya dikenal dalam kitab-kitab sejarah. Maka secara garis silsilah, keduanya adalah keponakan dari Lian Xuhuan.

Namun hanya mereka bertiga yang tahu bahwa jiwa sang pendekar agung belum lenyap.

Bahwa ia masih hidup, terikat dalam pedang kelabu yang kini berada di sisi pinggang Zhang Wei.

“Sepertinya kau sudah lebih baik,” ujar Rong Fan dengan nada singkat namun hangat.

“Kami berhasil mendapatkan material yang dibutuhkan,” tambah Ming Rui, lalu melepaskan sebuah wadah kristal dari cincin penyimpanannya.

Begitu dibuka, dua cahaya terpancar dari dalamnya. Satu bersinar lembut seperti embun matahari pagi, hangat dan menggugah kehidupan. Yang satunya bergetar tenang, namun dingin bagaikan es purba dari langit utara.

“Esensi Yang Murni dan Esensi Yin Murni,” ujar Ming Rui. “Kami dapatkannya setelah bertempur dengan dua makhluk roh kekacauan.”

“Keduanya tidak menyerah tanpa perlawanan,” timpal Rong Fan. “Tapi ini bagian dari rencana kita. Kami akan mempercayakan bahan-bahan itu ke tanganmu.”

Zhang Wei menerima wadah tersebut dengan anggukan perlahan. Energi murni yang memancar dari dalamnya langsung menyatu dengan aura spiritualnya, seperti menyadari tujuan keberadaannya.

Ming Rui kemudian melemparkan dua benda lain—sehelai rumput hijau yang tampak tak tersentuh waktu dan sebuah kristal transparan yang berputar ringan.

“Rumput Abadi dan Kristal Mata Angin,” katanya. “Jiang Taishang juga menitipkan ucapan maaf dan terimakasih padamu.”

Zhang Wei menyimpannya tanpa banyak bicara. Ia tahu, semua ini adalah langkah-langkah yang mengarah pada satu tujuan akhir.

Rong Fan kemudian menyampaikan inti dari pertemuan ini.

“Dengan semua itu, kita telah mengumpulkan sembilan dari sepuluh bahan utama. Satu-satunya yang tersisa…”

“Lumpur Ajaib Laut Dalam,” jawab Zhang Wei, mata menatap jauh ke depan.

Rong Fan mengangguk, lalu melangkah ke arah meja batu besar yang memuat peta rinci alam rahasia Qianlong.

“Masalahnya, tempat itu bukan lokasi biasa. Lumpur itu hanya ada di Laut Tak Berangin, wilayah kekuasaan Gurita Pemakan Jiwa.”

Ming Rui berdiri di sampingnya.

“Salah satu dari Empat Makhluk Kolosal yang menguasai Alam Rahasia Qianlong. Bukan hanya kuat secara fisik, tapi juga memiliki kemampuan spiritual memakan kesadaran dan jiwa seseorang.”

“Lebih buruk lagi,” lanjut Rong Fan, “Kondisi alam rahasia qianlong sepertinya semakin tidak stabil setiap kali terbuka, berhati-hatilah.”

Zhang Wei terdiam sejenak. Tangannya menyentuh gagang pedang kelabu di pinggangnya, seolah berbicara diam-diam dengan jiwa yang tertidur di dalamnya.

“Tidak masalah, aku bisa melakukannya sendiri” ucapnya pelan.

Rong Fan menggeleng.

“Kau tidak akan sendirian. Kami sudah menyiapkan satu tim inti untuk masuk bersamamu—semuanya pilihan kami. Mereka tak akan menghalangi, hanya melindungi dan memastikan kau bisa fokus pada tujuanmu.”

Ming Rui menambahkan, “Satu hal lagi, Zhang Wei. Sejak insiden besar itu… namamu telah tersebar ke seluruh Benua Tengah. Bukan hanya sebagai pendekar muda berbakat… tapi sebagai sosok yang mungkin mengguncang dunia.”

“Tapi alasan mengapa kau mengumpulkan bahan-bahan ini… dan siapa yang sedang kau bangkitkan… akan tetap menjadi rahasia kita bertiga.”

Zhang Wei mengangguk. Diam, tapi mantap.

Di dalam pedangnya, aura lembut bergetar—seolah menyetujui keputusan ini. Seolah tahu bahwa langkah besar berikutnya telah diambil.

Terpopuler

Comments

Agus Rahmat

Agus Rahmat

selamat datang kembali ditunggu rentetan update nya.tak kasih vote langsung

2025-07-11

1

Nanik S

Nanik S

Akhirnya yang tak tunggu datang jugi dihati seperti musin panah tiba2 hujan turun Makasih Tor 🙏🙏🙏

2025-07-14

0

budiman_tulungagung

budiman_tulungagung

akhirnya ada kelanjutannya... masih satu mawar 🌹 Thor di setiap bab ..

2025-07-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!