Mencintaimu bagai menggenggam kaktus yang penuh duri. Berusaha bertahan. Namun harus siap terluka dan rela tersakiti. Bahkan mungkin bisa mati rasa. - Nadhira Farzana -
Hasrat tak kuasa dicegah. Nafsu mengalahkan logika dan membuat lupa. Kesucian yang semestinya dijaga, ternoda di malam itu.
Sela-put marwah terkoyak dan meninggalkan noktah merah.
Dira terlupa. Ia terlena dalam indahnya asmaraloka. Menyatukan ra-ga tanpa ikatan suci yang dihalalkan bersama Dariel--pria yang dianggapnya sebagai sahabat.
Ritual semalam yang dirasa mimpi, ternyata benar-benar terjadi dan membuat Dira harus rela menelan kenyataan pahit yang tak pernah terbayangkan selama ini. Mengandung benih yang tak diinginkan hadir di dalam rahim dan memilih keputusan yang teramat berat.
'Bertahan atau ... pergi dan menghilang karena faham yang tak sejalan.'
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwidia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 18 Ngidam
Happy reading
Dira's Jewels, nama perusahaan yang didirikan oleh Firman. Perusahaan tersebut berdiri sejak Dira berusia satu tahun.
Meski berlimpah harta, Firman dan Nisa terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Begitu juga kedua orang tua Dariel. Anton dan Natalie.
Mereka tidak terbiasa menggunakan harta untuk berfoya-foya dan lebih gemar berbagi.
Sepuluh tahun silam, Firman dan Nisa mendirikan Yayasan Cinta Kasih untuk menaungi anak yatim piatu. Yayasan itu berdiri hingga saat ini.
Selain mendirikan Yayasan Cinta Kasih, Firman dan Nisa juga bekerjasama dengan kedua orang tua Dariel, mendirikan sekolah di pelosok desa.
Bagi mereka, harta hanyalah titipan Tuhan yang harus dipergunakan dengan bijak. Bukan malah dihamburkan untuk sesuatu yang kurang berfaedah.
Prinsip mereka menjadi contoh bagi Dira dan Dariel. Keduanya tumbuh menjadi insan yang dermawan, gemar mengulurkan tangan, dan memiliki jiwa sosial yang tinggi.
"Dira sayang, ayo keluar! Lihat, apa yang Ayah bawa --"
Dira segera berlari kecil menuju teras begitu mendengar suara ayahnya. Meninggalkan Milah yang sedang mengaduk kuah sup sambil mencurahkan isi hati. Berharap Dira mendengar dan memperhatikannya, agar bisa memberi solusi.
Namun belum selesai mencurahkan isi hati, Dira sudah berlalu pergi. Bahkan tanpa pamit, sehingga membuat Milah kesal.
"Ck ... Mbak Dira, Mbak Dira, kebiasaan tuman. Padahal Simbok masih ingin curhat dan minta solusi, biar Simbok bisa memutuskan ... mau menerima cinta Mas Karyo atau tetap setia sama Mas Markun yang sudah lama ndak ada kabar." Milah bermonolog dan kembali mengaduk kuah sup.
Sampai di teras rumah, Dira menghentikan ayunan kaki tepat di samping Firman.
Manik matanya membulat sempurna begitu melihat mobil yang sudah lama diidamkan. Mobil sporty berwarna silver.
"Mobil siapa ini, Yah?" Dira bertanya pada Firman sambil mengusap kaca mobil yang masih dilapisi plastik pelindung. Ia tampak kagum dan jatuh hati pada mobil itu.
"Tentu saja milik Dokter Dira." Firman menerbitkan senyum dan merangkul pundak sang putri. Jawaban yang keluar dari bibirnya membuat Dira seketika menoleh dan mengernyit.
Ia merasa kurang yakin dengan jawaban itu.
"Milikku?" tanya yang terucap dari bibirnya.
"Iya, Sayang. Mobil ini milikmu. Ayah sengaja membelinya untuk mu, supaya kamu tidak lagi mengendarai sepeda motor ketika berpergian atau berangkat ke rumah sakit."
"Yah, Dira 'kan bisa membelinya sendiri."
"Memangnya uangmu cukup untuk membeli mobil ini, hmm?" Firman tertawa kecil dan menoel hidung mancung Dira.
"Insya Allah cukup. Tapi mobil tua, Yah." Dira mengimbangi candaan ayahnya.
"Mobil tua malah mahal."
"Iya juga ya. Ya sudah, mobil rongsokan saja."
"Dibelikan mobil sporty malah mau beli mobil rongsokan. Ada-ada gajah kamu, Ra."
"Bukan ada-ada gajah, tapi ada-ada semut, Yah. Gajah kegedean."
Firman tergelak. Ia tak kuasa menahan tawa yang mengudara kala mendengar selorohan putrinya.
Berbeda dengan Firman, Dira hanya tertawa kecil sambil melingkarkan tangannya di lengan Firman yang terbuka.
"Makasih, Yah," bisiknya lembut begitu tawa Firman mereda.
Dira bersyukur karena memiliki seorang ayah yang pengertian dan penyayang.
"Sama-sama, Sayang," tutur Firman--membalas ucapan Dira, diiringi kecupan dalam yang berlabuh di pucuk kepala.
Betapa Firman sangat menyayangi Dira--putri semata wayangnya.
"Oya, Yah. Yuk kita makan siang. Mbok Milah sudah masak sup kembang waru, tempe goreng, ayam goreng, dan sambal."
"Wah, sambal buatan Mbok Milah pasti jos."
"Pasti, Yah."
"Ada kerupuk nya 'kan?"
"Ada, Yah. Kerupuk tengiri. Kata Mbok Milah, oleh-oleh dari Bu Mirna, tetangga sebelah."
"Wah, mantul. Gasss kita makan bareng. Perut ayah sudah keroncongan, minta segera diisi." Firman mengusap perutnya yang sedikit buncit, lalu bersiap mengayun kaki.
Namun sebelum kakinya terayun, terdengar suara deheman yang menarik perhatian dan mendorongnya untuk segera menoleh ke arah asal suara.
Hampir saja ia melupakan Dariel yang sedari tadi hanya diam dan menjadi pendengar setia obrolannya dengan Dira.
"Ayo, Riel! Masuk!" titahnya.
"Maaf, Om. Lain kali saja. Saya mau pamit, Om."
"Kamu mau ke mana, Riel? Kenapa buru-buru pamit?"
"Saya mau ke studio, Om. Ada pekerjaan yang harus segera saya selesaikan." Dariel sekedar beralasan.
"Makan siang dulu, baru boleh pamit."
Firman menarik lengan Dariel, lalu memaksanya untuk masuk ke dalam rumah.
Dariel tak kuasa menolak.
Ia pasrah dan menuruti titah yang lagi-lagi tidak bisa dibantah.
Aneka lauk yang menggugah selera sudah tersaji di atas meja dan membuat Dariel serasa tak sabar untuk menyantap.
Entah mengapa, aroma sup yang disajikan oleh Milah terasa sedap. Padahal biasanya, ia kurang suka dengan aroma sup, apalagi rasanya.
"Riel, mau diambilin atau ambil sendiri?"
Suara Dira mengalihkan atensi Dariel yang semula tertuju pada hidangan di atas meja dan membuatnya sedikit terhenyak.
"Aku ... diambilin aja, Ra."
"Oke. Pakai sambal?"
"Dikit aja."
"Pakai tempe atau pakai ayam?"
"Ambilin dua-dua nya, Ra. Nggak usah ditanya." Firman menyahut.
"Dariel kurang suka tempe, Yah. Sup juga kurang suka. Yang disukainya cuma ayam goreng kremes, cap chay, rendang, dan makanan orang kaya. Bukan makanan rakyat biasa seperti makanan kita ini."
Candaan yang dilontarkan Dira mencipta seutas senyum di bibir Dariel dan membuat pemuda berparas tampan itu terdorong untuk membalas.
"Ehem, yang dikatakan Dira memang benar, Om. Saya paling anti dengan sup dan tempe. Tapi karena ... ngidam, saya jadi suka banget mencium aroma sup, apalagi melahapnya."
Deg ....
Selorohan Dariel membuat jantung Dira seolah berhenti berdetak. Wajahnya seketika berubah pucat dan napasnya serasa berat.
Tak terbayang jika Dariel benar-benar ngidam atau mengalami Sindrom Couvade.
Syok, bingung, sedih, takut, semua perasaan itu bercampur menjadi satu.
"Ra, aku cuma bercanda. Jangan jadi pikiran ya." Dariel berucap lirih.
Tak ada balasan yang terucap dari bibir Dira. Ia membisu dan sedikit menundukkan kepala. Menyembunyikan wajahnya yang kini terbingkai sendu.
"Kalau benar ngidam, berarti kamu mengalami kehamilan simpatik, Riel. Lalu, siapa yang membuatmu seperti itu? Jangan-jangan, kamu sudah menanam benih di rahim Ma --" Nisa buru-buru memberi kode pada Firman untuk diam dengan menginjak kakinya.
Ia tidak ingin Firman keceplosan menyebut nama wanita yang ingin dijodohkan dengan Dariel.
'Maria'
"Ma ... Siapa, Om?" Dariel mengerutkan dahi dan menatap penuh tanya, sehingga membuat Firman merasa bingung harus menjawab apa.
"Ma ... ?" Dariel kembali bertanya.
"Mamanya anakmu, Riel." Nisa segera menyahut.
Beruntung, Dariel percaya dan menganggapnya sebagai gurauan, lantas menanggapinya dengan memperlihatkan sebaris senyum.
Mereka pun mulai menikmati makanan hasil olahan tangan Milah dan Dira, tanpa ada lagi percakapan yang mengiringi.
Suasana sesaat hening. Hanya terdengar irama denting sendok dan garpu yang menari di atas piring masing-masing.
"Om, boleh pinjam Mbok Milah?" Ucapan Dariel memecah suasana dan membuat semua orang yang berada di tempat itu menatap penuh tanya. Terutama Dira dan Milah.
"Pinjam Mbok Milah untuk apa, Riel?" Firman menanggapi.
"Untuk mengajari Mbok Sri memasak sup seenak ini."
Firman, Nisa, dan Milah tergelak mendengar jawaban yang diberikan oleh Dariel. Namun tidak dengan Dira.
"Owalah, Mas Dariel. Simbok kira, Mas Dariel mau pinjem Simbok buat jadi pacar kontrak. Eh ternyata --" Milah menimpali dan kembali tergelak.
"Saya nggak berniat punya pacar kontrak, Mbok. Yang saya inginkan ... calon istri." Dariel menyahut ucapan Milah sambil melirik wanita yang duduk di sebelahnya. Siapa lagi jika bukan Dira, wanita tercantik sejagad jiwa yang bertahta di singgasana hati.
"Simbok doakan, semoga Mas Dariel segera memperoleh calon istri yang mendekati kata sempurna seperti Mbak Dira. Selain cantik dan baik hati, Mbak Dira juga pinter masak sup kembang waru yang sangat lezat."
"Owh, jadi sup yang kita makan ini ... masakan Dira?"
"Iya, Mas. Simbok cuma membantu."
"Berarti, saya nggak jadi pinjem Mbok Milah, Om. Saya pinjem Dira saja. Kalau boleh, saya angkut langsung ke rumah."
"No, tidak boleh. Enak saja main angkut putri Om. Kalau mau, angkut saja Mbok Milah. Om ikhlas." Firman menimpali dengan candaan. Membuat telinga Dariel, Milah, dan Nisa serasa tergelitik sehingga mereka tak kuasa menahan tawa yang kini kembali mengudara.
Lantas, bagaimana dengan Dira?
Dira masih setia dalam diamnya. Ia tak mampu menghempas pikiran yang sedari tadi menari di kepala dan membuat perasaannya tak nyaman.
Ya Allah kuatkan aku, jika benar ada kehidupan di dalam rahimku.
🌹🌹🌹
Bersambung
sukses selalu buat Autor yg maniiiss legit kayak kue lapis.
apalagi aku..
itu memang nama perusahaannya..??
wawww
aku aminkan doamu, Milah
ya pastilah hasratnya langsung membuncah