"Hai Om, ganteng banget sih. mana lucu, gemesin lagi."
"Odel. a-ah, maaf tuan. teman saya tipsy."
Niccole Odelia jatuh cinta pada pandangan pertama pada seseorang pria dewasa yang ditemuinya di bar. meski mabuk, dia masih menginggat dengan baik pria tampan itu.
Edgar Lysander, seorang pengusaha yang tampan dan kaya. dia tertarik pada Odelia yang terus menggodanya. namun dibalik sikap romantisnya, ada sesuatu yang dia sembunyikan dari Odelia.
Akankah cinta mereka semulus perkiraan Odelia? atau Odelia akan kecewa dan meninggalkan Edgar saat mengetahui fakta yang disembunyikan Edgar?
ikuti terus kisah cinta mereka. jangan lupa follow akun Atuhor.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Addryuli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 11
Odelia sedang memandangi nomor telepon yang dia ketahui milik Edgar, setelah mendengar cerita Odelia tadi, kedua sahabatnya tak percaya dengan nomor Edgar yang tersimpan di ponsel Odelia.
"Coba sini gue telpon." ucap Zara.
"Ih jangan, kalo beneran nomor om Edgar nggak rela banget gue." ucap Odelia sambil menyembunyikan ponselnya.
Zara memutar bola matanya malas. "Selera gue bukan duda."
Odelia mendelik. "Sialan lo Ra."
Cessa tertawa mendengar kedua sahabatnya bertengkar, dia kemudian mengeluarkan ponselnya lalu memberikannya kepada Odelia.
"Pake ponsel gue aja, ntar kalo udah lo hapus. Gue nggak bakal lihat."
Odelia segera mengambil ponsel Cessa kemudian menyimpan nomor Edgar dan menelponnya. Saat ini ketiga orang itu tengah duduk di kelas saat jam istirahat. Mereka sampai rela melewatkan jam istirahat demi membuktikan kecurigaan mereka.
Pada percobaan pertama, panggilannya tak diangkat sama sekali hingga panggilan terputus. Odelia menggeleng pelan sambil menghela nafas kasar.
"Nggak diangkat." ucap Odelia.
"Coba lagi. Jam segini mah lagi sibuk-sibuknya di kantor. Daddy gue gitu juga soalnya." ucap Zara.
Odelia mengangguk lalu kembali menghubungi nomor itu. Pada dering ke tiga tiba-tiba panggilannya diangkat.
"Diangkat guys." ucap Odelia lirih.
"Aktifin pengeras suaranya." bisik Cessa.
Odelia mengangguk lalu mengaktifkan pengeras suaranya.
"Halo, dengan Theodore dari LS Corp. Ada yang bisa saya bantu?"
Zara dan Cessa saling tatap saat terdengar nama Theodore bukan Edgar. Begitupun Odelia, dia membelakan matanya sambil mulutnya terbuka lebar.
"Halo."
"Jadi ini bukan nomor om Edgar tapi nomornya om Theo?" tanya Odelia.
"Maaf, dengan siapa?"
"Ini gue om, Odelia."
Tut.
Tiba-tiba panggilan itu terputus begitu saja, seketika tawa Zara dan Cessa meledak. Mereka tak mengira sahabatnya akan ditipu oleh seorang duda.
"Perut gue sakit banget anjir." ucap Cessa disela tawanya sambil memegangi perutnya.
"Nggak nyangka gue, Theodore siapa anjir? Jangan-jangan nomor ngasal lagi?" tanya Zara.
Odelia mengerucutkan bibirnya, dia sungguh kesal karena merasa dibohongi oleh Edgar. Pantas saja tadi waktu dia bertanya Edgar menjawab jika tak menerima pesan dari siapapun, ternyata nomor yang ditulis diponselnya kemarin adalah nomor asisten pribadinya.
Rasa kesal Odelia semakin memuncak saat kedua sahabatnya tak berhenti menertawakannya. Dia bahkan sampai menggebrak meja membuat keduanya terkejut dan akhirnya berhenti tertawa.
"GUE KESEL!!" seru Odelia.
"Ehem." Cessa berdehem pelan.
"Nggak usah galau, gue punya rencana supaya lo dapet nomornya om duda itu."
Odelia dan Zara menoleh ke Cessa yang tersenyum miring sambil bersedekap dada.
"Gimana caranya?" tanya Odelia.
"Ra, lo harus bantuin gue." ucap Cessa.
Zara mengangguk. "Oke. Btw, rencana lo apa?"
Cessa merangkul kedua sahabatnya sambil membisikkan idenya.
"Apa?? Ogah gue." tolak Zara.
"Tck, cuma ini cara satu-satunya Ra."
"Lo yakin ini bakal berhasil?" tanya Odelia ragu.
Cessa mengangguk mantap. "Gue yakin."
Odelia menatap Cessa penuh harap, meskipun dia pernah melakukannya setidaknya jika dibantu kedua sahabatnya pasti peluang mendapatkannya akan semakin besar.
Namun disis lain dia juga sedikit ragu, tapi tak ada salahnya juga mencobanya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di kantor LS Corp, Theodore sedang menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia merasa heran saat ada dua nomor baru yang menghubunginya dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam.
Saat medengar nama si penelon tadi, dia jadi merinding. Pantas saja semalam ada yang mengirimnya pesan dan memanggilnya Edgar. Sepertinya bossnya sengaja memberikan nomornya pada gadis yang mereka tolong tadi pagi.
"Sial, gue harus gimana nih? Dasar si bos ada-ada aja." geram Edgar.
"Kamu sedang mengumpati saya?"
"Astaga." ucap Theodore terkejut sambil memegangi dadanya.
"Bos, sejak kapan anda disini?"
"Sejak kamu menggaruk kepala kamu."
Theodore melirik sinis Edgar yanh berdiri didepan pintu ruangannya.
"Apa bos memberikan nomor saya pada Odelia?"
Edgar mengangguk tanpa dosa. "Benar? Kenapa?"
Theodore membelakan matanya. "Kenapa? Astaga bos, saya semalam merasa seperti ditagih utang oleh debt collector karena ponsel saya tidak berhenti bergetar."
Edgar tertawa kecil. "Bukankah itu menyenangkan?"
"Heh Ed, itu menganggu." seru Theo karena sudah tak tahan lagi pada sahabatnya itu.
"Berani kamu berteriak pada bosmu?"
"Birini kimi birtiriik pidi bismi?" ucap Theo menirukan perkataan Edgar.
"Siapkan berkasnya, meeting sebentar lagi."
"Iya ya." jawab Theo malas.
Dulu waktu sekolah menengah, Edgar dan Theodore adalah sahabat. Namun mereka pisah karena Edgar melanjutkan kuliah di luar negeri. Mereka bertemu kembali saat Theo bekerja di perusahaan papa Edgar sebelum Edgar menjabat sebagai CEO baru. Setelah pergantian jabatan, Edgar mengangkat Theo sebagai asisten pribadinya.
Sore harinya, Edgar dan Theodore sampai di apartemen. Mereka memilki unit apartemen di gedung yang sama namun di lantai yang berbeda. Theodore masuk ke uitnya kemudian merebahkan tubuhnya ke sofa. Di mengendurkan sedikit dasinya yang terasa mencekiknya.
Drrtt.
Drrtt.
Saat hendak menarik nafas, ponsel di saku celananya bergetar. Dia mengambil ponselnya kemudian menatap layar ponselnya yang menunjukkan nomor baru lagi.
"Siapa lagi ini?" gumam Theodore.
Dia membiarkan panggilan itu tanpa berniat mengangkatnya sama sekali. Pekerjaan di kantor sudah membuatnya kelelahan seharian ini.
Saat panggilan berhenti, Theo hendak mengecek pekerjaan di ponselnya. Saat hendak membuka aplikasinya tiba-tiba ada panggilan nomor baru lagi dengan nomor yang berbeda. Sebuah pesan juga masuk ke ponselnya.
"Apa-apaan nih?" gumam Theo.
Sembari teleponnya masih bergetar karena panggilan, dua pesan dari nomor yang berbeda terus mengirimnya pesan dengan isi pesan yang sama. Saat panggilan terputus, ada telepon lagi dari nomor yang berbeda lagi. Theo mengacak rambutnya frustasi, ponsel ditangannya sampai naik suhunya karena pesan serta panggilan yang tak kunjung berhenti.
"Arghhh, ini apan coba?"
Dia melemparkan ponselnya ke sofa, terdapat tiga nomor baru yang terus mengirimnya pesan serta spam telepon secara bergantian. Panggilan dan pesan itu seolah tak memberinya ruang untuk bernafas barang sedetik pun.
"Edgar sialan." geram Theodore.
Merasa kesal dengan panggilan dan pesan yang tak kunjung berhenti itu, Theo mengambil ponselnya kemudian keluar dari unitnya menuju unit Edgar. Dengan langkah mantap pria 27 tahun itu berjalan menuju apartemen Edgar.
Dor.
Dor.
Bukan membunyikan bel atau mengetuk pintu, Theodore menggerbak-gebrak pintu unit Edgar beberapa kali.
Ceklek.
Pintu unit Edgar terbuka, bosnya hanya memakai celana bahan dengan atasan kaos putih.
"Ada apa?" tanya Edgar cuek.
Theodore memperlihatkan ponselnya ke depan wajah Edgar.
"Lihat Ed, gara-gara lo ngasih nomor gue ke siapa tadi Ondel-ondel atau siapa namanya gue lupa. Ponsel gue sejak tadi getar terus kaya gini, ditelpon 3 nomor tanpa henti dispam chat, bahkan ponsel gue sampai panas." jelas Theodore menggebu.
"Pokoknya lo harus tanggung jawab."
Edgar menatap layar ponsel Theo yang terus menerus mendapat panggilan dari nomor yang berbeda-beda bahkan tanpa jeda. Tumpukan pesan juga terlihat pada layarnya.
Dia menaikan sebelah alisnya. "Tanggung jawab apa? Nikahin ponsel lo?"
Theo membelakan matanya tak percaya. "Wah, parah lo Ed."
Saat hendak mengucapkan kata lagi, tiba-tiba pintu unit Edgar tertutup dengan kasar.
"Edgar. Woyy, buka pintunya sialan." pekik Theo sambil menggedor-gedor pintunya.
"Hey, jangan berisik." tegur salah satu tetangga unit Edgar pada Theo.
Theo mendengus sebal, dia segera pergi dari sana lalu kembali ke unitnya. Sampai di kamarnya, dia merebahkan tubuhnya. Kepalanya terasa pening karena getaran ponselnya tak kunjung berhenti. Merasa putus asa, dia me mengangkat panggilan itu.
"OKE OKE, GUE SEND SEKARANG."
Tut.
Belum sampai Theo mendengar basalan dari sebrang telepon, penggilan itu dimatikan sepihak.
"Edgar brengsek, belum jadi duda aja udah nyusahin gue." geram Theodore.