Kalian pernah nggak sih suka sama sahabat kalian? Yah kali ini aku sadar kalau aku suka sama sahabat dari kecil ku. Dari umur 3 tahun hingga sekarang aku umur 23 tahun baru sadar kalau aku suka bahkan cinta sama dia. Namun bagaimana mungkin aku menyatakan perasaan ini? Kami itu sahabatan. Bagaimana aku menaruh hati dengannya/ bahkan dia juga sudah punya pacar. Pacar yang selalu dia bangga-banggakan. Aku bingung bagaimana harus mengungkapkannya!
Hai namaku Dion! Umur ku saat ini 23 tahun, aku baru saja lulus kuliah. Aku suka banget dengan kedisiplinan namun aku mendapatkan sahabat yang selalu lalai terhadap waktu dan bahkan tugasnya. Bagaimana cerita kami? Lest go
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayinos SIANIPAR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18
EPISODE 18
Hari Minggu pun tiba, membawa serta janji yang telah Dion ikrarkan kepada Reta. Hari ini, ia akan membantu Reta memenuhi salah satu keinginan dalam daftar kehidupannya: pergi ke gereja bersama. Dion tampil sangat rapi, mengenakan kemeja putih bersih yang dihiasi dasi hitam panjang, dipadukan celana bahan berwarna hitam, dan tak lupa sepatu Pakaian Dinas Harian (PDH) berwarna hitam yang mengilap. Mama Dion memperhatikannya dari jauh, alisnya terangkat sedikit karena terkejut melihat putranya yang hari ini kelihatan jauh lebih rapi dari biasanya.
“Dion, ada apa dengan kamu hari ini, Sayang?” tanya Mamanya, bingung menatap putranya yang tampak begitu sempurna. Rapi? Tidak, lebih tepatnya, gaya seorang eksekutif muda yang siap melamar posisi direktur di perusahaan besar. Ada aura serius sekaligus bersemangat yang terpancar darinya.
Dion tersenyum manis menatap Mamanya, senyum yang jarang ia tunjukkan dengan begitu tulus. “Hari ini Dion gereja bersama pacar Dion, Ma, jadi Dion tidak mau membuat dia malu,” ujar Dion dengan lembut, menjelaskan alasannya. "Apa?" Mamanya terbelalak. Dion bahkan mengakuinya kepada Mamanya! Sebuah keheranan melingkupi hati sang ibu. Rasanya aneh mendengar putranya yang biasanya acuh tak acuh soal percintaan itu sudah pandai jatuh cinta. Namun, kesalahan Mama Dion adalah ia langsung berpikir bahwa yang dimaksud Dion adalah Voni.
“Tapi sepagi ini, kamu yakin Voni sudah mandi?” ujar Mama Dion kepada anak laki-lakinya itu, nada suaranya sedikit mengandung godaan sekaligus keraguan. Dion tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.
“Bukan Voni pacar Dion, Ma.”
“Terus siapa? Kok Mama tidak pernah melihat kamu dekat dengan perempuan lain selain Voni?” tanya Mamanya, rasa ingin tahu memuncak.
“Namanya Reta, anaknya cantik dan baik, Ma,” ujar Dion, memberitahu nama gadis yang kini berstatus pacarnya. Wajah Mamanya menunjukkan ekspresi terkejut, namun kemudian senyuman samar terukir di bibirnya. Dion mendekat, mencium pipi Mamanya dan berpamitan. Mama Dion sedikit bingung siapa itu Reta, dan bagaimana perasaan Voni nanti jika tahu Dion lebih dekat dengan perempuan lain selain dirinya? Entahlah, Mama Dion merasa pusing. Biarlah anaknya yang mengurus tentang perasaannya sendiri. Ia hanya bisa berharap yang terbaik.
Dion melajukan mobilnya dengan sangat hati-hati, membelah jalanan pagi yang masih lengang. Ia selalu menggunakan mobilnya saat hendak ke gereja. Biasanya, yang selalu duduk di sampingnya adalah Voni, dengan segala kecerewetannya. Namun, kali ini akan berbeda. Nanti yang akan duduk di bangku itu adalah Reta, sosok yang kini mulai memenuhi relung hatinya. Setelah sampai di area parkir apartemen Reta, Dion memarkirkan mobilnya dengan rapi dan melangkah masuk menuju gedung apartemen gadis yang hendak ia jemput itu. Ada debaran aneh di dadanya.
Dion masuk ke unit apartemen Reta, disambut pemandangan seorang gadis yang begitu memesona di hadapannya. Jantungnya berdebar kencang, sebuah ritme tak teratur yang terasa familiar namun juga berbeda. "Gila, apa ini? Mengapa rasanya jantungku berdebar? Ini pernah terjadi sebelumnya, tapi bukan bersama Reta," ujar Dion dalam hatinya, berusaha menganalisis sensasi aneh yang melingkupinya. Ia tak berkedip sama sekali, terpaku menatap Reta yang berdiri anggun di depannya saat itu.
Reta berdiri di sana, dengan rambut cokelat panjangnya yang terurai indah, wajahnya dipoles riasan seringan mungkin sehingga tampak sangat natural, dan sebuah dress berwarna merah muda lembut yang melekat sempurna di postur tubuhnya yang sangat ideal. Sepatu kets putih bersih melengkapi penampilannya yang sederhana namun menawan. Ya, Reta memakai rambut palsu—sebuah rahasia kecil yang Dion kini tahu—namun hal itu sama sekali tidak mengurangi kecantikannya. Bahkan, ia merasa Reta terlihat semakin memesona dengan rambut itu.
“Hkmmm, kayaknya ada yang salah, ya, di pakaianku?” tanya Reta dengan gugup, menyadari tatapan Dion yang tak berpaling sedikit pun darinya. Dion tersadar dari lamunannya, mengedipkan mata beberapa kali. Ia menggelengkan kepalanya. “Tidak ada yang salah padamu, justru kamu terlalu cantik, Re,” ujar Dion jujur. Reta tersipu malu mendengar ucapan Dion. Rasanya Dion sedang menggombali dirinya, dan Reta tidak bisa menyembunyikan semburat merah di pipinya. Mereka pun berangkat, namun mereka juga tidak lupa mengajak pengasuh Reta. Reta takut ia kenapa-kenapa di gereja dan malah merepotkan Dion.
Setelah sampai di depan gereja, samar-samar terdengar beberapa lagu pujian (worship) yang mengalun merdu dari dalam, sepertinya paduan suara sedang latihan. Suasana gereja terasa begitu damai dan khusyuk. Dion membuka pintu mobil untuk Reta dengan gesture seorang gentleman sejati, kemudian menggandeng tangan Reta dan mengajaknya masuk ke dalam gereja, sementara pengasuh itu mengikuti dari belakang mereka. Mereka mengambil roti dan anggur perjamuan kudus, lalu memilih duduk di deretan bangku ketiga dari depan, sebuah posisi yang cukup strategis untuk mengikuti ibadah.
“Dion, terima kasih, ya, sudah menemaniku. Aku tidak pernah menyangka kalau ini akan terjadi,” ujar Reta terharu, menatap Dion dengan mata berkaca-kaca. Matanya dipenuhi rasa syukur yang mendalam. Dion menatap Reta, lalu mengambil tangan kiri Reta dan menggenggamnya erat, memberinya kehangatan dan rasa aman.
“Aku akan menemanimu, Rere,” ujarnya pada Reta. "Rere?" Sebuah panggilan sayang yang spontan terlontar dari bibir Dion. Apakah itu nama panggilan sayang Dion untuk Reta saat ini? Mungkin saja. Reta lagi-lagi tersipu malu dengan tingkah laku Dion yang sangat manis kepadanya. Bahkan pengasuh Reta pun ikut salah tingkah melihat keromantisan dua remaja di depannya.
Reta memperhatikan tulisan yang tertera di roti perjamuan kudusnya. Ayat Alkitab itu tertulis di Efesus 1:3: “Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingatmu.” Reta yang membacanya tersenyum malu. Dalam benaknya, mengapa ayat ini terasa sangat tepat sekali? Ia selalu bersyukur atas kehadiran Dion dalam hidupnya, merasa seperti ayat itu adalah gambaran sempurna atas perasaannya. Reta menunjukkan tulisan itu kepada Dion, matanya penuh makna.
“Dion, lihat ini. Ini itu gambaran aku ketika dipertemukan sama kamu,” ujar Reta kepada Dion sembari menunjukkan tulisan itu. Kini bukan Reta yang tersipu malu, melainkan Dion. Rasanya gadis itu sedang menggombalinya, dan Dion merasa pipinya menghangat. Dion mencubit pipi Reta dengan sangat gemas, sebuah respons yang spontan atas perasaannya yang meluap. “Terima kasih, ya, Rere Sayang,” ujarnya tersenyum. Kini Reta bukan hanya tersipu malu, melainkan dia kaku tak bergerak, pipinya tidak bisa berbohong. Pipinya yang awalnya merah muda karena perona pipi, kini meningkat menjadi warna merah tomat yang sangat pekat.
"Tidak sehat untuk jantung," ujar Dion dalam hati, merasakan debaran jantungnya yang semakin cepat karena tingkah manis Reta.
Dion kemudian melihat isi tulisan yang ada di roti perjamuan kudusnya sendiri. Ia mendapatkan ayat Alkitab dari Amsal 23:18: “Karena masa depan sungguh ada dan harapanmu tidak akan hilang.” Dion tersenyum dan mengaminkan ayat itu dalam hatinya. Ayat itu terasa seperti penegasan, sebuah janji bahwa jalan yang baru ia pilih, bersama Reta, memiliki masa depan dan harapan yang nyata. Sedangkan pengasuh Reta mendapatkan ayat Alkitab tentang 1 Petrus 4:10: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.” Sebuah ayat yang seolah menegaskan perannya dalam melayani Reta, dan mungkin juga melayani kebahagiaan yang sedang tumbuh di antara dua remaja itu.