Anindya Semesta hanyalah gadis ingusan yang baru saja menyelesaikan kuliah. Daripada buru-buru mencari kerja atau lanjut S2, dia lebih memilih untuk menikmati hari-harinya dengan bermalasan setelah beberapa bulan berkutat dengan skripsi dan bimbingan.
Sayangnya, keinginan itu tak mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama ayahnya. Julian Theo Xander ingin putri tunggalnya segera menikah! Dia ingin segera menimang cucu, supaya tidak kalah saing dengan koleganya yang lain.
"Menikah sama siapa? Anin nggak punya pacar!"
"Ada anak kolega Papi, besok kalian ketemu!"
Tetapi Anindya tidak mau. Menyerahkan hidupnya untuk dimiliki oleh laki-laki asing adalah mimpi buruk. Jadi, dia segera putar otak mencari solusi. Dan tak ada yang lebih baik daripada meminta bantuan Malik, tetangga sebelah yang baru pindah enam bulan lalu.
Malik tampan, mapan, terlihat misterius dan menawan, Anindya suka!
Tapi masalahnya, apakah Malik mau membantu secara cuma-cuma?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semesta 18.
"Buruan minta maaf."
"Tamtam."
"Ayo, minta maaf."
"Kalau kamu nggak minta maaf, nanti nggak boleh minta makan lagi sama ... siapa nama kamu?" Anindya menodong remaja laki-laki di sebelahnya.
Yang ditanya menjawab, "Glenn."
"Oke, Glenn. Kalau Tamtam nggak mau minta maaf sama Mas Malik, jangan kasih dia makan lagi."
Bahasa mereka jauh berbeda, tapi Tamtam tampak murung setelah mendengar penuturan Anindya. Mata bulatnya yang berwarna kuning mentereng tampak sayu. Sedih sekali rupa-rupanya.
"Ayo buruan minta maaf sama Mas Malik." Telunjuk Anindya mencolok-colok punggung Tamtam. Benar kata Glenn, si gendut ini tidak nakal, apalagi jika tidak sedang lapar. Sedari tadi Anindya terus mengganggu dan menyentuh tubuhnya, tapi Tamtam sama sekali tidak marah.
"Udahlah Anin, nggak usah." Malik menginterupsi.
Anindya tampak tidak suka. Tergambar jelas dari tatapan menghakimi dan bibir yang cemberut. "Tamtam harus dididik minta maaf, biar nggak jadi anak nakal," ocehnya. Kepalanya gantian menoleh pada Glenn. "Iya, kan?"
Cari aman, Glenn mengangguk patah-patah. Aura Malik memang mengintimidasi, tidak seperti Anindya yang lebih cerah dan terkesan friendly. Tapi firasatnya mengatakan bahwa kali ini dia harus memihak Anindya.
Anindya menepuk kedua tangannya sekali. Merayakan dukungan suara dari Glenn sebelum kembali fokus mengomeli Tamtam.
"Ayo, Tamtam anak tampan dan baik hati. Minta maaf sekarang ke Mas Malik."
Mungkin karena sudah mulai jengah dengan kehadiran makhluk ajaib yang tak henti-hentinya menggangu sejak tadi, Tamtam akhirnya menggerakkan tubuh gendutnya sedikit. Kepalanya mendongak, matanya menatap Glenn beberapa detik seperti bertanya, gimana cara aku minta maaf sama dia?
Glenn pasti termasuk pecinta kucing sejati, pikir Anindya. Sebab remaja tampan itu juga balas menatap Tamtam seolah keduanya sedang berkomunikasi dengan cara mereka sendiri. Lalu tak lama kemudian, si gendut Tamtam mulai beranjak dari posisi.
Kucing gendut itu mendekati kaki Malik. Tak mengeong berisik. Tak menampakkan pergerakan yang agresif. Sebaliknya, Tamtam malah menggesekkan kepalanya di sana. Berkali-kali. Sampai membuat Malik keheranan. Mendadak lupa betapa ganasnya Tamtam menyerang lengannya semalam.
"Iya, iya," kata Malik. Dia berjongkok lalu mengulurkan tangan mengusap kepala Tamtam lembut. "Udah saya maafin. Kamu boleh pergi main lagi. Sana."
Omo! Ajaib! Tamtam langsung berhenti. Ia mengeong sekali, menggesekkan kepalanya di kaki Malik tiga kali lagi, kemudian melenggang pergi. Ekornya tegak bagai keadilan. Langkahnya semampai seperti model papan atas dalam peragaan busana yang meriah.
Malik dan Glenn ditinggalkan dengan perasaan heran. Kalau Anindya lain lagi. Dia malah merasa bangga karena omongannya terbukti; hewan juga bisa diajak komunikasi.
"Tamtam ke sini sehari berapa kali?" tanya Anindya setelah Tamtam tak nampak lagi. Hilang ditelan semak-semak. Barangkali sudah asyik berburu belalang, katak, atau malah janda pirang. Eh!
"Nggak tentu," jawab Glenn. "Kadang dua kali, pas pagi sama sore. Kadang cuma siang. Kadang juga stay aja di sini, nggak ke mana-mana."
Anindya manggut-manggut. "Omong-omong, kok kamu bisa akrab sama Tamtam? Berapa lama emangnya kamu dirawat di sini?"
"Oma nyariin kamu dari tadi. Ayo balik." Sebelum Glenn menjawab, Malik lebih dulu menginterupsi. Tak pernah nyaman baginya mengorek informasi pribadi orang lain. Bukan soal tidak sopan. Ia hanya tak suka melihat orang lain menunjukkan ketidakberdayaan bukan atas kehendaknya sendiri.
"Oh, iya. Kelamaan nungguin Tamtam jadi lupa sama Oma." Anindya nyengir kuda.
Ia gamit lengan Malik, lalu pamit pada Glenn. Tak lupa berterima kasih karena sudah membantunya bertemu dengan Tamtam.
"Aku masih di sini sampai dua atau tiga hari ke depan. Kalau kamu juga masih, besok kita ketemu di sini lagi buat kasih makan Tamtam lagi ya." Anindya dengan celotehnya yang tak habis-habis.
Glenn cuma mengangguk dan tersenyum.
Anindya dan Malik kemudian melangkah beriringan meninggalkan area taman. Tangan kiri menggamit erat lengan kanan Malik, tangan kanannya sibuk menarik bagian depan kausnya sendiri. Mengendus aroma matahari yang sudah meresap kuat seperti resep bumbu rendang andalan rumah makan Padang favoritnya.
"Iyuh, bau banget," keluhnya. Tak expect akan disambut tawa pelan Malik.
Meski bibirnya gatal ingin nyerocos lagi, Anindya memutuskan mengerem. Jarang-jarang muka ramah anak Malik ini muncul ke permukaan, jadi akan dia nikmati sebelum nanti hilang lagi ditelan kegelapan malam.
Bersama, langkah mereka terayun seirama. Anindya si extrovert mampus tidak pernah kehilangan momen menyapa setiap orang yang ditemuinya. Sempat pula menjahili pasien anak sekitar usia 4 tahun. Menjulur-julurkan lidah sambil mengoceh tidak jelas. Alhasil, sang anak menangis dalam dekapan ibunda. Lalu yang Anindya lakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban adalah lari.
Iya, lari. Dia menarik Malik untuk ikut kabur bersamanya. Serampangan melewati pintu masuk dan tergesa-gesa mencapai lift. Padahal ibu sang anak juga tidak marah. Tidak mencak-mencak sampai ingin menjambak rambutnya hingga botak. Tapi Anindya tetap mau kabur. Dia mau merasakan sensasi dikejar-kejar seperti dalam film aksi-kriminal.
"Iseng banget."
Anindya hanya menyengir kuda. Mempersembahkan wajah polos tak berdosa sambil mengedip-ngedipkan mata lucu. Untung hanya ada mereka berdua di dalam lift sekarang. Kalau tidak, Malik pasti harus membungkus wajahnya dengan kantong kresek karena malu.
Di dalam lift yang melaju tak terasa, Anindya masih enggan melepaskan kungkungannya di lengan Malik. Malah makin lama tubuhnya semakin menempel saja. Tak tahu bahwa sesuatu dari dirinya mengusik Malik karena terus saja bersentuhan dengan kulit lengan lelaki itu.
"Anindya."
"Apa?"
"Jauhan dikit," kata Malik, pelan seperti bisik-bisik.
Anindya tidak mengerti kenapa Malik memintanya menjauh, tapi tetap dituruti. Lengan Malik dilepas, tapi bukan berarti lelaki itu dibiarkan bebas. Sekarang Anindya beralih menguasai jari-jemari panjang Malik. Menautkannya dengan jari-jari kecilnya yang lentik. Mereka saling menggenggam, seperti sepasang kekasih dimabuk kepayang.
Biasanya Malik akan protes. Tapi siang ini dia tidak melakukannya. Daripada mengeluarkan banyak energi untuk memulai keributan, dia lebih memilih untuk tenggelam; dalam pesona Anindya yang diam-diam menghanyutkan.
Entah kenapa, Malik merasa tingkah Anindya hari ini tidak terlalu menyebalkan seperti biasanya. Cara gadis itu berkeras kepala demi menemukan Tamtam juga tidak sampai membuatnya naik pitam. Apalagi waktu melihat hasilnya yang sukses besar dan Anindya tersenyum lebar, Malik rasanya seperti dibawa ke dunia baru. Dunia penuh taman bunga dan warna-warni memanjakan mata. Sebuah dunia yang sepuluh, seratus, bahkan seribu kali berbeda dengan dunianya yang bermuram durja.
"Anin."
Anindya menoleh dan sedikit mendongak (akibat perbedaan tinggi badan mereka yang lumayan banyak). "Apa, Mas Malik?"
"Makasih."
Dahinya berkerut tipis. "Buat apa?"
Malik menarik pandangan. Memilih menyaksikan pantulan mereka berdua di pintu lift yang mengilap. "Karena udah bikin Tamtam minta maaf."
Ah, andai si dingin ini bisa mengatakan lebih banyak...
Bersambung...