Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
Menjalin hubungan dengan duda ❌
Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Namun, apa gunanya meratapi sesuatu yang telah terjadi? Kenyataan tetaplah kenyataan. Ia tidak punya pilihan selain melangkah maju.
Mawar menarik napas dalam, mencoba menenangkan debaran hatinya yang bergejolak. Dengan langkah ragu, ia mulai berjalan, menyusuri trotoar yang penuh sesak dengan orang-orang yang tergesa-gesa, kendaraan yang saling berebut jalur, serta gedung-gedung tinggi yang terasa begitu dingin dan tak berjiwa.
Tak ada yang peduli padanya. Tak ada yang tahu bahwa di tengah hiruk-pikuk kota ini, ada seorang gadis yang tengah kebingungan, bertanya-tanya ke mana harus melangkah.
“Aku harus menemukan Tante Lusi… Aku harus tahu kebenaran… Aku harus mendapatkan kembali apa yang seharusnya menjadi milikku…”
Namun, ke mana ia harus mencari? Ke mana langkah ini harus menuju?
Satu hal yang pasti, ia tidak boleh berhenti. Tidak sekarang. Tidak setelah sejauh ini.
Meskipun hatinya dipenuhi keraguan, meskipun langkahnya terasa berat, Mawar terus berjalan… menyusuri ketidakpastian yang entah akan membawanya ke mana.
***
Senja perlahan merayap di langit Jakarta, semburat jingga memudar di antara gedung-gedung tinggi yang menjulang tanpa batas. Di tengah keramaian kota yang tak pernah benar-benar tidur, Mawar berjalan gontai tanpa arah dan tujuan.
Tubuhnya lelah, kakinya pegal, dan perutnya melilit karena sejak pagi belum terisi makanan apa pun. Ia menghela napas panjang, menatap sekeliling dengan mata nanar. “Jadi begini rasanya hidup di Jakarta tanpa arah dan tujuan?” gumamnya lirih.
Di pinggir jalan, beberapa pria tengah nongkrong, bersandar di sepeda motor mereka sambil tertawa-tawa. Salah satu dari mereka melirik ke arah Mawar dan bersiul kecil.
“Neng cantik, mau ke mana? Sendirian aja, sini abang temenin!”
Mawar, yang sejak kecil terbiasa hidup keras di pulau, hanya melirik sekilas tanpa menggubris. Langkahnya tetap tegap, meski dadanya dipenuhi keresahan yang sulit ia ungkapkan.
Beberapa kontrakan sudah ia datangi, namun hasilnya nihil. Ada yang penuh, ada yang terlalu mahal, jauh di luar jangkauan uang yang ia bawa. Bekalnya hanya berasal dari tabungan kecil yang ia kumpulkan di celengan serta kalung emas peninggalan ibunya yang diberikan oleh Anjani.
Saat sedang berjalan melewati deretan pedagang kaki lima, aroma sedap dari bakso yang mengepul, sate yang dibakar, dan mie ayam yang diaduk dengan kuah gurih menyerbu penciumannya. Perutnya semakin melilit.
“Aw… aww… lapar banget!” Mawar memegangi perutnya erat, wajahnya meringis.
Ia menggigit bibir, menatap orang-orang yang tengah menikmati makanan dengan tatapan penuh godaan. Tapi ia segera menggeleng keras. “Nggak boleh! Aku harus tahan! Aku butuh tempat tinggal dulu sebelum memikirkan makan!”
Malam semakin larut ketika akhirnya ia menemukan sebuah kontrakan kecil di gang sempit. Kontrakan itu jauh dari layak, tetapi cukup untuk menjadi tempat berteduh.
Di depan pintu, ia bernegosiasi dengan ibu pemilik kontrakan.
“Jangan segitu, Bu… Saya benar-benar nggak punya uang lagi. Kalau uang saya habis untuk bayar kontrakan ini, saya nggak punya bekal untuk makan,” suara Mawar bergetar.
Ibu kontrakan hanya menggeleng tegas. “Maaf, Nak. Harga di sini memang segitu. Kalau nggak sanggup, lebih baik cari tempat lain.”
Mawar menatap uang yang tersisa di tangannya. Jumlahnya begitu sedikit, tetapi ia tak punya pilihan lain. Dengan berat hati, ia menyerahkan beberapa lembar uang kepada ibu kontrakan.
Setelah pintu kontrakan tertutup, Mawar menatap uangnya yang kini telah habis. Satu-satunya yang tersisa hanyalah kalung emas peninggalan ibunya. Air matanya hampir tumpah, tetapi ia menahannya.
“Kalung ini… aku nggak mau menjualnya. Ini satu-satunya kenangan dari Ibu.”
Tapi perutnya berkata lain. Rasa lapar yang ia tahan sejak tadi kini semakin menyiksa.
“Aduh… aku benar-benar nggak kuat lagi!” Mawar memegangi perutnya yang semakin perih.
Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan kalung dari dompet kecilnya. Cahaya lampu redup memantulkan kilaunya, membuat Mawar semakin bimbang. Ia tahu betul, Anjani memberikannya untuk dijual jika keadaan mendesak. Namun, menjualnya berarti melepaskan satu-satunya kenangan dari ibunya.
Ia menatap sekeliling, lalu matanya menangkap sebuah gedung dengan papan bertuliskan “Pegadaian” di depannya.
“Benar… aku tidak perlu menjualnya. Aku bisa menggadaikannya. Nanti, kalau aku sudah punya uang, aku bisa menebusnya kembali.”
Dengan langkah tergesa-gesa, ia melangkah masuk. Seorang pegawai pria menyambutnya dengan ramah.
“Selamat malam, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?”
Mawar mengeluarkan dompet kecilnya dan menyerahkan kalung emas itu. “Pak, saya mau menggadaikan kalung ini.”
Begitu matanya jatuh pada kalung emas yang berkilau di tangan Mawar, pegawai itu terdiam sejenak. Seulas keheranan melintas di wajahnya. Tatapannya berpindah dari perhiasan mewah itu ke sosok Mawar yang tampak lusuh dan kelelahan. Pakaiannya sederhana, wajahnya pucat, dan sorot matanya memancarkan kepayahan yang begitu nyata. Namun, tidak bisa ia pungkri, di balik keletihan itu, ada kecantikan alami yang sulit diabaikan—raut wajahnya lembut, dengan mata yang menyimpan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan.
Namun yang menjadi pertanyaannya, bagaimana mungkin gadis dengan penampilan seperti ini memiliki kalung semewah ini?
Mawar yang menyadari tatapan itu merasa tak nyaman. Ia menggenggam jemarinya erat, seakan berusaha menenangkan diri dari kegelisahan yang mulai menyelinap di dadanya.
“Apa ada sesuatu yang salah, Pak?” tanyanya dengan nada hati-hati, matanya menatap pegawai itu penuh kewaspadaan.
Pegawai itu tersenyum samar. “Oh, tidak… Hanya saja, kalung ini sangat bagus. Berapa yang ingin kamu pinjam?”
Mawar terdiam sejenak, mempertimbangkan jawabannya. “Lima juta, Pak. Kira-kira bisa tidak?"
Pegawai itu terperanjat. “Lima juta? Kamu yakin? Kalung ini kalau dijual bisa lebih dari lima puluh juta, lho.”
Mawar membelalakkan matanya. “Lima puluh juta?” Bisiknya nyaris tak terdengar.
Ia tak pernah menyangka bahwa benda yang selama ini hanya ia anggap sebagai kenangan dari ibunya ternyata memiliki harga yang begitu fantastis.
Pegawai itu menatapnya penuh tanda tanya. “Jadi, benar cuma mau pinjam lima juta?”
Mawar tersentak dari lamunannya dan buru-buru mengangguk. “Iya, lima juta saja.”
Setelah proses selesai, Mawar keluar dari Pegadaian dengan uang di tangannya. Namun, tanpa ia sadari, ada sesuatu yang tertinggal—secarik kertas kecil di dalam dompet tempat ia menyimpan kalung itu.
Di dalam ruangan, pegawai tadi hendak meletakkan kembali kalung itu ketika matanya menangkap secarik kertas kecil yang terselip. Dengan rasa penasaran, ia membukanya.
“Nomor telepon Pak RT.”
Pegawai itu mengernyit. “Nomor telepon? Siapa ini?”
Ia menatap punggung Mawar yang semakin menjauh. Hatinya merasa ada sesuatu yang janggal, tetapi ia akhirnya menggelengkan kepala.
“Ya sudahlah… Kalau memang penting, pasti dia akan datang lagi.”
Ia memasukkan kembali kertas itu ke dalam dompet kecil Mawar, meletakkannya bersama kalung emas yang kini telah tergadaikan.