Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.
Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.
Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?
Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedekatan antara Jingyan dan banxue
Malam turun perlahan di atas Sekte Pedang Azura. Langit berubah ungu gelap, dihiasi bintang-bintang yang mulai berkelip. Namun, di ruang dalam para tetua, malam bukan waktu untuk beristirahat—melainkan waktu untuk merapatkan barisan.
Tetua Lian menjatuhkan satu gulungan kertas ke meja giok, wajahnya pucat.
"Laporan dari luar lembah. Tiga klan mulai menanyakan soal murid bernama Banxue. Dan satu... dari mereka adalah Klan Ji."
Seketika suasana menjadi sunyi. Tatapan para tetua saling berpaut—ada kegelisahan di dalamnya.
Tetua Qian bergumam, “Apa mereka mendeteksi aura itu juga?”
"Mustahil tidak," jawab Tetua Han. "Bahkan kami yang ada di sini merasa tekanan qi-nya berubah... dia bukan hanya tubuh surgawi. Dia... bisa menjadi pusat pergeseran kekuatan jika jatuh ke tangan yang salah."
Tetua Zhang menyilangkan tangan. "Kita harus bicara dengan anak itu. Tapi jangan paksa dia memilih. Sekarang, tekanan akan datang dari mana-mana. Bahkan dari dalam sekte ini sendiri."
Di saat yang sama, Banxue duduk di halaman belakang asramanya, di bawah pohon sakura yang belum sepenuhnya mekar. Udara malam dingin, tapi hatinya lebih dingin lagi.
Ia mendengar suara langkah ringan mendekat, tapi tak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.
"Tak tidur, Nona Murid Istimewa?"
Jingyan.
"Tak berniat mendadak menyerangku seperti Mo Yanzhou kemarin, kan?" balas Banxue tanpa ekspresi.
"Kalau iya, kau pasti sudah menempelengku dengan aura emas itu." Jingyan duduk di sampingnya, menyandarkan kepala ke batang pohon.
Sunyi sebentar. Angin malam berembus, membawa suara serangga dan daun kering yang terseret di tanah.
"Ada yang mencarimu," kata Jingyan akhirnya. "Bukan murid. Bukan juga guru."
Banxue mengalihkan pandangan. "Klan Ji?"
"Aku tidak akan mengiyakan... tapi juga tidak akan menyangkal."
"Mereka ingin aku jadi alat mereka?"
Jingyan menoleh, menatap wajah Banxue dalam cahaya bulan.
“Mereka ingin kuasa. Dan kamu... pusatnya.”
Banxue menggenggam pergelangan tangannya. “Lalu kamu apa? Dikirim untuk membujukku?”
"Awalnya."
Satu kata itu meluncur seperti panah.
Tapi sebelum Banxue bicara, Jingyan melanjutkan—nada suaranya berubah rendah, namun jujur.
"Tapi sekarang, aku cuma ingin tetap bisa duduk di sini. Di sampingmu. Di bawah pohon yang belum mekar. Tanpa perlu menyampaikan surat dari siapa pun."
Banxue memejamkan mata. Lelah. Penuh.
"Aku tidak tahu siapa yang bisa kupercaya, Jingyan."
Ia mendengar desah napas Jingyan. Lalu satu kalimat meluncur pelan, hampir seperti janji.
"Kalau begitu, izinkan aku jadi satu-satunya yang tak pernah kau ragukan."
Mereka tak saling menatap setelah itu. Hanya diam, dalam malam yang begitu jernih. Tapi di antara hening dan cahaya bintang, dua hati mulai menyatu dalam luka... dan sesuatu yang belum mereka pahami sepenuhnya.
Namun dari kejauhan, di balik bayang-bayang batu penjuru, seorang murid berpakaian kelabu berdiri menatap mereka. Tangannya menggenggam liontin dengan simbol kultus—bukan milik Klan Ji, tapi milik kelompok yang bahkan Klan Ji tak berani sentuh.
Dan dari bibirnya, gumam lirih menyelinap ke dalam angin malam:
“Tubuh surgawi tak bisa dimiliki oleh satu klan. Tapi bisa dihancurkan... oleh cinta yang salah.”
Lain sisi....
Saat Malam mulai larut, tapi Linrue belum juga kembali ke paviliunnya. Langkahnya pelan saat melewati koridor batu yang sepi. Cahaya lentera menggoyang pelan tertiup angin, membentuk bayangan panjang di sepanjang dinding.
Di taman belakang, ia menemukan Wayne sedang duduk di dekat kolam teratai, menatap permukaan air yang memantulkan bulan setengah.
“Kau masih di sini,” ujar Linrue pelan.
Wayne menoleh sedikit, lalu kembali menunduk. “Tak bisa tidur. Terlalu banyak yang terjadi.”
Linrue mendekat dan duduk di sampingnya. Hening sejenak, lalu ia berkata,
“Aku melihat mereka tadi.”
Wayne melirik. “Mereka?”
“Banxue dan Jingyan. Di hutan bambu.”
Nada suaranya datar, tapi matanya menyimpan sesuatu yang rumit.
Wayne menahan napas, lalu menatap Linrue lebih dalam. “Dan?”
“Mereka bicara. Dekat. Seperti… bukan hanya soal latihan atau urusan sekte.”
Wayne terdiam. Lalu, nyaris tak terdengar, ia berkata, “Aku tahu. Sejak beberapa waktu lalu, aku bisa melihat perubahan pada Banxue saat dia bicara dengan Jingyan.”
Linrue mengangguk pelan. “Aku tidak tahu kenapa rasanya tidak nyaman. Mungkin karena aku terlalu berharap bahwa kita semua bisa tetap sama seperti dulu.”
Wayne menatap langit. “Tidak ada yang tetap sama, Linrue. Bahkan kita pun mulai berubah.”
Sebelum Linrue bisa menjawab, langkah kaki terdengar dari balik pohon. Fengyu muncul, tangannya di balik punggung, ekspresinya tenang tapi matanya tajam seperti biasa.
“Aku juga melihat mereka.”
Wayne menegang. “Sejak kapan kau jadi pengintai malam?”
“Aku bukan mengintai. Aku… memastikan,” jawab Fengyu. Ia menatap keduanya dengan serius. “Kalian juga merasakannya, kan? Sesuatu berubah.”
“Banxue bukan anak baru biasa. Kita tahu itu,” kata Wayne pelan. “Tapi sekarang, ada Jingyan. Dan—”
“—aku tidak percaya padanya,” potong Fengyu.
Linrue menyipitkan mata. “Karena dia dekat dengan Banxue?”
“Karena dia menyembunyikan sesuatu. Tatapannya terlalu terlatih. Sikapnya terlalu licin. Dan terlalu cepat dia bisa masuk ke dalam lingkaran Banxue.”
Wayne bangkit perlahan. “Jadi? Apa kau mau menjauhkan mereka?”
“Jika perlu, ya,” jawab Fengyu tenang. “Karena jika dia datang bukan sebagai teman, maka kita sedang membiarkan musuh duduk di tengah-tengah kita.”
Linrue berdiri, nada suaranya lebih tajam dari biasanya. “Tapi bagaimana jika Banxue yang memilihnya? Apa kita akan menentang keputusan Banxue sendiri?”
Fengyu menatapnya. “Kalau pilihannya membawanya menuju kehancuran, maka ya. Aku akan menentangnya.”
Wayne menarik napas dalam-dalam. Malam itu, ketiganya berdiri dalam lingkaran cahaya lentera yang perlahan meredup. Dan di antara mereka, sebuah pertanyaan menggantung di udara:
Apakah melindungi seseorang berarti harus mencurigai siapa yang ia percayai?
Linrue memalingkan wajah. “Aku tidak tahu siapa yang salah. Tapi satu hal pasti... kita semua mulai goyah. Dan Banxue, entah sadar atau tidak, menjadi poros dari semua ini.”
Fengyu mengangguk pelan. “Itu sebabnya kita tak bisa berhenti memperhatikannya.”
Wayne memejamkan mata sejenak, lalu berkata lirih, “Kalau sampai dia jatuh... aku tak yakin kita bisa membangkitkannya kembali.”
Dan malam itu, di tengah keheningan, tiga orang sahabat menyadari bahwa persahabatan mereka sedang diuji. Bukan oleh pertempuran, tapi oleh pilihan—dan oleh cinta yang tak pernah disepakati sejak awal.