NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:693
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 18

Di sebuah rumah remang-remang yang berdiri di tepi persawahan, beberapa perempuan tampak berjajar di teras. Wajah mereka bercahaya bukan karena kebahagiaan, melainkan pantulan dari lampu neon yang temaram. Mereka adalah para LC—plus-plus—yang tengah menanti tamu-tamunya.

Malam itu mereka mengenakan pakaian serba seksi, dengan riasan tebal dan rokok menyala di sela jemari. Di sekeliling mereka, nyamuk-nyamuk nakal berdengung.

Salah satu yang paling laris malam itu adalah Risna. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu dulunya adalah rekan seperjuangan Lela—teman satu room karaoke. Namun nasib mereka kini berbeda jalan. Lela telah naik panggung, jadi penari sound horeg yang dikenal, bahkan kadang menyanyi di konser panggungan. Sementara Risna, ia masih harus berjuang di jalan yang kelam: menjajakan senyum, tubuh dan tempiknya untuk para lelaki pemburu kenikmatan lendir.

Semua itu ia jalani bukan karena pilihan, tetapi karena kebutuhan. Hanya itulah satu-satunya sumber penghasilannya. Ia menjual "apem" kepada puluhan pelanggan, bahkan sampai robek-robek, hanya demi menyambung hidup—menghidupi seorang anak dan suami yang pengangguran.

Kata para pelanggannya, goyangan Risna tak kalah panas dari Lela. Katanya menunggangi Risna di ranjang seperti menunggang kuda yang meringkik, tubuhnya bisa berputar seperti baling-baling helikopter—begitu mereka menggambarkannya dengan bahasa yang kasar namun jujur. Tak jarang, Risna jadi rebutan para om-om kesepian, bahkan kakek-kakek tua bangka yang masih gemar memburu kenikmatan.

Di rumah itu, Risna dan para LC lainnya diasuh oleh Mami Juminem—seorang perempuan tua yang mengatur jadwal, menetapkan tarif, dan menyulap rumah itu menjadi tempat karaoke yang lebih sering menjadi tempat transaksi gelap. Untuk jasa karaoke per jam, Risna dihargai seratus dua puluh lima ribu rupiah. Dari jumlah itu, ia hanya mendapat setengahnya. Separuh lagi masuk ke kantong Mami Juminem, katanya untuk biaya operasional dan “izin” rumah bordil itu.

Namun jika tamu menginginkan lebih—"plus-plus"—maka tarifnya bisa mencapai empat ratus hingga lima ratus ribu rupiah. Semuanya tergantung kepintaran pelanggan dalam menawar. Terkadang ia juga melayani tamu yang melakukan bokingan: di hotel-hotel kelas menengah, vila-vila sewaan, atau bahkan rumah-rumah kosong yang disulap menjadi tempat rahasia.

“Eh, Pak Kaji... Sayangku, rawuh toh!” sambut Risna dengan senyum manja, suaranya mendesah pelan, diselimuti asap rokok dan cahaya lampu setengah redup.

Pak Kaji Mispan hanya tertawa kecil, pura-pura canggung, tapi matanya menyapu tubuh Risna dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lelaki bersarung dan berkopyah itu adalah tamu langganan di rumah karaoke milik Mami Juminem—meski di masjid dan forum-forum desa, namanya dikenal sebagai tokoh agama dan orang terhormat.

“Wah, santai dulu to, Dek. Belum sempat ngopi ini,” ucap Mispan sambil duduk di sofa yang sudah mulai aus di ujungnya.

Risna mendekat, duduk di sandaran tangan kursi sambil mencolek bahu Kaji Mispan. “Pak Kaji mau nyanyi-nyanyi? Atau langsung… mengobrol yang lebih privat?”

“Saya ke sini, ya itu… pengin rehat, ngaso sejenak. Ngungkal pusaka yang lama tak disentuh,” jawab Kaji Mispan sembari mengusap-usap janggutnya yang mulai memutih.

"Iya sudah Pak Kaji, ayo kita beradu skil sekarang juga." Risna tertawa lirih, lalu mengisyaratkan agar Kaji Mispan mengikutinya masuk ke dalam salah satu kamar. Mami Juminem yang sejak tadi memperhatikan dari balik tirai plastik hanya menggeleng pelan, lalu tersenyum. Ia sudah hafal betul irama tamu-tamunya. Terutama tamu-tamu ‘kelas berat’ seperti Kaji Mispan.

Sejam lebih berlalu. Kaji Mispan keluar dari kamar dengan langkah pelan dan wajah lega.

Setelah urusan ranjang selesai dan cairan pejoh ditumpahkan ke apemnya Risna, Kaji Mispan berdiri sambil membetulkan sarung dan merapikan peci. Ia menyelipkan lima lembar uang seratus ribuan ke tangan Mami Juminem—dan satu lembar merah muda untuk Risna, semacam bonus atas semangat kerja keras malam itu.

"Sering-sering mampir iya, Pak Kaji..." ucap Mami Juminem dengan manja, bibirnya mengerucut sambil mengepulkan asap rokok.

"Tenang Mi... asal stok njenengan bening-bening, aku pasti rajin dolan kesini." jawab Mispan santai, sambil menyelipkan sisir ke kantong bajunya.

Tapi belum sempat ia melangkah keluar, suara deru motor dan teriakan dari luar rumah membuat seluruh suasana berubah tegang.

"Polisi! Semua tetap di tempat!" teriak salah satu dari mereka.

Beberapa perempuan buru-buru masuk ke kamar, menutup pintu dan menyembunyikan diri. Mami Juminem menatap panik ke arah pintu depan. Risna meraih handuk, menggigil. Tapi Kaji Mispan... tetap tenang. Seolah ini bukan pertama kalinya ia melihat badai datang ke rumah karaoke.

Ia berjalan pelan ke arah pintu belakang, lalu menyelip ke lorong sempit. Di sana, ia temui seorang komandan polisi muda yang baru saja menuruni mobil—langkahnya masih ragu, matanya masih penuh gelora penegakan hukum.

"Pak... mari sebentar," bisik Mispan.

Ia merogoh sakunya, menggulung beberapa lembar uang, lalu menyodorkannya secara halus.

"Ini salah paham. Wong ndeso cuma cari hiburan, bukan bikin kerusuhan. Tolong dibantu adem... ngerti to?"

Mata sang polisi menatap uang itu sebentar. Lalu, ia mengangguk. “Siap, Pak Kaji.”

Beberapa menit kemudian, suara petugas berubah.

"Clear! Salah sasaran. Tidak ada pelanggaran. Kembali ke markas!"

Mobil patroli pun melaju kembali perlahan, sirine tak pernah sempat dinyalakan. Lampu dimatikan. Jejak tak ditinggalkan.

Di dalam, udara mendingin. Risna keluar perlahan dari kamar. Mami Juminem menyalakan rokok barunya dengan tangan masih bergetar.

Kaji Mispan kembali ke meja, duduk sebentar, lalu meminum air putih dari gelas plastik yang belum disentuh.

"Sekarang njenengan percaya kan, Mi. Wong seperti saya jaga tempat seperti ini dari musibah," ujarnya sambil tertawa kecil.

Mami Juminem ikut tertawa, senang. "Pak Kaji... matursuwun nggih, Pak."

Kaji Mispan hanya tersenyum. Di luar, malam kembali tenang. Tapi di dalam, telah terjadi transaksi yang lebih tua dari hukum itu sendiri—uang membeli kedamaian, dosa dibungkus ketenangan, dan kebenaran dikorbankan untuk kenyamanan sesaat.

Malam kembali melata seperti semula—seakan sirine yang nyaris meraung tadi hanyalah bisikan angin yang sempat tersesat. Tak ada jejak sepatu lars yang menyalak di halaman, tak ada tanda kegaduhan yang sempat mengguncang isi rumah. Udara yang tadi pekat oleh cemas kini mulai mengurai, meski bau takut masih menggantung tipis di dinding kamar, dan di tengkuk perempuan-perempuan yang diam-diam berharap pagi segera datang.

Kaji Mispan duduk tenang di bangku depan. Rokok menyala di jemarinya, asapnya membubung ke langit yang legam. Peci hitam kembali bertengger rapi di kepalanya, wajahnya bersih dan tenang, seperti lelaki yang baru saja pulang dari musala, bukan dari ruang gelap yang menyimpan cerita diam-diam. Tak banyak tahu, bahwa baru saja—dalam hitungan menit—ia menjadi penentu arah malam ini. Bukan lewat petuah, bukan pula lewat dalil, melainkan melalui isyarat sunyi yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang pernah membaca bahasa dunia: bahasa uang.

Di balik pintu, Mami Juminem berdiri mematung. Bahunya masih bergetar, namun senyum kecil mulai menyusup di wajahnya yang lelah. Ia mendongak ke langit-langit, seolah menyapa nasib yang baru saja berbalik arah. Lalu tawa lirih meluncur dari bibirnya—tawa getir yang entah merayakan keselamatan, atau sekadar pelarian dari lelah yang tak selesai-selesai.

“Pak Kaji memang simpanan takdir,” gumamnya pelan. “Bukan cuma pandai memeluk payudara, tapi juga badai...”

Di dalam rumah, perlahan-lahan kehidupan kembali merayap. Risna duduk kembali di depan cermin. Jemarinya menyeka rias wajah yang luntur, geraknya masih gemetar tapi perlahan menemukan irama. Usianya muda, namun malam-malam telah membisikkan terlalu banyak rahasia ke tubuhnya. Ia diam, tapi matanya bercerita lebih dari yang bisa dikisahkan.

Sementara itu, Mami Juminem membuka laci kecil di dekat kasir. Uang-uang dari semalam dihitung ulang, satu per satu. Tak tergesa, seolah ia sedang menata ulang garis nasib. Rumah ini masih berdiri, anak-anak asuhnya masih punya tempat berteduh, dan kehidupan—dalam bentuk yang paling sederhana sekaligus paling rumit—masih bisa terus berjalan.

Ia bersenandung lirih. Lagu-lagu lama dari masa lalunya—ketika dirinya masih menanti tamu, masih menghitung jam dan harapan. Kini ia di balik kemudi. Dan untuk malam ini, takdir berpihak padanya.

Di luar, jalanan kembali sepi. Malam turun lembut, menyelimuti apa-apa yang tak jadi terbuka. Tak ada berita besok pagi. Tak ada laporan. Hanya sunyi yang bekerja dengan tekun, menyimpan semua kisah dalam rahimnya yang gelap dan dalam.

Komplek itu kembali tenang. Seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tak ada sisa keributan, hanya kasur kusut yang belum diganti, asbak penuh puntung, dan senyum seorang perempuan tua yang tahu benar: hidup tak selalu berpihak pada yang benar, tapi sering kali pada yang lebih cepat membaca arah angin.

Dan begitulah dosa bernafas—tanpa suara, tanpa jejak. Ia tidak berlari, tapi merambat pelan, tumbuh di balik peci, di balik sajadah, di balik senyum ramah dan salam yang terdengar khusyuk. Dan malam, seperti biasa, menyimpannya dengan takzim.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!