Kehidupan Zayn berubah dalam semalam karena orang tuanya tega 'Membuangnya' ke Pondok Pesantren As-Syafir.
"Gila gila. Tega banget sih nyokap ama bokap buang gue ke tempat ginian". Gerutu Zayn.
---
Selain itu Zayn menemukan fakta kalau ia akan dijodohkan dengan anak pemilik pondok namanya "Amira".
"Gue yakin elo nggak mau kan kalau di jodohin sama gue?". Tanya Zayn
"Maaf. Aku tidak bisa membantah keputusan orang tuaku."
---
Bagaimana kalau badboy berbisik “Bismillah Hijrah”?
Akankah hati kerasnya luluh di Pondok As-Syafir?
Atau perjodohan ini justru menjerat mereka di antara dosa masa lalu dan mimpi menuju jannah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MayLiinda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
AUTHOR POV
Setelah keluarga Zayn berpamitan dan meninggalkan pondok As-Syafir, suasana kembali seperti biasa. Tapi hati dua insan yang baru saja berbincang soal masa depan itu tidak ada yang berubah. Masih tak percaya tapi itu nyata.
Zayn kembali ke kamar dengan langkah perlahan. Tasbih barunya digenggam erat. Di sisi lain pondok, Amira duduk sendiri di bawah pohon mangga, menyusuri halaman buku catatannya yang penuh kutipan, catatan kajian, dan puisi-puisi kecil.
Tak ada pesan dari satu sama lain, tapi di hati keduanya, telah tertulis sesuatu: komitmen diam-diam yang tumbuh bukan karena cinta, tapi karena keinginan untuk saling mengerti.
ZAYN POV
Hari ini... berat.
Tapi bukan karena beban yang ditanggungnya. melainkan lebih ke arah, 'gue belum ngerti sepenuhnya, tapi gue pengen ngerti'. Kayak mau belajar naik sepeda, tapi rodanya belum gue pasang dengan benar.
Gue duduk di emperan belakang, buku catatan kosong di tangan. Gak ada niat nulis, tapi tangan gue gatal pengen coret-coret sesuatu. Akhirnya gue tarik napas panjang.
“Dijodohin.”
Gue ucapin pelan. Kata yang dulu rasanya kayak hukuman, sekarang kayak awal baru...yang belum jelas arahnya. Tapi anehnya, gue gak takut.
Karena Amira bukan sekadar anak Kyai. Dia anak yang hatinya kayak rumah sederhana, tapi bikin nyaman.
AUTHOR POV
Dari kejauhan, Falah menghampiri Zayn. Senyumnya lebar, saat sampai di dekatnya ia menepuk bahu Zayn dengan pelan. Dia tahu, pagi ini bukan waktu untuk guyonan.
“Assalamu’alaikum,” sapanya sambil duduk di sebelah Zayn.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Zayn singkat.
Falah menatap langit yang mulai memutih, lalu melirik wajah sahabatnya.
“Kenapa melamun sendirian disini?”
Zayn mengangkat bahu. “Gak papa Falah. Cuma gue ngerasa kayak bakalan punya tanggungjawab yang berat.”
Falah tersenyum, “Zayn, belajar agama emang lebih berat daripada belajar disekolah biasa kenapa? Karena disini kita berusaha untuk jadi kepribadian yang lebih baik dan berusaha menjauh dari masa lalu yang buruk. Tapi kamu hebat Zayn,kamu masih mau bertahan.”
ZAYN POV
Falah bener.
Dulu gue berada di jalan yang salah dan sekarang gue berusaha berada di jalan yang benar.
Tapi sekarang… gue pengen jalan bukan buat kabur. Tapi buat nyamperin sesuatu yang mungkin bisa benerin hidup gue.
Mungkin... Amira bukan tujuan gue.
Tapi dia penunjuk arah.
Dan itu cukup buat gue pengen bertahan.
AMIRA POV
Aku berjalan pelan ke ruang kajian. Di tangan, buku tafsir kecil yang tadi pagi tak sengaja tertinggal di meja ruang tamu. Tapi pikiranku bukan tentang buku itu.
Pikiranku... tentang pagi tadi.
Tentang mata Zayn yang tidak berani menatapku lama, tapi diam-diam seperti ingin bicara banyak.
Tentang kalimat sederhana yang keluar dari bibirnya, 'Gue mau belajar sabar'.
Sabar.
Kata yang berat tapi indah kalau dilakukan karena Allah.
Aku berdoa dalam hati, “Ya Allah… kalau ini jalan-Mu, pelankan langkah kami, tapi kuatkan kaki kami.”
AUTHOR POV
Waktu beranjak ke tengah hari. Matahari merayap di atas atap pondok. Zayn mengambil wudhu dengan tenang, lalu berjalan ke masjid untuk bersiap shalat Dhuha.
Namun, sebelum masuk ke dalam, ia berbalik sebentar. Dan matanya menangkap sosok berpakaian putih muda di antara pepohonan. Amira.
Dia berdiri dengan Al-Qur’an kecil di tangan, bersandar pada batang pohon, dan sesekali menyibak rambut yang keluar dari jilbabnya. Ia terlihat seperti... bagian dari pondok ini. Bukan karena lahir di sini, tapi karena menyatu dengan ketenangan tempat ini.
Zayn tidak menyapanya. Hanya menatap sebentar, lalu masuk ke dalam masjid.
ZAYN POV
Gue tahu gue belum bisa jadi pribadi yang baik terlepas dari masa lalu gue.
Tapi hari ini... untuk pertama kalinya, gue minta satu hal ke Allah, 'Kalau dia jodoh gue, jagain hatinya. Jangan buat dia kecewa sama gue'.
Itu doanya.
Bukan minta dimudahkan, bukan minta cinta dibalas. Tapi cuma minta, 'jangan jadi luka buat orang yang lagi belajar percaya.'
AUTHOR POV
Di dalam hati Amira, doa serupa mengalir.
“Ya Allah, kalau dia yang Kau pilihkan... tuntunlah kami saling mencintai dalam ridha-Mu.”
Hari ini tidak ada pelukan, tidak ada janji. Tapi ada satu hal yang lebih kuat dari keduanya, kesediaan.
Kesediaan untuk tidak kabur.
Kesediaan untuk tetap tinggal meski belum sepenuhnya paham.
Dan kesediaan untuk memulai sesuatu... yang mereka tahu akan panjang, tapi mungkin indah.
AMIRA POV
Sore nanti akan ada pengajian ibu-ibu. Bunda memintaku bantu menyiapkan snack dan minuman. Tapi sebelum ke dapur, aku duduk sebentar di teras belakang. Angin Jogja sore hari selalu membawa tenang.
Aku membuka Al-Qur’an dan membaca pelan ayat yang pernah kuberi pada Zayn: “InnaAlladzina qaaluu rabbunAllahu tsummas taqamu…”
Aku ulangi kalimat itu tiga kali.
“…lâ khawfun ‘alayhim wa lâ hum yahzanûn.”
Tak ada ketakutan bagi mereka, tak ada pula kesedihan.
ZAYN POV
Malamnya gue buka catatan kecil yang gue simpan di bawah bantal. Isinya masih kosong. Tapi gue tulis satu kalimat,
“Jalan lurus itu bukan jalan tanpa batu. Tapi jalan yang tetap gue pilih meski kaki berdarah.”
Dan di bawahnya, gue tambahin:
“19.07 — hari gue mulai belajar bertanggung jawab, bukan karena dituntut, tapi karena gue mau.”
AUTHOR POV
Pukul 4 sore, adzan Ashar berkumandang. Santri bergegas ke masjid. Amira menutup mushaf, Zayn melipat sajadah.
Di hati mereka masing-masing, masih ada ragu. Masih ada tanya. Tapi hari ini, tanya-tanya itu nggak membuat mereka kabur. Justru jadi alasan buat lebih mendekat.
Di dunia yang penuh cinta instan, mereka memilih cara yang lebih sunyi,mengenal lewat diam, memahami lewat jarak, dan mencinta lewat doa.
AMIRA POV
Aku tahu, perjalanan ini tidak akan pernah mudah.
Zayn bukan orang biasa. Dia punya masa lalu yang kelam. Terbiasa hidup di dunia malam.
Tapi aku percaya...
Orang yang paling tahu rasanya gelap, adalah orang yang paling menghargai cahaya.
ZAYN POV
Gue tahu Amira bukan orang biasa.
Dia bukan sekadar santriwati yang terpandang atau anak Kyai pemilik pesantren As-Syafir.
Dia perempuan yang bisa ngajarin gue satu hal paling penting,
Kalau lo pengen berubah... lo gak harus jadi sempurna dulu.
Lo cukup jadi seseorang yang gak lagi nyalahin masa lalu.
---
AUTHOR POV
Malam turun dengan lembut di atas langit As-Syafir.
Amira menutup jendela kamarnya, dan Zayn menaruh mushaf di atas bantal.
Mereka tidak saling chat. Tidak saling cari.
Tapi mereka tahu...
Ada Allah di antara mereka.
Dan itu cukup.
Untuk malam ini.
----
To Be Continued..🫶✨️