NovelToon NovelToon
Gelora Berbahaya Pria Simpanan

Gelora Berbahaya Pria Simpanan

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Suami Tak Berguna
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Rizky Rahm

Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pagi Bersama Max

Laura terbangun karena aroma kopi yang samar di udara. Ia berkedip beberapa kali, merasakan kelembutan selimut yang melingkupinya. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari di mana ia berada—bukan di rumahnya, bukan di ranjang kosong.

Di sana, ada jejak Max. Laura menyentuh seprei, hangat, menandakan bahwa Max memang tidur di sana.

Tapi kemana pria itu sekarang? Apakah juga pergi seperti Nicholas. Tidak menunggunya bangun?

Udara pagi yang sejuk masuk dari balkon yang sedikit terbuka. Laura menoleh, melihat Max duduk di sana, satu kaki disilangkan di atas yang lain, secangkir kopi di tangannya.

Pria itu tidak langsung menyadari bahwa ia sudah bangun. Atau mungkin menyadari, tapi memilih untuk tidak langsung menoleh.

Laura diam-diam mengamatinya. Ada sesuatu tentang Max yang berbeda dari semua pria yang pernah ia kenal. Ia tidak banyak bicara, tapi setiap gerak-geriknya memiliki arti. Ia tidak memaksakan kehadirannya, tapi selalu terasa nyata.

Perlahan, Max menoleh ke arahnya. Matanya mengamati wajah Laura yang baru bangun, bibirnya melengkung dalam senyum kecil.

"Tidurmu nyenyak?"

Laura mengangguk, meskipun ia sendiri tidak yakin apakah yang ia rasakan bisa disebut nyenyak.

Max mengangkat cangkir kopinya. "Mau?"

Laura menatapnya ragu, lalu akhirnya bangkit dari tempat tidur dan berjalan mendekat. Ia mengambil cangkir yang ditawarkan Max dan mencium aromanya. Hangat. Menenangkan.

"Terima kasih," gumamnya.

Max tidak menjawab, hanya menatapnya sejenak sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke arah luar, ke hamparan kota yang masih diselimuti kabut pagi.

Laura duduk di kursi di sebelahnya, membiarkan keheningan mengisi udara di antara mereka. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak perlu berbicara untuk mengisi kekosongan.

Karena di sini, di samping Max, keheningan tidak terasa sepi.

Laura menggenggam cangkir kopi itu dengan kedua tangannya, membiarkan kehangatannya meresap ke kulitnya. Ia menyesapnya perlahan, merasakan pahit yang menyelinap di lidahnya, meninggalkan jejak rasa yang samar tapi nyata—seperti sesuatu yang seharusnya tidak asing, tapi entah kenapa terasa berbeda kali ini.

Di sampingnya, Max masih diam. Matanya tetap terarah ke luar, mengamati jalanan yang masih lengang, lampu-lampu kota yang perlahan meredup seiring matahari semakin naik.

Laura ingin mengatakan sesuatu, tapi tak tahu harus memulai dari mana. Ada begitu banyak hal yang berkecamuk di dalam kepalanya—tentang mimpi buruknya, tentang kata-kata yang selalu menghantuinya, tentang ketakutan yang selama ini tak pernah benar-benar ia akui.

Namun sebelum ia sempat membuka mulut, Max sudah lebih dulu bersuara.

"Kamu terlihat lebih baik."

Laura menoleh, mendapati tatapan Max yang tenang tapi penuh perhatian.

"Aku?" ia mengernyit. "Apa maksudmu?"

Max mengangkat bahu santai. "Tidak seperti seseorang yang habis dihantui mimpi buruk."

Laura tersenyum kecil, tapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Mungkin karena aku tahu kali ini aku tidak sendirian."

Max tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Laura sedikit lebih lama sebelum kembali menyeruput kopinya.

"Mereka tidak akan bisa menyakitimu lagi, Laura," katanya pelan. "Kecuali kamu membiarkan mereka."

Laura menunduk, jemarinya mengusap pinggiran cangkir. "Tapi bagaimana kalau mereka benar? Bagaimana kalau aku memang tidak akan pernah benar-benar bahagia?"

Max meletakkan cangkirnya di meja kecil di samping kursinya, lalu bersandar santai. "Kamu bertanya seolah kebahagiaan itu sesuatu yang diberikan orang lain padamu."

Laura mengerutkan kening. "Bukankah memang begitu?"

Max menggeleng pelan. "Kebahagiaan bukan sesuatu yang kamu tunggu diberikan oleh orang lain, Laura. Kamu yang menciptakannya sendiri."

Laura terdiam. Kata-kata Max terasa sederhana, tapi entah kenapa menyentuh sesuatu yang dalam di dalam dirinya.

"Dan kalau kamu takut kesepian," Max melanjutkan, kali ini suaranya sedikit lebih lembut, "kamu harus tahu kalau ada orang-orang yang tidak akan pergi, tidak peduli seberapa buruk harimu."

Tatapan mereka bertemu, dan untuk pertama kalinya, Laura merasakan sesuatu yang hangat merayapi dadanya.

Perlahan, ia mengalihkan pandangannya kembali ke depan, membiarkan angin pagi menyapu wajahnya.

"Max?"

"Hm?"

"Aku ingin mencoba."

Max mengangkat alis. "Mencoba apa?"

Laura menarik napas dalam, menggenggam cangkirnya erat. "Mencoba untuk tidak membiarkan mereka menghantuiku lagi."

Sejenak, Max hanya menatapnya. Kemudian, sudut bibirnya melengkung dalam senyum tipis.

"Bagus."

Tak ada lagi kata-kata setelah itu, hanya keheningan yang melingkupi mereka. Tapi kali ini, keheningan itu bukanlah sesuatu yang menyesakkan.

Untuk pertama kalinya, Laura merasa bahwa mungkin—hanya mungkin—ia bisa mulai bernapas tanpa bayangan masa lalu menghantuinya.

Ketika Laura mulai merasa tenang, nada dering ponselnya tiba-tiba memecah keheningan. Suara itu menusuk telinganya seperti sirene darurat. Jantungnya berdegup kencang saat ia melirik layar ponselnya.

Nicholas.

Darah seakan mengalir lebih cepat di nadinya. Tangannya langsung gemetar saat ia meraih ponselnya, nyaris menjatuhkannya karena gugup. Jarinya terasa kaku, sulit untuk memutuskan apakah harus mengangkat atau mengabaikan panggilan itu.

Max, yang duduk di sampingnya, langsung menyadari perubahan ekspresi Laura. Matanya menyipit sedikit, memperhatikan bagaimana gadis itu tiba-tiba terlihat tegang.

Laura menelan ludah, akhirnya menggeser layar dan mengangkat telepon dengan tangan yang masih bergetar.

"H-Halo?" suaranya terdengar lebih lirih dari yang ia harapkan.

Dari seberang sana, suara Nicholas terdengar dingin, tapi tegas.

"Laura, kamu di mana?"

Laura terdiam, merasa seolah suara Nicholas menyusup ke dalam dadanya, mencengkeram sesuatu yang rapuh di dalamnya.

"Aku…" Ia menoleh ke Max yang masih memperhatikannya dengan ekspresi netral, tapi penuh pengamatan. Laura menutup mata sesaat, mencoba menenangkan napasnya. "Aku di luar. Kenapa?"

"Di luar? Sepagi ini?" Nicholas terdengar tidak percaya. "Dengan siapa?"

Jantung Laura semakin berdegup kencang. Ia melirik Max lagi, lalu buru-buru bangkit dari kursinya, berjalan sedikit menjauh agar suara Max tidak terdengar.

"Nicholas, kenapa kamu menelepon pagi-pagi begini?" tanyanya, mencoba terdengar tenang meskipun suaranya masih bergetar.

"Kenapa?" Nicholas tertawa kecil, tapi tidak terdengar geli. Lebih seperti tawa sinis. "Apakah perlu alasan untuk menghubungimu."

"A-aku pikir kamu tidak pulang semalam, tidak ada tanda-tanda kamu di rumah." Dalam hati Laura berharap ucapannya benar. Dia tidak tahu apakah Nicholas pulang atau tidak, walau seringnya tidak. Ia berharap tadi malam, suaminya itu juga tidak pulang. "Lalu aku bangun pagi ini, dan kamu masih belum ada di sini."

Laura menggigit bibirnya. Perutnya terasa mual atas kebohongannya.

"Jadi aku.... Ehm, Aku hanya… butuh udara segar," dalihnya lemah.

"Udara segar?" Nicholas mengulang kata-katanya dengan nada penuh kecurigaan. "Dengan siapa?"

Laura menutup matanya erat.

Apa yang harus ia katakan?

Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh punggungnya dengan ringan. Laura hampir melompat karena terkejut, tapi ketika menoleh, Max sudah berdiri di sampingnya dengan ekspresi datar, tidak mengatakan apa pun.

Dari seberang telepon, suara Nicholas kembali terdengar.

"Laura, jawab aku."

Suara itu semakin menekan, semakin mengunci Laura dalam jerat yang selalu membuatnya sulit bernapas.

Laura menggigit bibirnya, jari-jarinya mencengkeram ponsel lebih erat. Jantungnya berdebar keras. Beginikah rasanya bermain api?

"Aku sendirian, Nick," katanya akhirnya, suaranya lebih tenang dari yang ia rasakan.

Hening.

Nicholas tidak langsung menjawab, tapi suara napasnya terdengar di seberang telepon. Lalu, sebuah decakan kecil keluar dari bibirnya—bukan kemarahan, bukan kekecewaan, lebih kepada ketidakpedulian.

"Terserah," katanya dingin.

Laura seharusnya lega mendengarnya, tapi entah kenapa kata-kata itu justru membuat dadanya terasa kosong.

"Lalu kenapa kamu menelepon?" tanyanya, berusaha menjaga suaranya tetap stabil.

Nicholas menghela napas pendek. "Ada beberapa dokumen yang harus kamu tanda tangani. Aku meletakkannya di kamar. Pastikan kamu menandatanganinya hari ini."

Dokumen? Itu saja?

Laura menutup matanya sesaat, mencoba menekan perasaan aneh yang mulai merayap di dadanya. Ia seharusnya sudah terbiasa dengan sikap Nicholas yang seperti ini. Dingin, profesional, hanya peduli pada hal-hal yang bersifat praktis.

"Baik," jawabnya pelan.

Tanpa basa-basi, Nicholas langsung mengakhiri panggilan. Tidak ada ucapan selamat tinggal, sampai jumpa, tidak ada pertanyaan lain.

Laura menatap layar ponselnya yang sudah kembali gelap. Jarinya masih gemetar sedikit saat ia menurunkannya.

"Kamu berbohong," suara Max terdengar di belakangnya.

Laura menoleh, menemukan tatapan pria itu yang masih tajam mengamatinya. Ia tidak bisa membaca ekspresi Max sepenuhnya, tapi ada sesuatu di sana—campuran antara pengertian dan sesuatu yang lebih dalam.

"Aku belum pernah menemukan seorang istri yang terang-terangan mengatakan dia sedang bermain api. Apa kamu berharap aku orang pertama yang melakukannya, Max?" ucap Laura, lalu berbalik menuju kamar.

Max tidak mengejarnya, tidak memaksanya bicara lebih jauh. Tapi Laura bisa merasakan tatapan pria itu tetap mengikuti setiap langkahnya.

1
lyani
bang iky...vote nya k lau aja y ....elara ngga usah?
lyani
semoga max tak jauh beda dengan Nic.
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
lyani
korban lagi... kalian mgkn senasib
lyani
nahhhh betul
lyani
paman Robert bukan si yg nyuruh
lyani
pasti
lyani
nahhhh
lyani
sdh menduga ada org dibalik max....nah siapakah?
lyani
ahhhh akhirnya setelah sekian lama terlihat
lyani
nahhhh betul
lyani
kesalahan Laura saat memegang perusahaan sepertinya Krn jebakan
lyani
hati2 dengan dokumen lau
lyani
max ini teman kecil Laura mgkn?
lyani
betul
lyani
ooooooooooo
lyani
max....mata2 ayah Laura kali.....maximal bener penasarannya dahhhhhhh
lyani
seila dan ibunya?
lyani
msh seribu tanya....
lyani
hidup si pilihan lau...
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
lyani
meninggalnya ortu Nic ada hubungannya dengan ortu Laura atau mungkin dengan Laura sendiri ngga si?
malangnya Laura
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!