Impian setiap wanita adalah menikah dengan pria yang mencintai dan dicintainya. Namun takdir berkata lain untuk Azura, gadis cantik yang terpaksa menikah dengan pria pengidap gangguan jiwa demi kepentingan keluarga tirinya.
Meski sang ayah masih hidup, hidup Azura sepenuhnya digenggam oleh ibu tiri yang licik dan kejam. Akankah Azura mampu bertahan dalam pernikahan yang tak diinginkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora.playgame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ep. 22 - Gugup
Malam semakin larut, kamar utama nampak senyap, jam digital di atas meja pun sudah menunjukkan pukul 22:47.
Azura masih duduk di pinggir tempat tidur yang telah rapi. Pijaran lampu temaram membuat bayangan tubuhnya jatuh samar ke lantai.
Ia menggoyang-goyangkan kakinya pelan, seolah untuk menyalurkan kegelisahannya yang sejak tadi tak kunjung reda.
“Apa Rangga tidak akan tidur di sini…?” gumam Azura.
Pandangan matanya terus tertuju pada pintu kamar. Ia berharap mendengar suara langkah kaki Rangga, atau setidaknya bunyi gagang pintu diputar.
Namun yang terdengar hanya suara detak jarum jam dan desir angin dari celah jendela.
Tek Tek tek!
Bushhh...!
Azura menarik napas dan membuangnya pelan, lalu bangkit berdiri. Ia berjalan mondar-mandir pelan di dalam kamar sambil sesekali melihat ke arah jendela yang tirainya sedikit tersibak.
“Apa aku harus pergi mencarinya? Tapi bajuku? Apa aku akan seperti ini di luar? Ini terlalu tipis…”
Ia meremas bagian bawah piyama nya karena gugup. Bahkan rasa dingin AC pun tak terasa karena pikirannya terus berlarian.
“Bagaimana jika dia kembali tiba-tiba?”
“Apa yang akan kulakukan? Apa aku siap?”
Azura menghentikan langkahnya. Ia berdiri membelakangi tempat tidur seraya memandangi jendela. Tangannya kini bersedekap di dada sambil menggenggam lengannya sendiri yang terasa dingin.
Seiring waktu berjalan, jam pin sudah menunjukkan pukul 23:08.
Azura mendudukkan dirinya kembali, tapi kini sambil memeluk bantal kecil di pangkuannya.
“Kenapa aku malah menunggu… padahal aku sendiri belum tahu apa yang benar-benar aku harapkan darinya…”
Sementara pikirannya melayang-layang, bayangan malam itu, percakapan dengan Pak Adrian, luka-luka yang ia alami, dan mimpi tentang seorang anak kecil yang disebut sebagai anaknya, semua datang bergantian seperti layar film.
“Apa aku mulai merasa kehilangan saat dia tidak ada…?,” gumam Azura dengan kepala yang menunduk.
Perlahan mata Azura memanas, namun ia menahan tangis yang entah datang dari mana. Ia tidak mengerti perasaannya. Apakah ini takut? Simpati? Atau justru harapan yang tak masuk akal?
Jam pun berdetak lagi.
23:31.
Tapi masih belum ada tanda-tanda Rangga akan kembali. Angin dari luar pun kini bertiup lebih dingin hingga membuat tirai sedikit bergetar.
Azura menghela napas lagi dengan lebih panjang dan akhirnya merebahkan tubuhnya di sisi kanan ranjang. Ia menatap langit-langit sambil menggenggam ujung selimut dan berkata dalam hati, “Kalau kamu kembali malam ini…”
Lalu Azura menutup matanya meski jantungnya masih berdebar dan pikirannya belum benar-benar tenang.
Keesokan harinya...
Saat matahari mulai terbit, Azura mengerjapkan matanya dan berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya pagi yang menyentuh wajahnya.
Ia masih dalam posisi menyamping, menghadap sisi ranjang lainnya.
Namun…
Seketika mata Azura membulat dan jantungnya pun berdegup dengan cepat.
Tepat di depannya, dalam jarak yang hanya beberapa jari, Rangga sedang tidur dengan posisi yang menghadap ke arahnya.
Wajahnya begitu dekat, nafasnya teratur dan matanya terpejam tenang seakan tertidur lelap.
"YA AMPUN!"
Azura langsung terlonjak karena panik, lalu ia duduk tegak dengan gerakan cepat sehingga membuat selimut terhempas sebagian, tapi untungnya tidak sampai membangunkan Rangga.
"Dia... kenapa dia tidur di sini??," bisik Azura panik sambil menoleh ke kanan dan kiri seolah mencari jawaban dan melihat keadaan.
Wajahnya memerah, napasnya terengah. Lalu dengan cepat ia menarik selimut dan menutupi tubuhnya hingga ke dagu.
"Azura... sadarlah! Bukankah kamu sendiri yang memutuskan pindah ke kamar ini?! Apa yang kamu harapkan?!," desisnya kepada dirinya sendiri yang penuh pergolakan.
Azura menunduk lagi dan menatap dirinya yang hanya mengenakan piyama tipis dari satin sehingga wajahnya makin memerah.
"Oh tidak... apa dia sempat melihatku begini? Tapi... dia masih tidur, kan? Ya Tuhan..."
Ia menatap Rangga lagi namun pria itu masih dalam posisi yang sama. Wajahnya tampak damai, tapi tetap saja sosoknya menebarkan aura misterius yang membuat Azura semakin salah tingkah.
Kemudian, dengan gerakan pelan, ia menyibak selimut dari kakinya. Ia lalu turun dari ranjang dengan hati-hati, bahkan hampir tidak berani menginjakkan kakinya ke lantai agar tidak menimbulkan suara.
Tap… tap…
Ia melangkah pelan pelan menuju kamar mandi. Begitu pintu tertutup rapat, barulah Azura menarik napas panjang sambil bersandar di balik pintu.
"Ya Tuhan, kenapa jantungku rasanya mau meledak..."
Azura menatap wajahnya di cermin dan melihat wajahnya yang begitu pucat. Matanya besar karena terkejut, dan wajahnya nampak benar-benar bingung.
"Kau mulai gila, Azura... ini baru pagi pertama. Dan kau sudah merasa seperti ini?," gumamnya. "Tapi... apa artinya dia pulang diam-diam dan tidur di sini... tanpa membuat suara sedikit pun?," lanjutnya.
Ia memandangi dirinya sendiri dengan tatapan penuh tanya. Ada rasa lega karena Rangga tidak melakukan apapun, tapi juga ada rasa penasaran dan entah kenapa, segurat kehangatan sempat ia rasakan meski sulit ia jelaskan.
"Sadarlah Azura, kamu sudah memutuskan ini."
Azura pun mengguyur wajahnya dengan air dingin dan berharap bisa menetralisir semua perasaan kacau yang berkecamuk di hatinya.
BERSAMBUNG...
tambah lagi doooooooong