Kala gemerlut hati semakin menumpuk dan melarikan diri bukan pilihan yang tepat.
Itulah yang tengah Gia Answara hadapi. Berpikir melarikan diri adalah solusi, namun nyatanya tak akan pernah menjadi solusi terbaik untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _NM_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
XXII
Gia menatap keseliling.
Kosong. Tak ada siapa-siapa. Tak ada yang menyambutnya pulang, setelah lelah seharian bekerja, dimarahi oleh sana sini meski bukan dia yang salah. Dan kini setelah pulang, tidak ada siapa siapa yang menyambut.
Seperti ini kan yang Gia inginkan?
Pulang tanpa melihat beban lain didalam rumahnya, entah beban mental atau beban tanggung jawab.
Tenang.
Sendiri.
Hanya tentangnya.
Tanpa memikirkan apapun.
Tapi mengapa terasa menyakitkan?
Gia terduduk di sofa. Matanya menggulir ke arah sekeliling. Berharap dia benar-benar tidak sendiri.
Inilah yang akan dia dapati, jika belasan tahun yang lalu keberadaan anak-anaknya tak pernah ada. Kosong, sendiri.
Memang tanpa masalah.
Bebannya diambil.
Tapi bukankah sama saja seperti dirinya tak pernah benar-benar berarti di kehidupan orang lain?
Lucu.
Sangat lucu, ketika rasa syukur selalu saja sirna digantikan dengan kekecewaan.
Gia ingin marah. Gia ingin kecewa. Tapi dia tak berhak.
Perjuangannya selama ini benar-benar sia-sia. Air matanya, peluhnya, lukanya, diganti dengan ini. Kesepian, kehilangan, rasa tak dihargai.
Apa memang dia tak pernah berarti dalam hidup siapapun?
Gia mengacak-acak jilbabnya. Menarik-nariknya sekuat tenaga, hingga jarum pentul terpental sedikit melukai kulitnya. Gia menjambak rambutnya kuat-kuat.
Dia luka.
Dia ingin dihargai.
Mengapa sulit sekali untuk marah? Bukankah itu sudah hal setiap individu atas segala perasaannya.
Lihat.
Bahkan anak-anaknya pergi. Tak mau mengunjunginya hingga kini. Padahal sudah banyak luka yang ditahan, agar tampak baik-baik Saja.
Arghhhh.
Gia berteriak.
Benar-benar kesakitan.
Kala emosi yang seharusnya menjadi hal lumrah malah menjadi hal haram.
Pantaskah Gia marah pada anak-anaknya? Pada kehidupannya? Pada orang tuanya? Dan tentu saja pada masa lalunya yang terenggut paksa.
Tak ada yang peduli.
Tak ada yang paham.
Gia tak ingin menjadi orang tua jahat. Benar-benar tak ingin. Bukankah sudah banyak trauma yang ia telan demi anak-anaknya? Tapi sekarang untuk bertemu saja tampak terasa sangat mahal.
Gia bukan orang kaya. Gia bukan pemenang. Gia selalu kalah, dalam segala hal.
~|~
Pintu dibuka dengan cepat, kala suara salam terdengar familiar. Anak-anaknya pulang. Gia tak sendiri lagi kini.
Kala wajah putra putrinya tampak, Gia meraih tubuh Bara dan Shila merengkuh mereka dalam. Seolah dunianya benar-benar hancur kala kedua buah hatinya juga meninggalkannya
" Shila sama Bara pulang bun.. Shila rindu bunda. " Lirih Shila dalam peluk ibunya, nyaris menangis di ceruk leher bundanya.
Gia diam, tak mampu lagi membendung rasa rindu didalam hatinya.
Matanya melirik ke sekeliling, mencari sosok yang telah ditunggu-tunggu sedemikian lamanya.
Tak ada.
Hanya Jordan, sosok dari masa lalunya yang berdiri tak jauh di belakang anak-anaknya.
Sebulir air mata luruh.
Gia tak kuat.
Apa anak-anaknya jijik padanya? Bahkan untuk bertemu pun tak sudi.
Gia memang bukan orang berpunya seperti mantan suaminya. Rumahnya tak senyaman istana megah yang tengah ditinggali anak-anaknya itu. Tubuhnya tak seindah itu untuk menjadi tempat bersandar dalam pelukan. Gia tampak Kumal disana sini, pantas jika rasanya jijik untuk memeluk, bahkan untuk menjumpai.
Tapi Gia jamin 100% bahwa ketulusannya tak akan pernah dijumpai di orang lain. Gia bunda mereka, rindu karena telah dipisahkan secara paksa tentu menyeruak.
Tentu lara tak kuasa untuk dibendung. Gia bukan orang sempurna, Gia bisa marah. Sangat marah. Kala dirinya tampak tak dihormati.
Harus mengemis-ngemis seperti apalagi Gia?
" Mereka tidak datang lagi? " Lirih Gia menatap mantan suaminya itu, membuat anak-anak Gia menjauh dari rengkuhan sang bunda dan menatap manik mata bundanya itu.
Bingung akan yang terjadi, Jordan melangkah maju mengusap kepala anak-anaknya. " Kalian masuk dulu. Ada yang Yanda sama bunda mau omongin berdua. "
Tanpa bertanya lebih lanjut, Bara dan Shila menuruti perintah Yandanya, seolah memahami ketegangan apa yang telah tercipta.
Kini tinggal Gia dan Jordan didepan pintu rumah Gia.
Gia menatap Jordan dengan mata berkaca-kaca. Menangkupkan tangannya memohon ke arah Jordan.
" Saya mohon pertolongan anda. Jika mereka tak ingin berjumpa, izinkan saya yang menemui. Izinkan saya menemui anak kandung saya sendiri. Tolong jangan pisahkan saya lagi dengan anak-anak saya. " Gia luruh, berlutut dihadapan pria yang telah menorehkan luka sedemikan rupa itu.
Dunia Gia luruh.
Memang, Gia yang salah. Gia bukan orang berpunya. Tapi Gia ibu dari anak-anaknya. Gia tak akan marah pada anak-anaknya. Gia hanya marah pada keadaan dan orang-orang yang telah dengan paksa memisahkannya dengan anak-anaknya.
Jordan yang melihat itu tentu saja panik, ingin meraih tubuh Gia tapi Jordan tak mampu untuk menyentuh.
" Tolong jangan seperti ini, tolong berdirilah. " Pinta Jordan memelas, menatap mantan istrinya itu.
" Tolong pertemukan saya dengan anak-anak saya. Saya mohon. Saya janji, saya tak akan memaksa mereka, tapi tolong biarkan rasa rindu dari seorang ibu tercurahkan ke anak-anaknya. Saya hanya ingin membuat mereka tahu, disini ibu mereka tetap ada dengan seribu harapan anak-anaknya tumbuh dengan baik. Meski ibu tersebut harus hidup sebatang kara, tapi harapan baik akan anak-anaknya tetap ada. "
Jordan menggeleng lemah, tak kuat menatap sosok yang sempat mengisi hidupnya itu tampak lusuh dengan ketidakberdayaan.
" Jangan seperti ini. Anda pasti bertemu dengan anak-anak. Tapi tolong beri mereka waktu. Berikan mereka waktu untuk menerima ini sedikit demi sedikit. Ketika keadaan lebih baik, saya pasti membawa anda menemui anak-anak. "
Hidup memang selalu tak adil pada Gia. Gia diminta untuk memahami orang lain. Tanpa ada satu pun orang yang menghargai keberadaannya.
Gia tahu anak-anaknya membutuhkan waktu. Tapi apakah salah seorang ibu ingin berjumpa dengan anak-anaknya?
~|~
Disinilah Gia. Setelah beberapa hari menunggu dipertemukan dengan sang buah hati, Gia akhirnya berjumpa dengan mereka.
Manik matanya mendapati kedua buah hatinya. Hatinya penuh akan rasa sesak yang tak tertahan. Sosok yang amat ia rindukan tengah berada dihadapannya, juga menatapnya.
Gia berada di taman dekat dari tempat les anak-anaknya.
Sudah Jordan persiapkan memang. Jika menunggu lebih lama lagi, anak-anaknya itu tak pernah mau diajak menemui sang ibunda. Jadi secara paksa Jordan ajak anak-anaknya bertemu dengan ibunda. Mengambil waktu lebih awal sebelum anak-anaknya memiliki jadwal les. Mengatakan untuk lebih awal mengantarkan anak-anaknya, seolah tak akan sempat jika mengantarkan anak-anaknya nanti. Padahal biasanya Ara dan Kara diantar oleh supir, tapi entah mengapa yandanya sekarang kekeh mengantarnya. Ternyata ini yang telah direncanakan.
Ara dan Kara menatap sosok wanita yang tampak agak sedikit 'berbeda' dengan mereka. Tampak sekali perbedaan penampilan dengan mereka. Ara dan Kara tampak rapih dengan pakaian merk terkenal, dan wangi dengan parfum-parfum mahalnya. Ditambah dengan aksesoris yang sengaja ditambahkan. Sedangkan wanita itu tampak Kumal dan kusam.
Padahal tanpa anak-anak itu tahu, sosok yang berada di hadapannya itu tengah mengenakan baju yang sengaja wanita itu beli untuk menjumpai anak-anaknya. Padahal selama ini harus 1000 kali wanita itu pikirkan sebelum membeli pakaian untuknya. Wanita itu lebih memilih membeli keinginan anak-anaknya daripada kebutuhannya.
Tapi kali ini berbeda, Gia telah menyiapkan pakaian sedemikian rupa. Memang masih tampak kumal, karena perbandingannya dengan mereka yang berbeda. Tapi percayalah, ini pakaian terbaik yang telah ia beli.
Tentang wajahnya yang kusam. Bukan karena Gia tak ingin tampak lebih baik. Tapi karena harus bekerja, tentu kekusaman masih tampak diwajahnya. Jika Gia ditakdirkan didalam ruangan dengan AC sebagai pelengkap, tentu Gia tak akan sekusam ini.
Gia menatap sosok yang dirindukan dengan mata berkaca-kaca. Senyum kecil terbit indah diwajahnya yang kusam.
Luapan rindu, semoga dirasa