Dalam dunia yang koyak oleh perang berkepanjangan, dua jiwa bertolak belakang dipertemukan oleh nasib.
Yoha adalah bayangan yang berjalan di antara api dan peluru-seorang prajurit yang kehilangan banyak hal, namun tetap berdiri karena dunia belum memberi ruang untuk jatuh. Ia membunuh bukan karena ia ingin, melainkan karena tidak ada jalan lain untuk melindungi apa yang tersisa.
Lena adalah tangan yang menolak membiarkan kematian menang. Sebagai dokter, ia merajut harapan dari serpihan luka dan darah, meyakini bahwa setiap nyawa pantas untuk diselamatkan-bahkan mereka yang sudah dianggap hilang.
Ketika takdir mempertemukan mereka, bukan cinta yang pertama kali lahir, melainkan konflik. Sebab bagaimana mungkin seorang penyembuh dan seorang pembunuh bisa memahami arti yang sama dari "perdamaian"?
Namun dunia ini tidak hitam putih. Dan kadang, luka terdalam hanya bisa dimengerti oleh mereka yang juga terluka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr_Dream111, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kota dagang Burga
Rasanya lega setelah 12 jam perjalanan yang panjang, akhirnya sampai di kota Burga. Kami turun dari kereta di stasiun Burga yang berada di tepi bukit di mana saat kupandang keluar stasiun, seketika matamu dibuat takjub akan kemegahan Burga.
Kota ini dua kali lebih besar dari ibukota Ventbert dan terbagi menjadi 9 distrik. Berada di ujung selatan kerajaan Magolia, Burga menjadi pusat perdagangan utama karena memiliki pelabuhan terbesar di dunia dan menghadap langsung ke samudera selatan. Selain itu, di sisi barat terdapat pebukitan hijau yang menambah keindahan kota ini.
Dengan jelas kulihat pelabuhan Burga dari kejauhan. Terlihat sangat ramai sekali dan banyak kapal-kapal pedagang dan kapal perang memenuhi pelabuhan. Kami berdua mulai berjalan menuruni bukit sambil terus kuceritakan kemegahan kota ini pada Lena agar dia bisa membayangkan.
Setelah menuruni bukit, kami menaiki transportasi yang belum pernah ada di kota manapun di Magolia. Itu adalah trem. Kereta listrik yang melaju di tengah jalan dengan jalur khusus. Adanya trem membuat para pengunjung bisa cepat berpindah tempat dari distrik ke distrik. Meski begitu, tak sedikit juga yang masih menyewa kereta kuda.
Sebelum menuju rumah Gideon, aku mengajak Lena ke toko baju untuk membelikanya beberapa pakaian karena kami akan singgah di Burga selama seminggu. Setelah membayar aku sedikit kaget karena baju-baju di sini sangat murah pantas saja banyak orang rela jauh-jauh datang ke sini untuk berbelanja.
Merasa sudah cukup berbelanja, aku menggandeng tangan Lena dan melanjutkan perjalanan menuju distrik militer Burga tempat Gideon dan Daylen tinggal. Sejak pembebasan kota Vyord, mereka memberitahuku alamat rumah tempat mereka tinggal di Burga dan aku masih ingat sampai sekarang.
***
Ketika sampai di distrik militer, suasana kota mulai berubah. Jalanan menjadi lebih sepi dan tenang, dengan sedikit orang yang berlalu lalang. Aku merasa sedikit tegang, karena rumah Gideon dan Daylen berada di tengah-tengah distrik militer yang terkenal ketat pengawasannya. Tapi untung saja beberapa penjaga pos militer dikepalai mantan pasukan Faks. Aku bisa masuk dengan mudah hanya dengan berkontak mata dengan mereka.
Hatiku berdebar saat kami tiba didepan sebuah bangunan berlantai 2. Ya tidak salah lagi ini adalah rumah mereka berdua karena aku melihat senapan angin rusak milik Gideon yang terpajang di atas pintu rumahnya. Hanya Gideon saja sepertinya yang memasang benda seperti itu di depan rumah.
...Tok... Tok......
Aku mengetuk pintu lalu beberapa detik kemudian Gideon membukakan pintunya. Di belakangnya kulihat Daylen tersenyum ramah dan pria besar itu menepuk pundakku.
" Akhirnya kau ke sini juga Kapten... " Pungkas Gideon dengan senyum.
" Aku sudah bukan atasanmu jadi berhentilah memanggil begitu. " Balasku dengan melepaskan pelukan mereka. " Padahal aku bisa membeli tiket sendiri tapi kenapa kalian repot-repot membelikannya? "
" Ahahaha..., " Gideon ikut menepuk pundakku sambil tertawa kencang, " kudengar kereta ke Burga sering habis jadi aku takut kau tidak sempat membeli tiket. "
" Karena itu kau rela jauh-jauh ke ibukota? "
" Begitulah haha..., aku ingin ke rumahmu tapi tidak tau alamatnya jadi langsung pulang, "
" Oh ya Yoha siapa gadis cantik di belakangmu? " Sela Daylen yang akhirnya kudengar suara besarnya lagi setelah sekian lama.
Aku menengok ke belakang dan memperkenalkan Lena kepada mereka.
" Apa dia calon istri—"
" Bukan! Dia anak orang tua angkatku di Ventbert bisa dibilang dia adikku, " aku langsung memotong perkataan Gideon.
Lena membungkuk sambil memejamkan mata, " Perkenalkan nama saya Lena Cooper adik dari Yoha. Saya berterimakasih karena diperkenankan ikut hadir di acara pernikahan tuan sekalian. "
" Salam kenal Lena aku Gideon dan orang besar pendiam ini adalah kakakku Daylen. " Sahut Gideon diiringi lambaian ringan tangan Daylen.
" Dimana calon istri kalian? " Tanyaku seraya menengok ke dalam rumah.
" Mereka sedang berbelanja. Maaf Yoha kami tidak memiliki kamar kosong di rumah jadi kupesankan kamar di penginapan dekat pos militer distrik ini. "
" Tidak apa lagipula aku juga tidak ingin mengganggu calon pengantin baru. "
" Baiklah mari kuantar. Aku sudah menyewa kamar di penginapan selama seminggu jadi kalian tidak perlu khawatir. " Gideon memegang tanganku dan Lena. " Kakak tolong bawakan barang bawaan mereka berdua. "
Kami berempat kemudian berjalan menuju penginapan yang di maksud Gideon sambil mengobrol ringan. Sesekali Daylen juga ikut berbicara walau hanya beberapa kata saja untuk menunjukkan beberapa kedai dan toko yang cocok untuk dikunjungi.
Aku dibuat heran ketika kami berhenti di penginapan mewah tepat di pusat perbelanjaan Burga yang kebetulan juga berada di pintu masuk distrik militer. Kupikir kami salah tempat tapi ternyata tidak karena Gideon langsung masuk dan menunjukkan kamar kami di lantai 2.
Mataku tak berkedip saat Gideon membukakan pintu kamar penginapan. Aku terpana melihat kamar semewah ini dimana ada ranjang besar, lemari dan meja pakaian, kursi yang empuk, berbagai macam makanan, dan yang pasti kamar mandi yang jarang ada penginapan menyediakan kamar mandi dalam kamar.
Tapi aku merasa aneh karena di tengah ranjang berhamburan bunga-bunga mawar ditambah Gideon sejak tadi hanya memperkenalkan satu kamar saja. Meski begitu, aku masih berfikir positif mungkin sebentar lagi dia menunjukkan kamar satunya.
Namun setelah beberapa menit Gideon tak kunjung membuka kamar satu lagi dan justru memberiku kunci kamar yang ia perlihatkan tadi. Pada akhirnya dugaanku benar jika dia sengaja menyewa satu kamar dan mungkin dia tidak mengira yang ikut bersamaku adalah adikku sendiri. Aku tidak bisa protes dan menerima begitu saja mengingat harga sewa kamar semewah ini sangat mahal walau Lena berulang kali mencubitku dengan maksud agar aku protes.
Setelah mereka berdua pergi, aku dan Lena segera masuk ke kamar bersama barang bawaan kami. Lena terus menggerutu karena dia kira akan ada 2 kamar. Kekesalan gadis itu tak bertahan lama ketika seorang pelayan membawakan puding dan kue yang enak. Dia langsung memakannya bahkan sampai bagianku dimakan juga. Segitu sukanya dia dengan makanan manis.
***
Ditengah malam gelap gulita, bulan mengambang di atas langit yang biru tua, dan bintang-bintang bersinar terang seperti permata. Setidaknya itulah yang kulihat malam ini dari balik kaca besar kamar penginapan.
Hiruk pikuk kota tak pernah padam meski malam hari. Masih banyak para pedagang yang berjualan atau bahkan baru tiba di kota ini. Jalanan utama juga selalu padat oleh pejalan kaki mapun kereta kuda dan trem yang berlalu lalang.
" Padahal sudah malam tapi kudengar masih sangat ramai di luar, " ujar Lena. Dia keluar dari kamar mandi dengan gaun piyama putih polos sambil mengurai rambut lavendernya dengan handuk.
" Sudah selesai mandi? "
" Emm, " Lena mengangguk, " bak mandinya luas dan nyaman. "
" Kalau begitu mari kita tidur. " Ujarku. " Kita tidak boleh telat besok pagi, "
Wajah Lena memerah dia juga menutup mulutnya dengan handuk. " A-apa kita akan tidur seranjang lagi? "
" Tentu tidak. Aku tidur di kursi, " jawabku. Lalu aku kursi panjang di samping ranjang.
" Tapi apa kakak tidak sakit tidur disitu? "
" Kursi ini sama empuknya dengan ranjang hanya beda ukuranya saja. "
" Baiklah. " Lena berjalan ke atas ranjang lalu berbaring sambil membalut tubuh dengan selimut. " Selamat malam kakak. "
" Selamat malam Lena. "
^^^To be continue^^^