Bismarck telah tenggelam. Pertempuran di Laut Atlantik berakhir dengan kehancuran. Kapal perang kebanggaan Kriegsmarine itu karam, membawa seluruh kru dan sang laksamana ke dasar lautan. Di tengah kegelapan, suara misterius menggema. "Bangunlah… Tebuslah dosamu yang telah merenggut ribuan nyawa. Ini adalah hukumanmu." Ketika kesadarannya kembali, sang laksamana terbangun di tempat asing. Pintu kamar terbuka, dan seorang gadis kecil berdiri terpaku. Barang yang dibawanya terjatuh, lalu ia berlari dan memeluknya erat. "Ana! Ibu kira kau tidak akan bangun lagi!" Saat melihat bayangan di cermin, napasnya tertahan. Yang ia lihat bukan lagi seorang pria gagah yang pernah memimpin armada, melainkan seorang gadis kecil. Saat itulah ia menyadari bahwa dirinya telah bereinkarnasi. Namun kali ini, bukan sebagai seorang laksamana, melainkan sebagai seorang anak kecil di dunia yang sepenuhnya asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Akihisa Arishima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perjalanan Menuju Desa Fischerdorf (bag.1)
Musim panen telah tiba di desa Fischerdorf, menandai dimulainya festival tahunan yang paling dinanti oleh para penduduk. Seluruh desa sibuk dengan persiapan, menghiasi jalanan dengan pita warna-warni dan menata meja panjang di alun-alun untuk pesta rakyat. Festival ini bukan hanya perayaan hasil kerja keras mereka, tetapi juga kesempatan bagi keluarga bangsawan Heinrich untuk menunjukkan dukungan mereka.
Di kediaman keluarga Heinrich, kesibukan tak kalah ramai. Para pelayan mondar-mandir menyiapkan barang-barang untuk perjalanan, memastikan segala kebutuhan telah dipersiapkan dengan baik.
Di gazebo taman, Anastasia dan adiknya, August, tengah menikmati teh pagi yang disajikan oleh pelayan mereka.
"Kak Ana, aku sudah tidak sabar ingin melihat festival panen! Kudengar mereka mengadakan banyak pertunjukan dan mungkin ada permainan seru!" seru August dengan mata berbinar.
Anastasia tersenyum, mengaduk tehnya dengan tenang. "Kau pasti akan menyukainya. Penduduk desa bekerja keras setiap tahun untuk membuat festival ini meriah."
August mengangguk penuh semangat, lalu bersandar di kursinya.
Yah... itulah ingatan yang aku ketahui saat aku bereinkarnasi, pikir Anastasia dalam hati.
Dia masih berusaha membiasakan diri dengan kehidupannya sebagai seorang putri bangsawan di dunia ini.
Tak lama kemudian, Clausewitz, kepala pelayan keluarga Heinrich, datang menghampiri mereka dengan ekspresi tenang namun berwibawa.
"Nona Anastasia, barang-barang Anda dan Tuan Muda August telah disiapkan di kereta. Tuan Heinrich, Nyonya Seraphina, serta Nona Liliana juga sudah menunggu di depan."
August menatap Anastasia dengan penuh semangat. "Ayo, Kak! Kalau begitu, ayo kita segera berangkat."
"Iya, iya... kita pergi sekarang," jawab Anastasia sambil beranjak dari kursinya.
Mereka berjalan menuju halaman depan, di mana dua kereta kuda telah dipersiapkan. Kereta pertama, yang lebih mewah, diperuntukkan bagi keluarga bangsawan, sementara kereta kedua digunakan untuk membawa barang-barang serta para pelayan yang akan menemani perjalanan.
Heinrich, sang kepala keluarga, sudah duduk tegak di dalam kereta utama, ditemani Seraphina dan Liliana. Dia menoleh ke arah anak-anaknya yang baru tiba. "Sudah siap?"
"Tentu, Ayah," jawab Anastasia dengan sopan.
August mengangguk cepat. "Ayo berangkat!"
Hanz memberi hormat. "Yang Mulia, kita bisa berangkat kapan saja."
Heinrich mengangguk. "Baiklah, mari kita berangkat."
Dengan aba-aba dari kusir, kedua kereta pun mulai bergerak. Hanz mengendalikan kereta utama, sementara Cruz mengemudikan kereta barang yang ditumpangi oleh dua pelayan, Hana dan Maine. Sementara itu, empat prajurit berkuda—Edward, Mathilda, Rosewitha, dan Ludwig—mengawal perjalanan mereka.
dalam perjalanan, mereka melewati hutan, padang rumput, pegunungan. sesekali bertemu dengan kereta pedagang atau para petualang.
Dengan aba-aba dari kusir, kedua kereta pun mulai bergerak. Hanz menggenggam tali kendali dengan mantap, mengarahkan kereta utama yang membawa para bangsawan, sementara Cruz memimpin kereta barang di belakangnya. Di atas kereta barang, dua pelayan, Hana dan Maine, duduk dengan tenang, sesekali bertukar pandang saat angin pagi menerpa wajah mereka.
Empat prajurit berkuda mengawal perjalanan itu dengan kewaspadaan tinggi. Edward, sang pemimpin kelompok, menatap sekeliling dengan tajam. Di sisinya, Mathilda dan Rosewitha, dua pendekar perempuan yang tangguh, menjaga posisi mereka dengan sigap. Ludwig, yang paling muda di antara mereka, terlihat lebih santai, meskipun tangannya tak pernah jauh dari gagang pedangnya.
Saat perjalanan membawa mereka melewati hutan, suara gemerisik dedaunan dan nyanyian burung menjadi latar belakang yang menenangkan. Cahaya matahari yang menembus celah-celah pepohonan menciptakan bayangan yang bergerak di tanah, seperti tarian makhluk-makhluk tak kasatmata. Di kejauhan, lompatan seekor rusa menarik perhatian August, yang segera menunjuk dengan antusias.
"Kak Anastasia, lihat! Rusa itu besar sekali!" serunya.
Anastasia tersenyum, mengangguk tanpa berkata-kata, menikmati suasana perjalanan yang begitu nyaman.
Begitu mereka keluar dari hutan, padang rumput luas terbentang di depan. Angin membelai ilalang yang bergoyang lembut, menciptakan gelombang hijau keemasan. Di kejauhan, terlihat beberapa gerobak pedagang yang berhenti di tepi jalan, mungkin sedang beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya.
Beberapa pedagang melambaikan tangan ramah saat kereta mereka melintas. Salah seorang di antaranya, seorang pria tua dengan janggut panjang, bahkan berseru, "Semoga perjalanan kalian aman! Hati-hati, ada laporan tentang bandit di daerah pegunungan!"
Mendengar itu, Edward dan para prajurit segera saling berpandangan, kewaspadaan mereka meningkat.
Edward mempersempit matanya, tangannya perlahan meraba gagang pedangnya. Mathilda, Rosewitha, dan Ludwig sudah bersiap, insting mereka memberitahu bahwa bahaya mengintai.
Saat kereta semakin mendekat, salah satu sosok berjubah melangkah maju. Dari balik tudung gelapnya, terdengar suara kasar, "Hentikan kereta kalian. Serahkan barang-barang berharga, dan kalian bisa pergi tanpa luka."
Edward mendengus, suaranya penuh ejekan. "Kami tak punya waktu untuk bermain dengan bandit murahan."
Seakan itu adalah aba-aba yang mereka tunggu, para bandit langsung menyerang. Beberapa menarik pedang, sementara yang lain sudah bersiap dengan busur dan anak panah mereka.
"Serang!"
Dari sisi tebing, beberapa bandit lain melompat turun, mengepung rombongan. Panah pertama melesat ke arah Edward, tapi dengan cekatan ia menangkisnya menggunakan pedang. Mathilda langsung menerjang ke depan, pedangnya berkilat saat ia menebas salah satu bandit yang terlalu lambat menghindar.
Ludwig melompat turun dari kudanya, menyapu kaki seorang lawan dengan ujung pedangnya, membuat pria itu terjatuh. Namun, dua bandit lain langsung menyerangnya dari belakang.
Sebelum mereka bisa mengayunkan senjata, suara tembakan menggema di udara.
DOR!!!
Salah satu bandit terhuyung ke belakang, darah mengalir dari pundaknya. Semua mata segera mencari sumber suara tembakan itu—dan di sanalah Anastasia, berdiri di dekat pintu kereta kuda, memegang Mauser C96 dengan kedua tangan, mata tajamnya menatap lurus ke arah para bandit.
"Jangan lengah Tuan Ludwig," katanya dingin, ujung pistolnya masih berasap.
"Ah... terima kasih, Anda telah menyelamatkan saya, Nona," ucap Ludwig.
August, yang duduk di sampingnya, menatap kakaknya dengan kagum. Ia tak pernah melihat Anastasia menggunakan senjata itu sebelumnya.
Sementara para bandit masih terkejut, DOR!!! tembakan kedua dilepaskan. Seorang pemanah yang hampir melepaskan anak panah ke arah Rosewitha langsung tumbang, senjatanya terjatuh ke tanah.
"Perempuan jalang!" pemimpin bandit menggeram. "Bunuh dia dulu!"
Tiga bandit berlari menuju kereta, mencoba menyerang Anastasia. Namun, sebelum mereka bisa mendekat—
DOR!!! DOR!!!
Salah satu tertembak di kaki dan jatuh menjerit kesakitan. Dua lainnya mencoba menaiki kereta, tapi Cruz menendang satu ke belakang, sementara Hana dan Maine menusukkan belati ke lengan bandit yang tersisa, membuatnya jatuh dari kereta.
Di luar, pertempuran semakin sengit. Edward dan Mathilda bertarung berdampingan, menghalau bandit yang tersisa. Ludwig menangkis serangan dengan gesit, sementara Rosewitha, dengan kecepatan luar biasa, menyerang dari titik-titik buta musuh.
Anastasia melihat pemimpin bandit mencoba kabur, berlari ke arah kudanya untuk melarikan diri.
"Oh tidak, kau tidak akan pergi begitu saja."
Anastasia mengangkat Mausernya, membidik dengan tenang meskipun kereta masih sedikit berguncang. Ia menarik napas, lalu—
DOR!!!
Peluru melesat, tetapi meleset dari target karena jaraknya sudah terlalu jauh untuk jangkauan pistol itu.
Sial... Kalau tahu begini, aku seharusnya membawa Kar98k, batin Anastasia dengan sedikit kesal, kecewa karena performa pistolnya tidak mampu menjangkau target di kejauhan.
"Lari! Mereka terlalu kuat!" teriak pemimpin bandit.
Edward menghela napas, membersihkan darah yang menetes dari pipinya. "Pastikan mereka tak kembali lagi," katanya dingin.
Ketika situasi kembali aman, Anastasia memasukkan Mauser C96 ke dalam sarungnya, lalu kembali masuk ke dalam kereta kuda.
August menatapnya dengan kagum, sementara Heinrich tersenyum lebar. "Aku tidak tahu kalau benda itu bisa menembak secepat itu," ucap Heinrich.
August masih menatap kakaknya dengan penuh kekaguman. "Kak Anastasia, itu keren sekali!"
Heinrich mengusap kepala August sambil tersenyum. "Jangan terlalu terkesan, kita masih harus tetap waspada."
Edward mengangguk setuju. "Ya, mereka mungkin akan kembali dengan bala bantuan. Kita harus segera pergi."
Dengan cepat, rombongan kembali ke posisi mereka. Para prajurit tetap berjaga di sekeliling, sementara kereta mulai bergerak kembali.