El Gracia Jovanka memang terkenal gila. Di usianya yang masih terbilang muda, ia sudah melanglang buana di dunia malam. Banyak kelab telah dia datangi, untuk sekadar unjuk gigi—meliukkan badan di dance floor demi mendapat applause dari para pengunjung lain.
Moto hidupnya adalah 'I want it, I get it' yang mana hal tersebut membuatnya kerap kali nekat melakukan banyak hal demi mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan sejauh ini, dia belum pernah gagal.
Lalu, apa jadinya jika dia tiba-tiba menginginkan Azerya Karelino Gautama, yang hatinya masih tertinggal di masa lalu untuk menjadi pacarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Not as Bad as It Seems
...Bagian 2:...
...Not as Bad as It Seems...
...💫💫💫💫💫...
Jovanka turun dari taksi dengan langkah sempoyongan. Penampilannya kacau, rambutnya tergerai berantakan, maskaranya luntur dan membekas hitam di bawah mata, serta lipstik merah terang yang kini sudah tidak ada bekasnya. Stiletto kesayangannya ditenteng dengan satu tangan, satu tangan lagi menggenggam ponsel kuat-kuat seakan itu adalah sosok Karel yang sedang ingin dia remas sekuat tenaga.
Menarik napas begitu berat, Jovanka menyusuri lorong menuju lift dengan langkah gontai. Beruntung malam sudah cukup larut sehingga ia tidak perlu bertemu dengan terlalu banyak manusia. Karena kalau harus membiarkan mereka melihat penampilannya yang menyedihkan, Jovanka akan lebih memilih untuk mati saja.
Sepatu hak tinggi yang masih ditentengnya terasa lebih berat di tangan, mengingatkannya pada betapa keras ia berusaha menarik perhatian semua orang—terutama Karel—di atas lantai dansa. Yang lagi-lagi berakhir sia-sia. Semua usahanya untuk tampil sempurna malam ini, dipatahkan begitu saja oleh penilaian Karel yang semena-mena.
Di dalam lift, sambil menunggu benda besi itu membawanya sampai ke lantai tiga belas, Jovanka menatap pantulan dirinya di cermin lift. Tampak menyedihkan, lebih buruk daripada waktu-waktu sulit sebelum dia memutuskan minggat dan hidup sendiri di perantauan. Matanya yang sembab, memancarkan sorot rapuh yang rasanya siapa pun bisa dengan mudah melihatnya. Menguak sisi lain dirinya yang tidak sekokoh persona yang ditunjukkannya ke publik setiap saat.
"Lo pikir lo seganteng apa, sampai bisa bersikap semena-mena?" tanyanya pada sosok khayalan yang tampak berdiri di samping bayangannya.
Sialnya, habis bertanya begitu, Jovanka malah berdecak sebal. Karena pantulan diri Karel di sana justru tampak begitu menawan. Hair up, menyuguhkan smirk, dan menampilkan sorot mata memabukkan. Tulang rahangnya terlihat lebih tegas, ujung lengan kemeja yang digulung sampai sebatas siku, menampilkan otot-otot kekar yang aw! membuat Jovanka ingin menyentuhnya setiap saat.
Bahkan dalam keadaan marah seperti ini pun, otaknya yang menyebalkan masih sempat memutar kembali memori tentang bagaimana lengan kekar itu pernah melingkar di pinggangnya, menariknya mendekat dengan gerakan yang begitu natural, seakan memang di sanalah tempatnya seharusnya berada.
"Emang ganteng banget, sialan!" rutuknya. Dia mengusap wajahnya kasar, membuat lelehan maskara di ujung-ujung matanya melebar hampir mengotori seluruh pelipisnya.
Tak lama kemudian, denting lift terdengar dan pintu di hadapannya terbuka lebar, membuyarkan bayangan sosok Karel yang tetap memesona meski sikapnya benar-benar menyebalkan. Jovanka bergegas keluar, menyeret langkahnya menyusuri lorong menuju unitnya yang terletak hampir di ujung. Kakinya terasa pegal, telapaknya perih karena terlalu lama berjalan dengan stiletto yang tinggi.
Lorong yang biasanya bisa dia lewati dengan mudah, bahkan nyaris tidak dia hiraukan bagaimana kondisinya, kini terasa lebih panjang dan menyesakkan. Dinding-dinding di sisi kanan dan kiri terasa memiliki jarak yang lebih rapat, mengimpit tubuh rampingnya, memperburuk keadaan hatinya yang sudah babak belur tidak keruan. Lampu-lampu koridor yang menyala redup membuat suasana semakin suram, seolah ikut merayakan kegagalannya malam ini.
Setibanya di depan pintu unit—dengan perjuangan yang tidak main-main—Jovanka tidak lantas menempelkan access card, tetapi menyempatkan diri melirik pada unit di sebelahnya, unit paling ujung, milik Karel. Benaknya masih sempat bertanya, kira-kira sedang apa lelaki itu di dalam sana. Sudah tidur kah? Nyenyak kah tidurnya setelah mengatai dirinya murahan dan membuat air matanya tumpah secara cuma-cuma? Apa... Karel memang semenyebalkan itu sejak awal, atau sikapnya hanya seperti itu kepada dirinya seorang?
Jovanka menatap pintu unit Karel lebih lama daripada biasanya, tetiba bodoh berharap ada keajaiban yang membuat pintu itu terbuka dan Karel keluar dengan tampang menyesal, meminta maaf atas semua sikap dan perkataannya yang kasar. Tapi, tentu saja itu hanya berakhir menjadi angan-angan di puncak otaknya. Pintu itu tetap tertutup, rapat, sama seperti hati Karel yang sulit sekali didobrak.
Setelah tidak mendapatkan apa pun, Jovanka menghela napas panjang, lalu menempelkan access card miliknya. Bunyi klik pelan terdengar, diikuti dengan lampu indikator yang berubah hijau. Gelapnya unit di dalam sana menyambut kedatangannya, seakan merentangkan tangan lebar-lebar, memintanya masuk ke dalam gulita dan menikmati kesepiannya lagi, seperti malam-malam sebelumnya. Udara di dalam unit terasa pengap meskipun AC sudah menyala otomatis. Atau mungkin… yang pengap itu adalah dadanya, yang masih saja terasa sesak setiap kali mendapatkan perlakuan buruk dari Karel, meski itu bukan kali pertama.
Jovanka memasuki unitnya dengan langkah yang lebih berat, sambil bergumam pelan, "Iya, gue suka perhatian. Gue mau diperhatiin, Azerya. Gue mau diperhatiin sama lo."
Suaranya terdengar serak dan parau karena terlalu banyak berteriak di tengah musik yang menggelegar selama di kelab. Barangkali juga karena tangisan yang sudah dia tahan sejak naik taksi, menggumpal di tenggorokan, menolak keluar tapi juga tidak mau pergi. Jovanka menjatuhkan dirinya ke sofa, stiletto masih tergenggam di tangannya, ponsel menyala menampilkan homescreen dengan wallpaper bawaan tanpa satu pun pop up notifikasi menghias.
“Perhatiin gue please…” rengeknya terakhir kali, sebelum melempar stiletto-nya asal dan mereog di atas sofa.
...💞💞💞💞💞...
Setelah mendengar suara pintu ditutup dari unit sebelah, Karel meraih remote TV dan memencet tombol merah. Layar di hadapannya seketika berubah redup, menampakkan siluet dirinya di tengah suasana remang yang hanya diterangi lampu kemuning di samping kasur. Dia sudah menghabiskan hampir dua jam menatap layar televisi tanpa benar-benar menonton apa pun yang ditayangkan di sana. Pikirannya melayang ke mana-mana, terutama ke unit sebelah, bertanya-tanya apakah Jovanka sudah sampai dengan selamat atau belum.
Karel menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Di atas meja kaca di depannya, layar ponselnya masih menyala, menampilkan room chat dengan Marlo, salah satu kenalannya di Six Club. Pesan terakhir yang dikirim Marlo berisi foto Jovanka masuk ke dalam taksi, lengkap dengan nomor polisi si taksi biru terpampang nyata tanpa sensor. Dia hanya membalas oke, dan membiarkan ponselnya tetap menyala kalau-kalau Marlo memberikan informasi tambahan.
Foto itu kini masih terpampang di layar, memperlihatkan sosok Jovanka dengan postur tubuh yang tampak begitu rapuh, sangat berbeda dari Jovanka yang biasa dia lihat setiap hari—yang selalu tampil percaya diri dengan kepala tegak dan senyum yang tidak pernah pudar.
Setelah beberapa detik terdiam memaku tatap pada layar ponselnya, Karel meraih benda pipih itu, mematikan layarnya, lalu membawanya bangkit menuju kasur. Kelegaan di hatinya usai memastikan Jovanka pulang dengan selamat tidak serta-merta mengenyahkan sakit di kepalanya. Terasa berat, terlebih di bagian belakang. Mungkin karena usianya yang sudah tidak lagi muda, jadi tubuhnya tidak bisa dibawa bergadang sesering dulu.
"Pijit plus-plus kali ya," celetuknya, hanya untuk dibiarkan menjadi angin lalu karena dia tidak benar-benar akan melakukannya.
Bersambung....