Raka Pradipta 22th, seorang mahasiswa yang baru bekerja sebagai resepsionis malam di Sky Haven Residence, tak pernah menyangka pekerjaannya akan membawanya ke dalam teror yang tak bisa dijelaskan.
Semuanya dimulai ketika ia melihat seorang gadis kecil hanya melalui CCTV, padahal lorong lantai tersebut kosong. Gadis itu, Alya, adalah korban perundungan yang meninggal tragis, dan kini ia kembali untuk menuntut keadilan.
Belum selesai dengan misteri itu, Raka bertemu dengan Andika, penghuni lantai empat yang bisa melihat cara seseorang akan mati.
Ketika penglihatannya mulai menjadi kenyataan, Raka sadar… apartemen ini bukan sekadar tempat tinggal biasa.
Setiap lantai menyimpan horornya sendiri.
Bisakah Raka bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran yang Tersembunyi
Kegelapan menelan kamar 609 sepenuhnya.
Suara napas mereka terdengar jelas, terputus-putus oleh rasa takut yang menguasai tubuh. Setiap hembusan terasa seperti beban berat yang menghimpit dada.
Anton meraba-raba di dalam saku celananya, mencari ponselnya. Jemarinya gemetar, berkeringat, hampir tak bisa menggenggam benda itu dengan benar. Ia tahu mereka harus mendapatkan cahaya—secepatnya.
Namun, sebelum ia bisa menyalakan lampu senter…
Tap. Tap. Tap.
Langkah kaki menggema di dalam kamar.
Raka menahan napas. Jantungnya berpacu liar di dalam dada. Suara itu terlalu dekat. Terlalu nyata.
Sesaat, mereka hanya berdiri diam dalam kegelapan, menunggu… mendengarkan…
Lalu, di tengah kesunyian yang mencekam, Raka bisa merasakan sesuatu. Sebuah desiran halus, udara yang bergerak… seakan ada sesuatu yang melayang di dekatnya.
Kemudian…
Desiran napas panas terasa di tengkuknya.
Mata Raka melebar. Ia tersentak, tubuhnya berbalik dengan cepat—tapi tidak melihat apa pun.
“Siapa di sana?” suaranya bergetar, nyaris hanya berupa bisikan.
Tidak ada jawaban.
Lalu tiba-tiba…
"AAAAAAAHH!!"
Jeritan Aurel memecah keheningan.
Mereka semua menoleh ke arahnya. Cahaya dari layar ponselnya yang berkedip-kedip menyorotkan siluet seseorang di dalam lemari.
Tidak bergerak. Tidak bernapas. Hanya menatap mereka.
Anton mundur dengan napas memburu. “Apa-apaan itu…”
Maya menggigit bibirnya, berusaha menahan kepanikannya. “Tolong, bilang kalau itu cuma boneka atau sesuatu…”
Tidak ada yang menjawab.
Anton akhirnya bergerak lebih dulu. Ia meraih lengan Maya dan Aurel, mendorong mereka menuju pintu. “Keluar sekarang!”
Mereka berlari, tapi sebelum bisa mencapai pintu—
BRAAAK!
Pintu lemari terayun terbuka lebar, menghantam dinding dengan suara menggelegar. Debu beterbangan di udara.
Sesuatu terjatuh ke lantai dengan suara berat.
Cahaya dari senter Raka akhirnya menyala, menerangi pemandangan di hadapan mereka.
Mereka semua membeku.
Sebuah jasad.
Tubuh manusia yang telah mengering, dengan wajah kosong yang menatap ke langit-langit.
Wajahnya mengerikan—mata cekung dan mulut yang terbuka lebar, seakan meninggalkan teriakan tanpa suara. Tubuhnya terlalu kurus, seperti seseorang yang telah dibiarkan kelaparan hingga mati.
Maya langsung berbalik, menutup mulutnya agar tidak muntah. Tubuhnya bergetar hebat.
Anton mundur beberapa langkah, wajahnya pucat seperti mayat. “Oh sial… sial… SIAPAAA INI!?”
Aurel, meski tangannya gemetar, menunduk mendekati jasad itu.
Raka menelan ludah. Dengan hati-hati, ia meraih sesuatu dari saku kemeja mayat itu. Tangannya terasa dingin ketika menyentuh kain yang lusuh dan kaku karena darah kering.
Sebuah kartu identitas.
Huruf-huruf Di atasnya terlihat usang, tapi masih cukup jelas untuk dibaca.
Nama: Reno Darmawan.
Hening.
Maya berbisik dengan suara hampir tak terdengar. “Berarti selama ini… dia…”
Anton menggeleng keras. “Nggak mungkin. Polisi udah ngecek kamar ini, mereka nggak nemuin apa-apa!”
Raka menatap lemari yang kini terbuka sepenuhnya. Di dalamnya, terlihat bagian belakang kayunya telah dibongkar, menyisakan celah sempit menuju ruang tersembunyi di baliknya.
“Ada ruang lain di belakang lemari ini,” gumamnya.
Aurel menggigit bibirnya. “Kalau Reno Darmawan hilang tiga bulan lalu… bisa jadi dia disembunyikan di sini sejak saat itu.”
Anton menatap jasad yang terbaring kaku di lantai. Tubuh itu begitu kurus, seolah telah kelaparan selama berhari-hari sebelum akhirnya…
Maya menutup matanya. “Berarti… dia masih hidup waktu dikurung di sini.”
Anton mundur selangkah. “Kita harus lapor polisi.”
Tapi sebelum ada yang bisa bergerak…
Tok. Tok. Tok.
Mereka semua membeku.
Suara ketukan.
Tapi bukan dari pintu kamar 609.
Dari dalam dinding.
Anton merasakan darahnya membeku. Napasnya tercekat.
Aurel menatap Raka dengan ketakutan yang jelas di matanya. “Itu… tadi dari dalam dinding, kan?”
Raka tak menjawab. Ia hanya mengarahkan senter ke arah suara itu.
Di sana.
Bekas tangan samar yang mereka lihat sebelumnya masih ada di atas bata tua. Hanya saja… kini lebih jelas.
Jari-jari itu seperti lebih dalam menekan dinding.
Seakan seseorang dari dalam mencoba keluar.
Lalu…
“Tolong…”
Sebuah bisikan terdengar. Lirih, penuh penderitaan.
Maya terisak pelan. “Tidak… tidak… ini nggak mungkin…”
Anton mundur, tapi tubuhnya terasa lemas. Ia ingin lari, tapi kakinya tak bisa bergerak.
Aurel menggigit bibirnya, menguatkan diri, lalu mendekat ke dinding.
Ia mengulurkan tangannya, menyentuh permukaan bata itu.
Anton buru-buru menariknya. “Aurel, jangan!”
Tapi terlambat.
Begitu Aurel menyentuh dinding itu…
BRAAAK!
Retakan besar muncul, menjalar ke seluruh permukaan bata.
Seperti kaca yang pecah, tetapi terdengar seperti tulang yang remuk.
Suara rintihan terdengar semakin jElas. “Jangan tinggalkan aku…”
Maya menjerit, menarik Anton menjauh.
Aurel gemetar. Ia berusaha menarik tangannya, tapi seakan sesuatu mencengkeramnya, menahannya di tempat.
“Lepaskan aku!!”
Raka, yang masih terpaku, hanya bisa menatap dengan mata lebar ketika celah di dinding semakin membesar.
Lalu… dari dalamnya…
Sesuatu merangkak keluar.
Sebuah tangan kurus. Tulang-belulang yang hampir tidak tertutup daging. Jemarinya panjang, mencengkeram tepi retakan dengan gerakan kaku.
Lalu… wajah seseorang muncul dari dalam celah itu.
Mata kosong. Senyum lebar.
“Kalian…”
“… datang untuk menjemputku?”
Sebelum mereka bisa bereaksi…
Dinding itu runtuh.
Debu mengepul, menelan ruangan dalam kabut pekat.
Sebuah bayangan besar bergerak di dalamnya.
Dan kali ini, suara napas mereka bukan satu-satunya yang terdengar.
ke unit lantai 7