(INI KISAH ZAMAN DULU DIPADUKAN DENGAN ZAMAN SEKARANG YA)
"Emak sama Bapak sudah memutuskan jika kamu akan menikah satu bulan lagi dengan laki-laki pilihan Bapak kamu, Niah," Aku lantas kaget mendengar ucapan Emak yang tidak biasa ini.
"Menikah Mak?" Emak lantas menganggukkan kepalanya.
"Tapi umurku masih kecil Mak, mana mungkin aku menikah di umur segini. Dimana teman-temanku masih bermain dengan yang lainnya sedangkan aku harus menikah?" Ku tatap mata Emak dengan sendu. Jujur saja belum ada di dalam pikiranku untuk menikah apalagi d umur yang masih dikatakan baru remaja ini.
"Kamu itu sudah besar Niah, bahkan kamu saja sudah datang bulan. Makanya Bapak dan Emak memutuskan agar kamu menikah saja. Lagian kamu juga tidak sekolah, jadi tidak ada masalahnya jika kamu menikah sekarang. Menikah nanti pun tidak akan ada bedanya dengan sekarang karena, sama-sama menikah saja akhirnya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indah Yuliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
ISTRI 13 TAHUN
18
"Nanti kalau kamu sudah menikah dengan Suniah jangan sampai menunda istri kamu itu untuk hamil ya Jaja. Ibu ingin segera menggendong cucu dari kamu dan juga Suniah." ungkap Rosiati dengan senyum mengambang.
Pajajar memijit pelipisnya karena pusing mendengar ucapan keluarganya yang sudah membahas anak. Padahal menikah saja belum bagaimana bisa memiliki anak.
"Kenapa Ibu malah ngomong begitu? sedangkan sekarang saja aku belum menikah dengan Suniah dan lagian apa Ibu lupa apa kataku kemaren?"
"Alahhh!! kalau masalah dada Suniah yang kamu khawatirkan nanti juga bisa normal seperti kebanyakan wanita. Saat ini Suniah masih dalam masa pertumbuhan jadi wajar saja masih seperti itu, nanti juga seiring waktu bakalan kelihatan. Di tambah lagi kalau nanti kalian punya anak pasti lebih dari yang kamu harapkan karena berisi makanan untuk anak kalian. Toh, nanti yang hamil itu rahim Suniah bukan dadanya." jawab enteng Rosiati membuat Pajajar melongo begitu pun ke-dua saudaranya.
"Ayah sependapat dengan Ibumu, Jaja. Ayah juga ingin segera menggendong cucu dari kamu dan Suniah. Sudah lama sekali rasanya rumah ini sunyi karena tangisan bayi. Terakhir 15 tahun yang lalu itupun waktu Mulyo bayi." Rosiati yang menyimak lantas mengangguk karena dirinya juga sudah merindukan tangisan bayi merah di rumahnya.
Pajajar semakin memijit kepalanya karena pusing dengan kedua orang tuanya itu. Lagian apa tidak ada hal lain yang bisa di bahas selain anak untuk saat ini.
"Sudahlah Bu, Yah tidak usah membahas anak lagi. Lagian aku juga belum punya istrinya dan baru saja akan menikah. Kalau masalah itu bisa di bicarakan lain kali saja."
"Ahhh iya baiklah Jaja," Hendro tertawa mendengar ucapan putranya.
"Jaja, nanti kamu mau punya anak berapa bersama Suniah?" Pajajar menatap Jaka dengan sengit. Baru saja dirinya meminta tidak membahas soal anak, kini Mas-nya itu malah kembali mengungkit.
"Ibu juga ingin tahu Jaja,"
"Aku kan sudah ngomong tadi tidak usah membahas soal anak lagi Bu," Pajajar meraup wajahnya kesal.
Disisi lain Jaka menyembunyikan tawanya yang hendak keluar. Sekuat tenaga dirinya tahan agar adiknya itu tidak tersinggung terlalu dalam.
"Ya ya ya, maaf ibu hanya terbawa suasana saja."
*****
Pajajar membawa undangan pernikahannya bersama Sumpah ke sekolah untuk diberikan kepada guru-guru di sekolah.
"Nanti jangan lupa datang ke acara ku ya, Diah," Diah mengambil undangan dari tangan Pajajar dengan bingung.
"Undangan apa ini Jaja?" Bukannya melihat pada undangan itu Diah malah balik bertanya kepada Pajajar membuat laki-laki itu malas.
"Kamu bisa membacanya Diah tanpa harus aku jelaskan. Bukankah kamu bisa membaca sendiri karena undangannya sudah berada di tangan kamu?" Diah merasa malu karena salahnya sendiri memilih bertanya balik kepada Pajajar.
"Heheh maaf Jaja," ungkapnya tak enak.
"Hmm," Pajajar pergi meninggalkan Diah karena masih ada beberapa undangan lagi di tangannya yang belum dia berikan kepada guru lainnya.
"Jaja, jadi kamu mau menikah minggu depan? Sama siapa? Dan kenapa begitu cepat?" Diah mengejar langkah Pajajar dengan nafas ngos-ngossan. Bayangkan saja betapa besarnya langkah laki-laki di bandingkan dengan langkah Diah yang kecil.
"Iya Diah, sesuai dengan undangan hancur kamu baca aku memang akan menikah minggu depan." balas Pajajar yang terus melangkah.
"Siapa wanita itu Jaja? bukankah selama ini kamu tidak pernah dekat dengan wanita mana pun?"
"Ada apa ini pagi-pagi sudah berdebat saja?" Eko yang baru saja tiba langsung menatap Pajajar dan juga Diah bergantian.
"Mumpung kamu disini, ini undangan buat kamu Eko dan jangan lupa datang minggu depan." Pajajar memberikan undangan selanjutnya kepada Eko yang di sambut laki-laki itu dengan bingung persis seperti Diah tadi.
"Wahhhh, jadi kamu mau menikah Jaja? kenapa begitu cepat kamu move-onnya?" Diah yang mendengar itu menatap bingung kekasihnya. Apa dirinya saja yang tidak tahu jika Pajajar memiliki kekasih.
"Emangnya Jaja suka sama siapa, Sayang?" Pajajar muak mendengar kata sayang dari mulut Diah. Panas rasanya hati Pajajar karena alunan sayang dari wanita yang di sukainya itu untuk laki-laki lain.
"Sudah dulu ya, ini masih banyak yang belum aku berikan undangannya. Kalau begitu permisi!"
TBC