Shinkai. Sosok lelaki berusia 25 tahun. Ia tinggal di sebuah rumah sewa yang terletak tepat di sebelah toko bunga tempat ia berada saat ini. Toko bunga itu sendiri merupakan milik dari seorang wanita single parent yang biasa dipanggil bu Dyn dan memiliki seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Adapun keponakannya, tinggal bersamanya yang seringkali diganggu oleh Shinkai itu bernama Aimee. Ia setahun lebih tua dibanding Shinkai. Karena bertetangga dan sering membantu bu Dyn. Shinkai sangat dekat dengan keluarga itu. Bahkan sudah seperti keluarga sendiri.
Novel ini memiliki genre action komedi yang memadukan adegan lucu yang bikin tertawa lepas, serta adegan seru yang menegangkan dari aksi para tokoh. Adapun part tertentu yang membuat air mata mengalir deras. Novel ini akan mengaduk perasaan pembaca karena ceritanya yang menarik.
Yuk, baca kisah lengkap Shinkai dengan aksi kerennya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
DHUAKKK!
Tendangan keras tepat mendarat di wajah Jim. Pria itu langsung memegang wajahnya.
“Hale?”
Hoshi muncul dan membawa Shinkai yang sudah pasrah dengan kondisinya.
“Kau tak boleh mati di tangan orang lain, sialan!” tegas Hoshi.
Mata Shinkai mengerjap, “Iya,” jawabnya sebelum kehilangan kesadaran.
May menyambut Shinkai dan langsung melakukan teknik pengobatan.
Egan pergi sejenak untuk mencarikan alat-alat pengobatan.
Sayangnya, keberadaan mereka malah diketahui dengan kemunculan pasukan Gloine.
“Cih, sialan!” umpat Hoshi.
May menyemprotkan parfum tidur dosis kuat. Dalam hitungan detik, pasukan Gloine buyar dan berjalan tak tentu arah. Namun, mereka masih bisa menahan untuk tidak tidur.
“Sudah kuduga, pasukan resmi memang tidak bisa diremehkan,” ucap May.
Mereka semua lari melewati jalur pelarian yang sudah dipersiapkan oleh Egan.
Ratusan pasukan Gloine muncul dalam sekejap. Saatnya May beraksi dengan ramuan-ramuan beracun. Setengah dari pasukan pemerintah itu berhasil dibuat buyar, namun sisanya masih sangat banyak sementara persediaan racun May sangat menipis.
Celah yang sangat sedikit dapat dijadikan tempat pelarian. Sambil melancarkan sekaligus menghindari serangan pasukan Gloine.
Hoshi melompat terlebih dahulu karena sambil menggendong Shinkai yang sudah tak sadarkan diri. Sementara Taza dan Egan berusaha keras untuk menahan penghalang. Luisa tidak dapat berbuat banyak karena keahliannya adalah serangan jarak jauh.
Beberapa jarak lagi sampai pasukan Gloine mampu menangkap mereka.
Tiba-tiba semburan bom asap muncul. Itu adalah bom asap yang sama digunakan di tambang oleh pasukan teror bunga soka ketika hendak kabur.
“TUTUP MATA DAN TETAP BERLARI KE DEPAN!” seru Hoshi agar teman-temannya tidak buyar karena bom asap menghalangi pandangan.
SRETTT.
Hoshi terkena sebetan pedang. Sedangkan ia tidak melihat apapun. Sesaat, instingnya merasakan bahwa ada serangan yang hendak mengarah ke Shinkai. Dengan tanpa ragu, seketika ia berbalik badan untuk menjadikan dirinya perisai.
SRETTT.
Sebetan kedua mengenai punggung Hoshi, namun ia mampu menghindari luka fatal. Punggungnya terasa basah oleh darah.
Kaki Luisa terkena senjata kecil yang tajam hingga membuatnya tak mampu melangkah lagi. Taza yang berada di belakangnya tak sengaja menabraknya. Secepat kilat, Taza meraih tubuh Luisan untuk digendong. Mereka semua sama-sama bertarung di tengah-tengah kegelapan. Hanya mengandalkan insting untuk menyerang dan menghindar.
“Fokus ke suara langkah Egan!” tegas Hoshi.
May berada di paling belakang, sebagai penebar ramuan beracunnya. Sekalipun sudah berkali-kali menebarkan aroma itu, namun ia tidak merasa bahwa pasukan Gloine itu berkurang. Sebaliknya, sepertinya pasukan itu justru bertambah dan bantuan silih berganti berdatangan.
“Sebelah kiriku, May!” seru Hoshi.
May bergerak cepat dan menyemprotkannya. Sekalipun hanya memberikan efek kecil dan sesaat. Itu lebih dari cukup untuk bertahan di tengah-tengah serangan.
Tendangan memutar ke belakang dikerahkan oleh Taza saat merasakan ada gerakan berbahaya. Ia masih sangat lincah sekalipun sambil menggedong seorang gadis, yakni Luisa. Gadis itu masih bisa bertarung di atas gendongan Taza dengan menembakkan sisa-sisa anak panah yang dimiliki.
“Belasan meter lagi!” seru Egan.
“Kanan!” tegas Hoshi.
Semua menurut dan berbelok ke kanan. Lantas mereka terjatuh ke dalam lubang yang tertutup rumput. di dalamnya, ada cukup ruang dan asap pekat itu tidak dapat masuk. Hoshi segera mengambil batu sedang yang gepeng untuk menutup lubang setelah menurunkan tubuh Shinkai. Itu adalah jalan rahasia.
Semakin dalam, semakin terlihat bahwa itu adalah ruangan rahasia yang luas di bawah tanah. Tanpa melihat jalan dan pemandangan sekitar, mereka bisa sampai ke tempat tujuan, yakni ruang bawah tanah.
“Bagaimana jika mereka mengetahui jalan rahasia ini?” tanya Taza.
“Sekutu kita sedang mengurusnya. Lagipula, sepertinya mereka tidak mengetahui jika kita jatuh. Pasukan resmi itu tidak sehebat yang kalian pikir.” Hoshi menjawab.
“Tapi jumlah sekutu kita jelas jauh lebih sedikit dibanding mereka yang merangkap dengan pasukan Gloine dan para peneror berpakaian hitam itu.” May berkata, sembari meraih tubuh Shinkai untuk diberikan pertolongan.
Luisa dan Hoshi juga mengalami luka-luka parah.
“Hanya sekadar pengalih perhatian. Kau tidak harus meremehkan sekutu kita,” jelas Hoshi.
“Lalu, dia. apakah dia masih ada harapan hidup?” tanya Luisa ke arah Shinkai.
“Hidup yang damai? Orang yang memberikannya kedamaian itu justru hendak membunuhnya. Dasar, dia pikir kehidupan seperti apa yang selama ini ditakdirkan untuknya,” ucap Hoshi.
“Lukanya sangat parah. Hoshi dan Luisa juga terluka. Kita tidak bisa bertarung dalam waktu dekat. Ditambah Hale malah bertarung dengan si monster licik seperti Jim. Sial, semuanya kacau,” keluh Taza, sembari menatap lemas pada mata Shinkai yang terpejam.
“Kacau? Justru ini adalah awal dari jawaban banyak hal,” ujar Hoshi, ia tidak peduli dengan luka parahnya. Sebab ambisinya jauh lebih kuat dibandingkan luka-luka itu.
“Setidaknya, kau harus bisa berdiri tegak dulu.” May berkata sambil mengelap darah pada punggung Hoshi.
Hoshi menjerit.
“Sai,” lirih Taza.
“Hale mengalahkannya,” jawab Luisa yang menemani Hale bertarung dengan Sai.
Hoshi tersenyum miring, “Artinya, dua monster sedang bertarung, ya.”
“Tebakanku mengatakan bahwa Hale dan Jim memiliki kekuatan setara dengan Tevy.” Taza berkata.
Lengang. Obrolan habis. Semua beralih menatap kondisi Shinkai yang belum menunjukkan tanda-tanda untuk bangun. Seketika itu pula teman-temannya lemas. Padahal, mereka baru saja bersemangat dengan membandingkan kekuatan Jim, Hale dan Tevy.
“May,” Panggil Hoshi.
“Iya?”
“Sembuhkan Shinkai untukku,” pinta Hoshi.
“Aku tidak bisa berjanji.”
“Lakukan untukku!” pinta Hoshi, mengulangi.
“Dia masih bernafas. Semua tergantung dirinya.”
“AKU BERGANTUNG PADAMU!” seru Hoshi, kehilangan control kesabaran.
Taza menepuk pundak Hoshi untuk menenangkan.
“Sembuhkan dia atau kau tidak akan pernah melihat matahari terbit lagi,” ancam Hoshi.
Semua terdiam. Mereka tahu bahwa sebenarnya Hoshi sangat terpukul dengan keadaan Shinkai. Sekalipun biasanya ia hanya menunjukkan rasa benci kepada Shinkai. Namun, siapapun bisa merasakan bahwa sebenarnya Hoshi adalah orang yang peduli dengan Shinkai.
“Apa pentingnya matahari terbit. Hanya bola besar kemerahan. Lalu membangunkanku dari mimpi yang jauh lebih indah dari realitas kehidupan.” May berkata, lirih.
Ucapan tenang May membuat Hoshi berpaling dan berpindah ke sudut ruangan untuk menyendiri.
Berbeda dengan Taza yang sejak awal tak pernah berpindah dari dekat Shinkai. Ia berkali-kali menatap mata Shinkai dengan harapan agar teman dekatnya itu bisa membuka mata.
“Entah aku akan peduli dengan matahari terbit atau tidak. awalnya aku ingin menolak saat kau memintaku untuk tinggal di toko bunga itu dan mengawasi tuan Shinkai. Tapi, saat sampai di tempat itu. Aku sadar mengapa kau begitu peduli dengannya. Aku juga sadar mengapa orang-orang menganggapnya sangat berharga. Dia membuatku merasa menjadi adik kecil yang disayangi ketika ia memberikanku sebuah es potong,” tutur May, air matanya mengalir. “Aku juga ingin memberikan apapun untuk bisa segera menyembuhkannya. Aku mau tuan Shinkai sembuh. Jadi tenanglah dan tunggu keajaiban yang bisa jadi sedang mengapung di udara.”
Embusan napas berat dari Hoshi. Ia jelas tersentuh dengan ungkapan May, namun gengsi untuk menunjukkannya.
Taza masih bergeming, menatap wajah pucat Shinkai.
“Kupikir itu juga sudah menjawab, mengapa Taza tinggal di desa yang sama dengan Shinkai.
Padahal ia memiliki jiwa petualang paling liar dan tidak suka berdiam diri di satu tempat. Tapi ia memilih rumah untuk pulang. Sekalipun itu adalah rumah yang penuh sarang laba-laba karena jarang ditempati. Setidaknya ia tahu, rumah untuk ia pulang letaknya tidak jauh dari tempat tinggal Shinkai,” tambah May.
“Semua menunggumu, Shinkai,” bisik Luisa pada telinga Shinkai.