Karena kejadian di malam itu, Malika Zahra terpaksa harus menikah dengan pria yang tidak dicintainya.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan bocah bau kencur!" gerutu seorang pria.
"Argh! kenapa aku harus menikah dengan pak tua!" Lika membalas gerutuan pria itu. "Sudah tua, duda, bau tanah, hidup lagi!"
"Malik! mulutmu itu!"
"Namaku Lika, bukan Malik!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aylop, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendadak Ciut
Sore menjelang, Lika sudah pulang bekerja dan kini berada di dalam bus yang akan membawanya pulang.
Sepanjang perjalanan, Lika terus menggerutu. Si Ratna, teman laknatnya itu tiada informasi sama sekali di mana keberadaannya. Bahkan teman yang lain juga tidak ada yang tahu. Ratna kini hilang bagai ditelan bumi.
Harapan Lika sih, hilang selamanya saja dan jangan muncul lagi ke peredaran.
Lika turun dari bus dan menekan ponselnya. Dari halte menuju rumah, ia akan naik ojek. Untuk jalan kaki lumayan jauh.
'Mahal juga naik ojek!' batin Lika. Pengeluarannya hari ini lumayan juga. Tadi pagi naik ojek sampai halte, pulang pun juga begitu.
Lika memanyunkan bibirnya, jika tiap hari seperti ini sama saja berat di ongkos.
Tapi wanita itu ingat kartu atm yang diberikan Evan.
'Berapa sih isinya?' pikirnya mendadak penasaran. Mungkin ia akan memakai itu untuk ongkos pergi dan pulang kerja.
Ini kan salah pak tua itu yang pindah rumah jauh dari halte bus. Jadi ia akan pakai uangnya saja.
Ojek kini berhenti di depan rumah dan Lika membayar ongkosnya.
Wanita itu melihat tidak ada mobil di teras rumah.
Tok,
Tok,
Tok,
"Om, buka!" Lika mengetuk-ketuk pintu rumah.
Tapi percuma, pintu tidak terbuka. Di rumah sepertinya tidak ada orang. Pak tua itu pergi.
Lika ingin menelepon Evan, tapi ia tidak punya nomor ponselnya. Mereka tidak ada bertukar nomor.
Sambil menunggu Lika sebentar duduk, lalu berdiri, berjongkok, berolah raga sejenak, duduk lagi, tapi tidak ada kepulangan Evan sama sekali.
Hari sudah gelap dan pria itu belum muncul juga. Apa Evan pulang ke apartemen?
Lika jadi menebak begitu, pak tua itu pasti pulang ke sana. Mau menyusul ke sana, takut bertemu David.
Mau pulang ke rumah orang tuanya, ia juga tidak berani datang sendiri.
Kini ia sudah menikah, jika pulang dan mereka bertanya di mana pak tua itu, apa yang akan dijawabnya?
Lika juga takut pada ayahnya, walaupun sebenarnya rindu ingin bertemu keluarganya.
"Tunggu sebentar lagi lah." gumam Lika. Ia akan menunggu pak tua menyebalkan itu sampai pukul 9.
Jika selama itu pak tua menyebalkan itu tidak muncul juga, maka ia dengan terpaksa akan pulang ke rumah orang tuanya.
Lika menyandar di tembok. Perlahan ia mulai mengantuk dan lama kelamaan berbaring di teras.
"Pak tua itu ke mana sih?" mata Lika mulai sayup dan tidak lama tertutup.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Tepat hampir pukul 12 malam, Evan baru sampai rumah. Ia tadi cari angin sebentar, sejenak menenangkan diri.
"Malik belum pulang?" ucapnya pelan. Rumahnya gelap sekali.
Mungkin saja Lika pulang ke rumah orang tuanya. Menurut Evan begitu.
Evan akan berjalan membuka pintu dan tiba-tiba,
"Aduh!" teriak seseorang di kakinya. Evan memijak sesuatu.
Evan menyalakan senter dari ponselnya dan melihat ternyata itu Malik.
"Astaga, kamu ngapain tidur di luar?" tanya Evan bingung. Apa bocil itu takut di rumah sendirian? Jadi menunggunya di teras.
"Aku nunggui om tahu!" jawab Lika dengan mode sinisnya. Ia bangkit seraya meraih ponsel dan melihat waktu yang sudah menunjukkan tengah malam.
"Ngapain kamu nunggui aku?"
"Untuk masuk lah, om!"
"Ya masuk saja, kenapa harus menungguku?!"
Lika membuang nafasnya dengan kasar. Pak tua itu membuat silap saja. Sepertinya mau cari ribut.
"Bagaimana aku mau masuk, aku tidak punya kunci rumah tahu!" nadanya mulai naik satu oktaf.
Seharusnya Evan memberinya kunci juga, jadi ia tidak menunggu selama ini.
Evan juga baru ingat, jika ia belum memberikan kunci pada si Malik.
"Aku menunggu dari sore loh, om!" masih dengan mode juteknya. Ia menunggu seperti orang bodoh. Sampai ketiduran di teras.
"Kamu kan bisa meneleponku. Kok bodoh sih!"
"Bo-bodoh kata, om?" Lika kesal mendengar kata itu. Ia pun menginjak kaki Evan melampiaskan kekesalannya.
Evan meringis kesakitan.
"Bagaimana aku bisa meneleponmu, aku tidak punya nomor ponselmu!" ucap Lika dengan nada emosi. Ia meniup poni rambutnya berkali-kali.
Pak tua itu pun baru ingat. Mereka sama sekali tidak ada bertukar nomor ponsel.
"Pak tua, cepat buka pintunya!" pinta Lika. Ia sudah kedinginan. Udara malam berhembus kencang, sepertinya malam ini akan hujan.
Evan melihat dengan tatapan setajam silet. Seenaknya si Malik menyuruh dan berkata dengan nada tinggi. Merasa bocah kematian itu makin lama makin kurang ajar.
"Lelet banget sih!" Lika merampas kunci rumah dan membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, Lika langsung masuk dan menutup pintu kamarnya dengan kuat.
Bugh, suaranya begitu menggema.
"Astaga, apa dia mau menghancurkan rumah ini?!" Evan mengatur nafasnya. Si Malik bikin emosi saja.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Lika mondar mandir di kamar seraya mengatur napas dan emosinya. Ia tidak tahan dengan Evan. Pak tua itu pasti sengaja sekali tidak memberinya kunci.
Pasti pak tua itu membalasnya karena ia tidak jadi hamil. Pasti Evan marah perihal itu, lalu membalasnya seperti ini.
'Aku akan buat perhitungan!' batin Lika. Ia tidak mau dijajah pria tua itu.
Lika keluar dari kamar dan melihat pak tua itu sedang di dapur.
"Om!" panggil Lika.
Evan yang sedang minum menoleh. "Ada apa?" tanyanya setelah memasukkan kembali botol ke dalam lemari es.
Lika berjalan menghampiri. Sorot matanya sangat tajam. Ia akan menumpahkan semua unek- unek yang dipendamnya. Akan ia luapkan malam ini.
"Apa?" tanya Evan dengan sorot mata yang sama tajamnya. Si bocil kematian itu mau mengintimidasinya, oh tidak bisa!
"Aku -"
Duarrr, suara petir pun menggelegar.
"Om Evan!" Lika terkejut bukan main mendengar suara petir seperti itu dan refleks memeluk tubuh di hadapannya.
"Apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku, Malik!" Evan tidak nyaman dengan posisi seperti ini.
Duarrrr, petir kembali menggelegar.
Lika makin mengeratkan pelukannya. Emosinya yang menggebu-gebu mendadak ciut. Ia takut sekali sekarang.
"Lepaskan aku, sudah tidak apa!" Evan berusaha melepaskan pelukan Lika.
Jujur saja ia ingin tertawa melihat wajah bocil kematian itu berwajah pucat pasih. Si Malik benar-benar ketakutan. Dan,
Air mata Lika jatuh. Sangking takutnya ia jadi menangis.
Evan menggeleng melihat wanita di hadapannya. Memanglah bocah, dengar petir saja nangis.
"Kembali ke kamarmu!" pinta Evan. Sudah jam 12 lewat.
Lika menggeleng, mana berani ia ke kamar. Di luar hujan deras dan suara petir masih bersahut-sahutan meski suaranya tidak sebesar yang tadi. Tapi tetap saja ia takut jika tiba-tiba suara menggelegar itu terdengar lagi.
"Om," panggil Lika.
"Apa?" tanya Evan. Masih dengan nada sinisnya.
"Malam ini kita tidur bersama ya."
Dan Evan,
Huk,
Uhuk,
.
.
.
gmn hayo Lika, jadi gak minjem uang ke Evan untuk transfer Boni? 😁
Van, tolong selidiki tuh Boni, kalau ada bukti yg akurat kan Lika biar sadar tuh Boni hanya memanfaatkan dan membodohi nya doang
makanya jangan perang dunia trs, romantis dikit kek sebagai pasutri 😁