Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiba Di Kota Yogyakarta
Erna duduk di sudut ruangan, merenung, sesekali memandang ke arah jendela yang tertutup tirai tebal.
Suasana rumah orang tuanya, yang biasanya membuatnya merasa nyaman, malam ini terasa berbeda. Ada yang mengganjal di hatinya, tapi dia tak tahu harus bagaimana mengungkapkannya.
Dia sedang tidak ingin kembali ke rumah Buk Fatimah meski tahu ada suaminya, Mumu, dan anak tirinya, Arrazi yang menunggu.
Buk Yenny, ibunya yang sedang sibuk merapikan dapur, memperhatikannya dari kejauhan.
Setelah menyelesaikan pekerjaannya, dia mendekati Erna dan duduk di sebelahnya.
Rasa khawatir tergambar jelas di wajahnya.
"Sudah malam, Erna. Kenapa kamu masih di sini?" Tanya Buk Yenny lembut. Dia memandang anaknya dengan penuh perhatian.
Erna menoleh perlahan, sejenak berpikir sebelum menjawab.
"Maksud ibu apa?" Balasnya singkat.
"Kenapa kamu tidak kembali ke rumah Buk Fatimah? Kan sudah malam." Lanjut Buk Yenny, merujuk pada rumah kedua Erna.
Erna menghela napas.
"Erna tidur di sini saja, bu."
Buk Yenny mengerutkan kening, tidak puas dengan jawaban putrinya.
"Mengapa kamu tidak pulang? Bagaimana Mumu dan anak kalian, si Arrazi?"
"Hmm... tidak apa-apa, Bu. Mereka akan baik-baik saja." Jawab Erna, seolah meyakinkan dirinya sendiri lebih dari pada meyakinkan ibunya.
Buk Yenny mengangkat alis, menyadari ada sesuatu yang disembunyikan.
Dia sudah puluhan tahun hidup dan sudah banyak makan asam garam kehidupan.
"Kalian sedang bertengkar?"
Erna menggelengkan kepala cepat.
"Tidak, bu."
"Terus?"
Erna hanya terdiam, tak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya.
Di kepalanya, berbagai macam pikiran berkecamuk. Dia mencintai Mumu, tetapi beberapa waktu belakangan, perasaannya terasa hampa.
Hubungan mereka yang sebelumnya penuh kehangatan dan tawa kini terasa datar dan tanpa arah.
Buk Yenny menyentuh bahu Erna lembut.
"Erna, umur pernikahan kalian masih seumur jagung. Jika ada persoalan di antara kalian, selesaikan baik-baik."
"Kalian harus saling terbuka, biar kelihatan di mana salahnya sehingga bisa dilakukan perbaikan."
"Masalah tidak boleh disimpan dan didiamkan, nanti akan berlarut-larut. Tak baik bagi rumah tangga kalian."
"Jangan hal yang kecil menjadi besar gara-gara tidak ada keterbukaan di antara kalian."
Erna memandang ibunya, lalu menunduk. Dia tahu apa yang dikatakan ibunya benar, tetapi dia tak tahu bagai mana harus memulai pembicaraan dengan Mumu.
Selama ini, dia selalu menghindari konfrontasi, lebih memilih menahan diri daripada harus berbicara langsung. Namun, situasi ini membuatnya semakin tertekan.
"Mumu tidak pernah marah sama Erna, Bu." Kata Erna pelan. "Tapi entah kenapa, rasanya ada jarak antara kami."
"Maksudmu?"
"Entah... Mumu tidak salah apa-apa, tapi Erna merasa kami semakin jauh. Padahal, kami masih tinggal di rumah yang sama, masih makan bersama, masih berbicara... tapi rasanya ada yang hilang."
Buk Yenny menghela napas panjang, mencoba memahami apa yang Erna rasakan.
"Kadang-kadang, dalam pernikahan, ada fase-fase di mana kita merasa begitu. Merasa ada jarak, padahal sebenarnya hanya kurang komunikasi. Mungkin Mumu juga merasakan hal yang sama, tapi kalian berdua saling menahan diri."
Erna terdiam, memikirkan kata-kata ibunya.
"Tapi, Erna bingung harus mulai dari mana, bu. Mumu sepertinya tidak menyadari kalau ada yang salah."
"Erna, kamu yang harus memulai. Kamu istri Mumu. Jika kamu merasa ada sesuatu yang salah, jangan tunggu dia menyadarinya sendiri. Laki-laki kadang tidak peka. Kamu harus bicara."
"Tapi... kalau Mumu tersinggung?"
"Bukankah itu lebih baik daripada kamu terus-terusan merasa tidak nyaman?" Buk Yenny tersenyum, mencoba memberi Erna keberanian.
"Berbicara itu penting, Nak. Kamu tidak bisa terus menahan perasaanmu sendirian. Kalau tidak diungkapkan, nanti malah jadi bom waktu yang meledak suatu saat."
Erna mendengarkan nasihat ibunya, namun ketakutan dalam dirinya masih ada.
Dia tidak ingin merusak apa yang sudah mereka bangun bersama, meskipun dia sadar bahwa perasaan ini, jika dibiarkan bisa memperburuk keadaan.
"Kamu masih cinta sama Mumu, kan?" Tanya Buk Yenny pelan, namun tegas.
Erna menatap ibunya, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu.
"Tentu saja, Bu. Erna masih cinta sama Mumu. Hanya saja... Erna merasa lelah."
"Lelah? Lelah dengan apa?"
"Lelah dengan rutinitas. Lelah dengan tanggung jawab. Lelah karena rasanya kami hanya menjalani peran, tapi kehilangan kebahagiaan yang dulu ada."
"Dulu kami tertawa bersama, bercanda. Sekarang... semuanya terasa begitu serius. Tidak ada lagi tawa."
Buk Yenny mengangguk pelan. "Semua pernikahan pasti ada masa-masanya seperti itu, Nak. Itu adalah ujian."
"Tapi, bukan berarti itu akhir dari segalanya. Kalian bisa memperbaikinya, asal mau bekerja sama."
Erna menghela napas panjang. "Erna tahu, Bu. Tapi Erna takut memulai. Takut kalau Mumu tidak merasakan hal yang sama, atau mungkin dia menganggap Erna terlalu banyak menuntut."
"Erna, pernikahan itu bukan soal siapa yang menuntut atau siapa yang memberi. Itu soal kerja sama. Kamu tidak bisa terus diam dan berharap semuanya akan berubah dengan sendirinya."
"Kamu harus berani mengungkapkan apa yang kamu rasakan, karena itu bagian dari usaha menjaga rumah tangga kalian tetap kuat."
Erna sama sekali tidak menyadari bahwa dia telah terjebak dalam pemikiran yang salah akibat mempercayai segala ucapan Purnama sehingga dia jadi terombang-ambing dalam angan-angannya sendiri.
...****************...
Wildan tiba di Yogyakarta dengan hati yang membara. Kota yang penuh kenangan ini kini hanya menjadi latar bagi satu tujuan utamanya yaitu mencari keberadaan Mumu, orang yang dia yakini sebagai penyebab kematian ayahnya.
Semua petunjuk yang telah dia kumpulkan menyatakan bahwa pria itu tinggal di sini.
Oleh karena itu dia bergegas terbang ke sini dari kota Bengkalis.
Namun, Wildan tidak terburu-buru. Dendam adalah sesuatu yang harus diolah dengan hati-hati.
Dia bukan hanya ingin menemukan Mumu, tetapi memastikan bahwa pria itu merasakan penderitaan yang sebanding dengan apa yang telah dia alami.
Setelah turun dari kereta, Wildan menyempatkan diri menghirup udara Jogja, mencoba menenangkan diri.
Kematian ayahnya dianggap sebagai takdir oleh banyak orang, tetapi Wildan tidak percaya itu. Ada sesuatu yang lebih kelam di balik kejadian tersebut menurut cerita Satpam keluarganya dan dia yakin Mumu bertanggung jawab atas kematian ayahnya.
Dengan penuh tekad, Wildan berjalan menyusuri gang-gang sempit di kota, menuju sebuah kedai kecil tempat dia akan bertemu dengan kenalannya, Ratno, seorang jurnalis yang sering membantu mengorek informasi di kota ini.
Ratno mungkin bukan teman yang dekat, tetapi dia tahu betul bagaimana caranya mendapatkan informasi di Jogja dan Wildan tahu, jika ada yang bisa menemukan jejak Mumu, itu adalah Ratno.
Saat bertemu di kedai, Wildan langsung menyampaikan maksudnya. Tanpa basa-basi, dia duduk di depan Ratno dan berbicara dengan nada datar.
"Aku di sini untuk mencari Mumu. Kau pasti sudah dengar tentang dia kan?"
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...