Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.
Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
Senja di pantai mulai turun. Langit berwarna jingga keemasan, memantul di permukaan laut yang berkilau seperti kaca cair.
Raisa duduk di pasir, menatap ombak yang terus berkejaran di tepi pantai. Di sebelahnya, Ardan duduk bersandar dengan tangan di belakang tubuhnya, menikmati pemandangan seolah dunia di luar sana tak lagi ada.
Untuk pertama kalinya sejak semua kekacauan dimulai, Raisa merasa… bebas.
“Om.” Suaranya pelan.
“Hm?” Ardan menoleh sedikit.
“Kenapa… Om selalu tahu aku butuh apa, bahkan sebelum aku ngomong?”
Ardan menatap laut sebentar sebelum menjawab, “Karena aku pernah ada di titik itu. Titik di mana dunia terasa terlalu bising, dan nggak ada yang ngerti kamu. Jadi waktu lihat kamu… aku tahu kamu butuh tenang.”
Kata-katanya sederhana, tapi entah kenapa membuat dada Raisa terasa hangat.
Ia menoleh, menatap wajah Ardan. Rambutnya sedikit berantakan tertiup angin, kerutan samar di sudut matanya justru membuatnya terlihat semakin dewasa—dan entah bagaimana, semakin membuat Raisa sulit berpaling.
“Om.”
Ardan ikut menoleh. “Ya?”
“Kalau aku bilang… aku takut kehilangan Om, itu konyol nggak sih?”
Ardan tersenyum tipis. “Enggak. Itu jujur. Dan aku senang kamu jujur.”
Mereka saling menatap. Hanya beberapa detik, tapi terasa begitu lama.
Raisa bisa mendengar jantungnya sendiri berdebar kencang. Angin membawa aroma laut, menambah hening yang anehnya nyaman di antara mereka.
Ardan mendekat sedikit, matanya tetap terkunci pada Raisa. “Boleh aku bilang sesuatu?”
Raisa mengangguk, tanpa suara.
“Aku nggak pernah sejatuh ini… pada siapa pun… selain kamu.”
Kata-kata itu membuat Raisa nyaris kehilangan napas.
Sebelum otaknya sempat berpikir, tubuhnya sudah lebih dulu bereaksi—mendekat, mencari kehangatan itu.
Dan di sanalah, bibir mereka bertemu.
Awalnya hanya sentuhan singkat—seperti ragu, seperti bertanya. Tapi kemudian, ketika Ardan menggeser tangannya ke tengkuk Raisa, ciuman itu semakin dalam, semakin nyata.
Raisa memejamkan mata. Dunia seolah berhenti. Tidak ada gosip, tidak ada rasa takut, hanya ada mereka berdua.
Ardan menariknya sedikit mendekat, jemarinya melingkari wajah Raisa dengan lembut. Tidak ada tergesa-gesa, tidak ada desakan—hanya kehangatan yang mengalir, perlahan, membuat Raisa merasa aman di dalam pelukan itu.
Ketika mereka berpisah, keduanya terdiam, napas masih tersengal.
“Om…” Raisa berbisik, wajahnya merah.
Ardan menatapnya, lembut tapi serius. “Kalau kamu belum siap, kita berhenti di sini.”
Raisa menggigit bibirnya. “Tapi aku nggak mau berhenti.”
Ardan menutup matanya sebentar, seolah mengendalikan sesuatu. Lalu ia tersenyum kecil. “Kalau gitu… jangan pernah lari lagi dari aku.”
Raisa mengangguk. “Nggak akan.”
Mereka kembali duduk berdampingan, diam, tapi tangan mereka saling menggenggam erat.
Senja berganti malam, tapi kehangatan itu tetap tinggal di antara mereka—mengikat tanpa kata.
Malam itu, di perjalanan pulang, Raisa menatap jendela mobil sambil tersenyum sendiri.
Ini gila. Tapi untuk pertama kalinya, aku nggak takut sama sekali.
Sementara di kursi pengemudi, Ardan meliriknya sekilas, ikut tersenyum.
Ciuman itu… sudah cukup jadi janji. Aku nggak akan biarkan siapa pun merebutmu dariku.
*
Pagi itu Raisa terbangun karena ponselnya terus-menerus bergetar.
Dengan mata setengah terpejam, ia meraih ponsel di nakas. Puluhan notifikasi masuk dari Dina, teman-teman kampus, bahkan nomor tak dikenal.
Satu pesan dari Dina membuat napasnya tercekat:
“Rai… jangan panik, tapi kamu harus lihat berita sekarang.”
Raisa membuka link yang Dina kirim.
Foto mereka.
Ia dan Ardan, duduk di pasir dengan tangan saling menggenggam, diambil dari kejauhan. Dan… ada satu foto lain—ciuman itu.
“Pasangan beda usia, Ardan Pratama kepergok berlibur mesra dengan mahasiswi. Hubungan mereka resmi?”
Judul itu menghiasi semua portal berita.
Dunia Raisa runtuh dalam sekejap.
Ia menjatuhkan ponsel, tangannya gemetar. “Nggak… nggak mungkin. Siapa yang…”
Pintu kamar terbuka. Ardan berdiri di ambang, masih mengenakan kaus dan celana santai, rambutnya sedikit berantakan.
“Raisa.”
Raisa mendongak, matanya sudah berkaca-kaca. “Om… fotonya… keluar. Semua orang lihat. Aku—”
Ardan berjalan mendekat, duduk di tepi ranjang, lalu menggenggam kedua tangannya. “Lihat aku.”
Raisa menggeleng. “Ini semua salahku. Kalau aku nggak ikut Om ke pantai, kalau aku—”
“Berhenti.” Suaranya tegas.
Raisa terdiam.
“Ini bukan salahmu. Mereka yang salah karena melanggar privasi kita. Aku janji, mereka akan berhenti.”
“Berhenti? Om… ini udah jadi berita nasional. Semua orang lihat. Aku… aku nggak tahu harus gimana lagi.”
Ardan mengusap rambutnya, nada suaranya melunak. “Kalau kamu nggak tahu harus gimana, biar aku yang pikirkan. Kamu cuma perlu percaya sama aku.”
Raisa menatapnya, hatinya masih berdebar keras. “Om… apa yang Om mau lakukan?”
Ardan menghela napas panjang, seolah memutuskan sesuatu yang besar. “Kalau dunia terus menebak-nebak, kalau mereka terus menyerangmu… maka aku akan berhenti sembunyi-sembunyi. Aku akan bawa kamu masuk ke hidupku, secara resmi.”
Raisa terbelalak. “Maksud Om?”
“Aku akan perkenalkan kamu. Bukan cuma ke publik. Tapi… ke keluargaku. Termasuk… anakku.”
Raisa terdiam. Anaknya.
Ia sudah mendengar sekilas bahwa Ardan punya anak, tapi selama ini ia tidak pernah bertanya lebih jauh.
“Om… aku… aku nggak tahu siap atau nggak.”
Ardan menatapnya dalam. “Kamu nggak perlu siap sekarang. Kamu cuma perlu datang. Sisanya, biar aku yang urus.”
Hari itu juga, Ardan mengatur pertemuan.
Sore menjelang malam, mobil mereka berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya minimalis. Halaman dipenuhi tanaman terawat, suasananya hangat tapi mewah—berbeda dengan dunia Raisa selama ini.
“Kita… di sini?” Raisa menelan ludah.
Ardan mengangguk. “Ini rumah anakku.”
Begitu pintu dibuka, seorang perempuan muda—sekitar dua puluh dua tahun—muncul. Ia tinggi, cantik, dengan tatapan tajam yang langsung mengarah ke Raisa.
“Papa.” Suaranya datar. “Jadi… ini dia?”
Raisa membeku. Papa? Jadi ini…
Ardan tersenyum kecil. “Raisa, kenalkan. Ini Nayla, anakku.”
Nayla menatap Raisa dari atas sampai bawah, menilai tanpa berkata. Suasana hening menekan mereka bertiga.
Raisa merasa perutnya mual. Anak Ardan… seumuran aku…
Ardan memecah keheningan. “Nay, aku tahu ini mendadak. Tapi aku nggak mau kamu denger dari orang lain soal siapa dia buatku.”
Nayla menyilangkan tangan di dada. “Dan kamu pikir kalau kamu bawa dia ke sini, aku akan langsung nerima?”
Raisa ingin bicara, menjelaskan, minta maaf—apa pun—tapi suaranya tak keluar.
Ardan tetap tenang. “Aku nggak minta kamu nerima sekarang. Aku cuma minta kamu kasih dia kesempatan.”
Nayla menatap ayahnya lama, lalu berkata dingin, “Aku nggak janji. Tapi… silakan masuk.”
Malam itu, mereka makan malam bertiga. Raisa duduk di ujung meja, hampir tak menyentuh makanannya. Nayla melempar beberapa pertanyaan—lebih seperti interogasi—tentang kuliah, latar belakang, bahkan hubungannya dengan Ardan.
Raisa menjawab sebaik mungkin, meski suaranya gemetar.
Setelah makan, Nayla berdiri. “Aku masih belum tahu harus mikir apa. Tapi… terima kasih sudah datang.”
Itu bukan penerimaan. Tapi bukan penolakan mutlak.
Ardan menghela napas lega. Raisa hanya mengangguk, berterima kasih pelan.
Di mobil, perjalanan pulang hening lama.
Hingga Raisa berkata pelan, “Om… apa aku egois kalau aku tetap di sini, di sisi Om? Padahal aku tahu dunia Om… nggak mudah buat aku masukin?”
Ardan menggenggam tangannya. “Kalau kamu egois, maka aku juga egois. Dan aku nggak masalah. Karena buatku, kamu layak diperjuangkan.”
Raisa menatap tangannya dalam genggaman Ardan.
Mungkin dunia di luar akan tetap kejam. Tapi malam itu, untuk pertama kali, ia merasa diterima di dalam dunia Ardan.
Dan itu… cukup untuk membuatnya bertahan.