Terlahir kembali sebagai anak orang kaya bernama Ethan, ia bereinkarnasi bersama sebuah sistem yang misterius. Sistem Penguasa, yang meringankan hidupnya dan juga merumitkan kisah cintanya.
Di sekolah, Ethan dipertemukan dengan mantan pacar dari kehidupan sebelumnya, Karina. Kehidupan kedua ini menjadi kesempatan bagi Ethan untuk mengulangi hubungan dan memperbaiki kesalahannya.
Namun, Sistem Penguasa terus memaksa Ethan untuk menguasai sekolahnya, menjadi puncak tertinggi di antara siswa lain, dan Karina tidak menyukai gaya hidup Ethan itu.
Akankah Ethan dapat kembali bersama Karina? Ikuti kisahnya yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon milorasabaru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18
Ternyata kurir paket itu mencari diriku. Aku sama sekali tidak berbelanja online dan mengirimnya ke sekolah. Lagian, siapa juga yang mau memberiku barang ke sini? Harusnya ke rumah saja.
Aku mengernyit ketika menerima kotak terbalut lakban krem itu. Tertulis nama lengkapku di sana, tetapi tidak ada detail mengenai si pengirim. Kosong. Kurir juga pasti tidak tahu siapa yang mengirim, itu di luar job desk dia.
"Nuhun, A," ucapku pada kurir.
Kurir dari salah satu perusahaan ekspedisi yang terkenal di Indonesia itu pun beranjak pergi, dengan kotak-kotak paket yang menumpuk di motornya.
"Maneh mesen naon?" tanya salah satu kakak kelasku.
"Naha maneh ngirim paket ke sekolah?" Salah satu alumni di sampingku juga terheran.
"Aing gak mesen. Teuing dari siapa ini juga." Aku menunjukkan kotak paketku ke semua orang.
(Teuing \= Gak tahu.)
Para kakak kelas dan alumni di sekitarku mulai mendekat, mencondongkan tubuh padaku. Sementara teman-teman seangkatanku masih terduduk dengan botol es teh manis, sebagian terkapar setelah muntah-muntah.
"Kade anj*ng bisi bom."
"Heeuh aneh anj*r gak ada pengirimnya."
"Bisa gitu ya."
Begitulah reaksi mereka yang juga mengernyit saat melihat kotak paket itu. Aku hampir terkekeh karena suasana berubah begitu drastis, sikap mereka yang sinis menghilang.
Rayhan pun mendekat. "Buka coba."
Aku langsung merobek lapisan lakban krem dari kotak yang tidak begitu besar itu. Robekkan pertama aku mendapati permukaan kardus. Kemudian, setelah aku melepaskan semuanya, dan orang-orang di sekitarku menendang jauh gulungan sampah lakban itu, aku membukanya.
"Ah, anj*ng sugan teh naon."
(Ah, anj*ng kirain apaan.)
Serempak mereka mengatakan hal yang sama, kekecewaan di dalam nada perkataannya, melihat apa yang ada di dalam kardus. Rayhan menariknya keluar.
"Jaket kayak gini juga aing punya," ucap Rayhan mengangkat jaket itu tinggi dan memutar baliknya.
Jaket Perfecto hitam, berbahan kulit dengan gaya yang lebih sering dikenal dengan 'jaket anak motor'. Jadi begini caranya wanita sistem itu memberi hadiah dari misi sebelumnya.
[Iya.]
Gokil juga.
Rayhan pun berjalan ke belakangku sembari membawa jaket itu. Semua orang yang mengerubungi kembali menatapku.
"Aing tau ini jaket maneh, tapi gini aja ..." ucapnya kemudian bedeham.
"Mulai hari ini, aing resmikan maneh jadi anggota pertama dari angkatan 2024."
Dia kemudian memakaikan jaket itu dari belakangku, bersamaan dengan semua orang yang bertepuk tangan. Jaket ini sangat pas membentuk tubuhku, sedikit kaku tapi cukup nyaman. Tidak pernah terpikirkan aku akan punya jaket seperti ini.
Mendapati semua orang menyoraki, memberi ucapan selamat dengan tepuk tangan yang begitu meriah, membuatku mempertanyakan kehidupan SMA-ku saat ini. Di kehidupan yang sebelumnya, aku hanyalah anak yang biasa-biasa saja, tidak pernah bergabung dengan kumpulan anak sekolah seperti ini yang aku anggap keren.
Di sekolah, kakakku Rita bergabung dengan OSIS dan menjadi sekretaris. Rara mengikuti ekstrakulikuler basket, seperti biasa. Sementara aku malah bergabung dengan komun atau geng sekolah.
Yah, setidaknya sekarang aku punya banyak teman merokok dan aku juga tidak begitu senang dengan kegiatan setelah sekolah.
Tidak lama kemudian, lampu-lampu jalan berpendar semakin terang, melawan gelapnya malam yang baru saja tiba. Prosesi penerimaan anggota baru yang aneh itu pun berakhir, semua teman-teman angkatanku tidak ada yang ditolak oleh Rayhan. Kembali kami semua berbincang seperti biasa, bercanda gurau dengan para alumni dan kakak kelas yang tadinya bersikap sok sinis.
Huft. Itu sih ngerjain doang jadinya.
"Eh, aing duluan ya," ucapku setelah melihat Rara keluar dari gerbang sekolah.
"Mau kemana? Santai dulu lah!" Rayhan menahan kepergianku.
"Udah ada yang nungguin." Aku menunjuk ke arah seberang jalan.
Dia mengangguk, lalu aku pun beranjak dengan berlari kecil menyeberang jalan dua arah. Beberapa orang di sekitarku sebelum pergi, meledekku hingga terdengar sampai depan gerbang.
"Dasar bucin!"
"Cie!"
"Kade ulah menc*g, Ethan!"
Begitulah sorak sorai baik dari senior cowok ataupun cewek di tongkrongan itu. Aku jadi tersipu malu dan menundukkan wajah ketika tiba di depan Rara.
"Rame banget di depan, tumben," ucap Rara melirik pada balik pundakku.
"Iya lagi pada kumpul semua ternyata hari ini," timpalku.
Tiba-tiba, Rara melebarkan kedua lengannya. "Peluk."
Melihat wajahnya yang sudah kelelahan dari kegiatan latihan basket, tidak mungkin aku menolaknya. Aku pun memeluk erat dirinya yang sudah dipenuhi keringat di kaus tanpa lengan berwarna putihnya. Rambut kuncir dua mengilap dan layu itu menempel pada jaketku.
"Bau rokok," ucap Rara lirih.
"Lebih bau kamu," ledekku.
Sekilas kurasakan celana olahraga miliknya bergesekan dengan celana sekolahku, dan aku terkesiap saat dia menginjak kakiku dengan sepatu basketnya. Aku mengerang seketika dan melepaskan pelukan, lalu dengan sigap aku mencubit kedua pipinya, untuk balas dendam.
"Ah! Iya ampun!" pinta Rara meringis memukulku lembut.
Aku tertawa dan menggenggam kedua tangannya. "Ayo pulang kita."
Rara mengangguk, dan memintaku untuk membawakan ransel dan tas sepatunya. Kemudian kami berjalan bersama menuju mobilku, aku sudah menaruh ranselku di sana sebelum menongkrong.
Ya, mobilku. Memiliki mobil sendiri sudah menjadi impian sejak lama. Sebelum aku berkuliah di kehidupan yang dulu, aku kerja sampingan sebagai supir untuk para pengepul beras. Tapi sekarang, aku sudah tidak menyupiri mobil bak terbuka milik si Bos, tapi mobil BMW 5-Series miliku sendiri. Yah, walaupun itu juga pemberian dari Ayah.
Aku dan Rita sudah tidak di antar-jemput oleh Ivan semenjak kami masuk ke SMA. Ayah memberi kami masing-masing satu mobil, katanya biar mandiri. Aku mendapat mobil yang biasa dipakai Ivan, sementara Rita mendapat mobil bekas Ayah, BMW 8-Series, yang lebih bagus dari punyaku. Tidak adil!
Tapi berkat itu, aku bisa pulang sekolah bersama Rara setiap harinya. Jika pacarku ada latihan basket, aku menunggunya di tempat tongkrongan tadi.
Sebelum aku masuk ke mobil, aku melirik pada sepanjang pinggiran jalan sekitar sekolah, tempat parkir semua kendaraan karena siswa tidak bisa parkir ke dalam sekolah. Tidak ada tanda-tanda mobil miliki Rita di bawah pepohonan dan pendar lampu jalan. Sepertinya kakakku sudah pulang.
"Nyari tukang parkir? Udah gak ada jam segini mah bukan?" tanya Rara heran melihatku masih terdiam dengan membuka pintu kemudi.
"Engga, nyari si Rita."
"Oh, Teh Rita mah udah pulang, tadi aku sempet liat dia lewat lapangan bareng temen-temennya."
"Nongkrong kali ya," gumamku. "Mau nongkrong juga gak kita?"
"Engga ah capek, pulang aja!"
😒
/Cleaver/