Azira membenci Ayahnya karena tega meninggalkan Ibu, dan dia bahkan lebih membenci istri kedua Ayahnya sebab jika bukan karena wanita itu, Ibu tidak akan pernah menginjak dunia malam. Tidak, sejujurnya Azira membenci Ayah dan keluarga Ayahnya yang bahagia serta harmonis. Pernah memandang rendah Azira dan Ibunya yang miskin, mereka bahkan tanpa ragu membunuh Ibunya.
Azira sangat membenci mereka semua!
Karena kebencian inilah dia terpaksa memasuki keluarga Ayah, menghancurkan kehidupan bahagia putri terkasih Ayah dan merebut calon suaminya, Azira melakukan semua itu.
Dia pikir balas dendamnya telah selesai setelah melihat keluarga Ayahnya hancur, dan dia pun siap dihancurkan oleh suami paksaan nya. Namun, siapa sangka bila suami paksaan nya tidak hanya tidak menghancurkannya namun juga menyediakan rumah untuknya kembali?
Apa ini?
Apakah ini hanya penyamaran sang suami untuk membalas dendam kepadanya karena telah merebut posisi wanita yang dicintai?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lili Hernawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3.1
"Nona, mereka sudah pergi." Ucap pemuda itu mengingatkan Azira yang masih tidak bergerak di dalam pelukannya.
Pemuda ini tahu bahwa gadis ini tidak pingsan, oleh karena itu dia secara sadar melepaskan tangannya dari Azira agar ia lebih mudah menyingkir dari dalam pelukannya.
Azira perlahan membuka matanya, menghirup tenang wangi pemuda ini sebagai kenangan manis. Azira mungkin tidak akan pernah lagi bertemu dengan sosok ini di masa depan, ataupun jika bertemu ia dan pemuda ini tidak lagi saling mengenal nantinya. Bukankah dari awal mereka tidak saling mengenal?
Setelah puas menghirupnya, ia lalu dengan tenang mundur dari pemuda tersebut. Menjaga jarak beberapa meter jauhnya dari pemuda tersebut. Namun langkahnya yang ketujuh tiba-tiba terhenti ketika melihat seperti apa wajah sosok ini, pemuda ini terlalu tampan pikir Azira terpesona.
"Nona, saya sarankan setelah pulang nanti Anda harus mengompres pipi kanan Anda." Saran pemuda itu berniat baik melihat pipi kanan Azira yang memerah memar, sepertinya tamparan preman itu cukup keras untuk gadis ini.
Azira spontan mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi kanannya yang langsung terasa sedikit ngilu setelah diingatkan, ia juga baru sadar jika pipi kanannya terasa panas.
"Ya, aku akan segera mengompresnya nanti dan terima kasih untuk bantuan mu, aku sangat bersyukur untuk itu." Ucap Azira canggung.
Ia menundukkan kepalanya malu karena entah bagaimana ia tidak bisa menahan kedua matanya untuk terus menatap pemuda ini. Mata pemuda ini terlalu tajam dan entah mengapa Azira merasa itu sedikit berbahaya.
"Aku harus pergi, sampai jumpa tuan." Tidak ingin menunggu respon pemuda itu, Azira sudah memutar badannya dan berjalan menjauh dari pemuda tampan itu.
"Nona, bagaimana jika saya antarkan saja? Saya takut jika mereka akan mendatangi Anda lagi." Teriak pemuda itu was-was dan menawarkan bantuan.
Namun, Azira tidak mengatakan apa-apa dan terus berjalan menjauh. Salah satu tangannya dengan gugup menyentuh dadanya yang kini sedang berdegup kencang. Begitu kencang hingga ia takut akan ada seseorang yang mendengarnya. Namun Azira tidak merasakan sakit dengan kecepatan jantungnya berdetak, ia malah merasakan perasaan yang begitu hangat dan menyenangkan.
"Begitu manis.." Gumamnya mengenang.
Apalagi saat ia berada di dalam pelukan pemuda itu, Azira akui jika ia tidak ingin menjauh darinya. Tempat itu terlalu menenangkan dan damai, di sana Azira entah mengapa menjadi nyaman dan ia pun tidak takut dengan nyonya Bara.
Ah, berbicara tentang nyonya Bara, Azira yakin ia tidak akan datang mengganggunya lagi. Kalau pun iya dia datang, Azira tidak akan pernah tertipu lagi.
Ia tidak akan bodoh keluar rumah dengan sembarangan dan untuk saat-saat ini Azira akan berdiam diri di dalam rumah. Melihat dan mengawasi kehidupan damai keluarga bahagia itu.
Ia juga ingin melihat hal apa yang akan Azira lakukan di pernikahan saudaranya nanti. Apakah ia meracuni makanan yang disajikan dalam pernikahan itu?
Apakah ia harus menempatkan bom bunuh diri di sana?
Tidak apa-apa jika Azira mati karena semua orang juga akan ikut dengannya ke alam akhirat.
Ah, memikirkannya selalu membuat Azira tersenyum senang. Ia sudah tidak sabar melihat kehidupan bahagia mereka hancur.
Yah, siapa suruh mereka membawanya ke rumah ini. Apakah mereka tidak pernah belajar dari dunia bahwa tidak ada hati yang benar-benar polos dan rasa sakit harus dibalas sakit pula.
...***...
Tiga hari menjelang pernikahan Humairah segala persiapan sedang gencar dilakukan. Bahkan rumah ini dari beberapa hari yang lalu selalu ramai dan sibuk, menjadi pusat perhatian dari berbagai macam kalangan.
Entah itu sibuk tentang dekorasi pernikahan, busana pernikahan, urusan catering dan sebagainya. Mereka begitu antusias sehingga seringkali terjadi perbedaan pendapat yang mengundang perdebatan sengit. Mereka semua memiliki ide yang sangat luar biasa.
Namun jika berbicara tentang hasil akhirnya sudah pasti itu tidak akan menjadi masalah serius karena setelah itu mereka semua akan tertawa bersama, menertawakan diri sendiri yang keras kepala. Hah, betapa harmonisnya.
"Azira, lihat aku!" Panggil Humairah semangat.
Tertegun, Azira spontan mengangkat pandangannya menatap Humairah yang kini terlihat begitu cantik dengan gaun pernikahannya.
"Bagaimana? Ini bagus bukan?" Tanyanya meminta pujian.
Azira menatap iri gaun pengantin Humairah yang sangat indah, apalagi penampilan adiknya ini yang sudah cantik semakin mempesona setelah menggunakan gaun pernikahan ini. Membuat Azira bertanya-tanya, tanpa make up ataupun hiasan pun, adiknya sudah sangat mempesona, jadi bagaimana nantinya bila Humairah di-make up dan menggunakan hiasan pengantin? betapa tidak terbayangkan cantiknya Humairah hari itu.
"Ya, kau terlihat luar biasa dengan pakaian ini." Ucapnya tulus.
"Masha Allah, keponakan bibi kok cantik banget..ih, jadi ngiri deh." Bibi Safa ikut mengeluarkan suaranya yang telah dibuat takjub oleh Humairah, ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya melihat keponakan tersayangnya ini sangat mempesona.
Bibi Safa dengan antusias berjalan mendekati Humairah, mencubit hidungnya sayang ia lalu dengan akrab mengelus lembut puncak kepala Humairah.
"Ya Allah, bibi tidak menduga jika gadis yang kemarin baru belajar jalan adalah gadis yang kini berdiri di depan ku. Bibi..hah..tanpa mu rumah ini tidak akan sehidup biasanya. Humairah, jangan lupakan kami setelah menikah nanti." Tanpa Humairah mungkin tidak ada lagi yang membuatnya ramai.
Tidak ada lagi gadis manja yang selalu membuat keributan untuk semua orang, Bibi Safa rasanya sedikit tidak rela membiarkan Humairah menikah secepat ini.
"Jangan bersedih bibi karena setelah aku menikah besok orang yang akan menggantikan ku adalah Azira. Rumah ini tidak akan sepi selama Azira ada di sini."
Saudaranya ini akan menggantikan tempatnya di sini, menghidupkan suasana rumah kembali seperti semula.
"Jangan bercanda, Bibi tidak akan pernah sudi membiarkannya berada di posisi mu. Lagipula ia di sini hanya sebagai beban dan tamu tidak diundang saja, nanti setelah ia mendapatkan laki-laki yang sederajat dengannya maka ia akan dengan sendirinya keluar dari rumah ini. Ia tidak pantas berdiri di antara kita." Jawab bibi Safa sinis.
Ia benar-benar tidak rela melihat Azira bercampur bersama mereka karena sekali lagi Azira hanya sampah di sini, ia adalah aib semua orang.
Berusaha tidak terpengaruh, Azira hanya menatap polos bibi Safa yang sedang asik menjatuhkan martabatnya, seolah-olah orang yang dibicarakan bibi Safa bukanlah dirinya melainkan orang asing yang tidak dikenal.
"Bibi, jangan memulai lagi." Pinta Humairah merasa tidak enak kepada Azira.
Memutar bola matanya malas, "Jangan terlalu berbaik hati Humairah. Rubah betina ini sekali saja kau berikan hati maka suatu hari nanti ia akan meminta jantung mu. Lihat Mama mu, ia sama seperti mu dulu dan hampir saja membuat pernikahan mereka hancur hanya gara-gara induk rubah betina ini."
Dendamnya pada Ibu Azira memang sudah mendarah daging. Begitu pekat dan kental sehingga sulit rasanya ia merasa tenang ketika melihat Azira.
Memang betul Azira adalah darah daging kakaknya tapi itu semua masih belum pasti. Itu masih belum pasti dan bisa jadi itu hanya jebakan perempuan kotor itu. Azira...yah, mungkin bukan darah daging kakaknya.
"Aku tahu dan aku paham." Suara Humairah mengerti kekhawatiran bibinya.
Mengangkat bulu matanya, Azira dengan diam membisu memperhatikan percakapan mereka berdua. Percakapan yang sebenarnya sangat membosankan karena isinya hanya seputar tentang dirinya yang hina saja.
Azira bosan dan muak berlama-lama di sini. Ia ingin pergi namun harga dirinya mencegah ia bertindak impulsif. Ia juga bertanya-tanya mengapa ia begitu jinak di hadapan mereka semua?
Apa yang sebenarnya Azira tunggu dari duduk diam dan mendengarkan pembicaraan mereka?