Drabia tidak pernah di sentuh suaminya selama menikah. Karena sebelumnya Ansel mendengar gosib tentang dirinya yang pernah tidur dengan pria lain sebelum menikah.
Di saat Ansel akan menceraikannya, Drabia pun meminta satu hal pada Ansel sebagai syarat perceraian. Dan setelah itu jatuhlah talak Ansel.
Apakah yang di minta Drabia?, akan kah Ansel memenuhi permintaan Drabia?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icha cute, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18.Maju terus pantang mundur
Mendengar pintu ruang perawatannya di ketuk, Drabia dan Lea menoleh ke arah pintu, melihat siapa yang datang. Pintu itu terbuka dari luar, Ibu Nimas masuk membawa makanan dan keperluan Drabia.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Ibu Nimas setelah berdiri di samping brankar Drabia, sambil meletakkan bawaannya tadi di atas nakas.
"Baik Ma" jawab Drabia
"Mama minta maaf, Mama mengaku salah" ucap Ibu Nimas. Berhasil membuat air mata Drabia mengalir dari sudut matanya.
"Aku sudah memaafin Mama, sebelum Mama minta maaf" balas Drabia lirih.
Ibu Nimas pun menghapus air mata Drabia dengan jari tangannya."Sangat sulit bagi Mama mengutamakan kebahagiaanmu dan Ansel. Mama memang bisa membujuk Ansel menikahimu. Tapi Mama tidak bisa membujuknya untuk mencintaimu. Sehingga Mama berpikir lebih baik kalian berpisah, dari pada Ansel terus menyakitimu."
"Mama tidak pernah mendukung Ansel menyakitimu. Tapi Mama tidak bisa mencegah niat Ansel untuk menikahi Hafshah" jelas Ibu Nimas.
Drabia hanya bisa diam saja menanggapi apa yang di katakan Ibu mertuanya itu.
"Setidaknya Tante tidak menghadiri acara pertunangan berkedok ulang Tahun Ansel, Tante!" sambar Lea emosi." Kalau Tante tidak mendukungnya" lanjut Lea.
Ibu Nimas terdiam.
"Jika nanti kalian sudah menjadi seorang Ibu. Kalian pasti merasakan, bagaimana rasanya melihat anak kalian merengek, memohon pada kalian. Pasti kalian tidak tega melihat air matanya" ucap Ibu Nimas.
Lea dan Drabia terdiam, mereka belum menjadi seorang Ibu, mereka tidak tau rasanya menghadapi anak yang merengek meminta sesuatu.
"Maafkan Mama dan Ansel Drabia. Maafkan kesalahan kami yang sudah menyakitimu" pinta Ibu Nimas lagi menangis. Demi kebahagiaan anaknya, dia lupa dengan kebaikan orang tua Drabia.
"Aku sudah memaafkan Mama" balas Drabia kembali menangis saat Ibu Nimas memeluknya.
"Trimakasih sayang" ucap Ibu Nimas melepas pelukannya dari tubuh Drabia.
Siang itu, Ibu Nimas pun menyuapi Drabia makan. Ibu Nimas juga menjaga Drabia, karna tidak ada yang menjaganya, sedangkan Lea, dia ada kelas siang. Dan Ibu tiri Drabia, jangan di tanya lagi, dia tidak akan peduli dengan Drabia.
**
Ansel melangkahka kakinya ke arah ruang kerja Pak Ilham. Ia mengetok pintu ruangan itu sembari mengucap salam. Setelah mendengar sahutan dari dalam menturuhnya masuk. Ansel mendorong pintu itu sambil melangkah masuk.
"Selamat siang Yah" sapa Ansel, wajahnya nampak sembab dan sedikit pucat. Tadi malam dia tidak bisa tidur, selain tempat tidurnya tidak nyaman, ia juga terus memikirkan hubungannya dengan Drabia dan Pak Ilham.
"Hm!" Pak Ilham membalas dengan deheman, dan enggan melihat Ansel.
"Ayah, aku minta maaf!" ucap Ansel meraih tangan Pak Ilhan yang sedang mengotak atik keyboard laptopnya.
"Ini di perusahaan, bicarakanlah yang bersangkutan dengan pekerjaan." Pak Ilham menarik tangannya dari genggaman Ansel.
"Tapi aku butuh maaf Ayah" bujuk Ansel lagi memohon.
"Bersyukur saja kamu gak Ayah jebloskan ke penjara. Jadi jangan mengharap apa apa lagi dari Ayah ataupun Drabia. Hubungan keluarga kita sudah tidak ada lagi" jelas Pak Ilham.
Ansel terdiam sebentar," aku khilaf Yah, aku janji gak akan mengulanginya lagi. Janji tidak akan menyakiti Drabia lagi."
"Apa kamu pikir Ayah akan membiarkan Drabia kamu sakiti lagi?. Konyol kamu!" decih Pak Ilham." Dan aku pikir Drabia juga sudah tidak ingin melihat kamu."
"Keluar dari ruanganku, aku lagi banyak pekerjaan" cetus Pak Ilham mengibaskan tangannya mengusir Ansel.
Ansel terdiam, melihat Pak Ilham mengabaikannya, ia pun memilih keluar dari ruangan itu, kembali ke dalam ruangannya.
Sampai di ruangannya, Ansel bukannya bekerja, dia malah duduk termenung dan menangis pilu, Drabia dan Pak Ilham tidak memaafkannya.
Karna tak bisa pokus bekerja, Ansel pun keluar dari ruangannya. Dia akan pergi ke rumah sakit menemani Drabia. Meski Drabia menolak kehadirannya, Ansel tidak menyerah sebelum dia mendapat maaf.
"Untuk apa lagi kamu datang ke sini?." Drabia yang duduk bersandar di kepala ranjang menatap marah pada Ansel yang baru masuk ke ruang perawatannya.
"Ansel" ucap Ibu Nimas yang menemani Drabia di ruangan itu.
"Aku minta maaf, Drabia"Ansel meneduhkan pandangannya ke arah Drabia yang menatapnya tajam.
"Bukankah ini yang kamu mau, kamu membuatku membencimu, supaya aku setuju bercerai. Dan kamu bisa menikah dengan wanita idamanmu itu" cetus Drabia.
Ansel terdiam, apa kabar dengan Hafshah?, pikirnya. Kenapa dua hari ini dia melupakan wanita idamannya itu?.
Ansel mendekati Drabia, maju terus pantang mundur. Ansel harus mendapatkan maaf dari Drabia istrinya, bagaimana pun caranya.
"Pergi kau ibl*s!" usir Drabia geram.
dukk!
"Aw!"
Ansel meringis saat Drabia memukul kepalanya dengan piring bekas makannya tadi, sampai sisa sisa kuahnya menetes ke pakaiannya. Drabia bukanlah wanita yang lemah lembut, Ansel sudah tidak heran itu.
Melihat itu, Ibu Nimas hanya bisa diam saja dari sofa. Dia tidak tau harus membela siapa?. Dia takut salah bertindak lagi.
"Masih berani mendekat?" ancam Drabia ingin memukul Ansel kembali dengan piring kramik di tangannya, melihat Ansel masih berani maju.
"Ampun!" Ansel mengangkat kedua tangannya ke atas." Ampun istriku."
"Pergi kau!" geram Drabia merapatkan gigi giginya.
Istriku?, baru sadar punya istri?, pikir Drabia.
"Iya aku kan pergi setelah kamu memaafkanku" ucap Ansel masih teguh dengan niatnya.
Tak peduli Drabia akan memukulinya, Ansel tetap mendekati Drabia, dan berusaha menganbil piring berbahan kramik dari tangan istrinya itu.
Dukk! dukk! bukk! bakk!
"Sepertinya kau minta di habisi sekarang" geram Drabia terus memukuli Ansel dengan piring di tangannya.
"Ampun Drabia!, aaaa..! sakit istriku!. Ampun! Mama tolong!, menantumu sangat garang!."
"Mampus kau!" tanpa rasa kasihan, Drabia terus memukuli Ansel." Ini belum seberapa sakit dengan yang kurasakan."
Bukkh!
"Aaaaaaa....!" teriak Chandra memegangi si budimannya dengan kedua tangannya, saat merasakan Drabia menendangnya kuat.
"Ansel" Ibu Nimas mendekati Ansel yang sudah meringkuk dan merintih kesakitan di lantai.
"Mama, anuku sakit banget" ucap Ansel dengan suara tertahan, wajahnya nampak pucat dan berkeringat.
"Rasain!" cetus Drabia tanpa merasa kasihan. Namun air matanya mengalir kembali.
"Aku minta maaf Drabia. Ya Tuhan, ini sakit banget." Bernapas saja Ansel sudah merasa kesusahan sangking merasa sakitnya, Ansel rasanya ingin pingsan saja.
Ibu Nimas panik, segera keluar dari ruang perawatan untuk meminta pertolongan.
"Biar tau rasa seperti apa sakit yang kurasakan. Aku rasa itu belum sebanding. Kamu bukan hanya menyakiti fisikku Ansel, tapi hatiku juga!" teriak Drabia memegangi dadanya yang sesak.
Ansel hanya bisa diam menikmati rasa sakit junior miliknya. Sangat sakit, tapi Ansel menangis bukan karna rasa sakit itu. Melainkan membayangkan rasa sakit yang di rasakan Drabia saat menyatukan tubuh mereka.
"Maaf maaf maaf" lirih Ansel saat dua orang perawat laki laki mengangkatnya ke atas brankar dorong dan membawanya ke ruang IGD.
Drabia kembali menangis, jika saja Ansel tidak menyakitinya.
*Bersambung