NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 25

Malam itu, selepas pertemuan dengan Kyai Zainal, Gus Zizan duduk lama di serambi ndalem. Lampu minyak yang tergantung di tiang kayu berayun pelan tertiup angin. Suasana hening, hanya suara jangkrik dan sesekali gonggongan anjing kampung dari kejauhan yang menemani. Hatinya berkecamuk. Kata-kata ayahandanya terus terngiang: “Tugasmu bukan hanya menjaga dirimu, tapi juga menjaga nama santri itu.”

Nama itu jelas merujuk pada Dilara.

Gus Zizan menunduk, jemarinya mengepal di atas lutut. “Ya Allah, aku tidak tahu bagaimana menjaga dia… sedang menjaga diriku sendiri saja aku sulit.”

Bayangan wajah Dilara saat menunduk di perpustakaan sore tadi terus muncul. Tatapan singkat yang mereka tukar, bahkan hanya sekejap, terasa membekas begitu dalam. Ada rasa getir, ada rasa hangat, ada sesuatu yang justru membuatnya semakin ingin melindungi gadis itu.

Namun bersamaan dengan itu, ia sadar: satu langkah saja yang salah, maka nama Dilara akan hancur.

Keesokan harinya, suasana pondok kembali riuh. Para santri putri sibuk menyapu halaman, menjemur baju, dan menyiapkan kelas. Gosip masih berputar, namun kini lebih halus, dibalut dengan nada bercanda.

“Eh, kalau ada Gus lewat, jangan sampai jatuh embernya, ntar dikira sengaja,” bisik seorang santri, lalu disambut cekikikan kecil.

Dilara yang sedang menyapu berusaha tidak peduli, tapi telinganya tetap menangkap jelas. Wajahnya panas, meski ia terus menunduk.

Wulan, sahabatnya, mendekat sambil membawa sapu. “Lara, cuekin aja. Mereka itu cuma iseng.”

“Iseng yang bisa merusak nama orang, Wul…” suara Dilara lirih, nyaris pecah.

Wulan menggenggam tangan Dilara pelan. “Aku tau kamu kuat. Jangan kasih mereka kesempatan buat lihat kamu jatuh.”

Namun sekuat apapun Dilara mencoba, hatinya tetap goyah. Sejak dipanggil Ustadzah Salma, ia semakin merasa semua mata tertuju padanya. Bahkan saat berjalan di koridor, ia merasa ada bisikan yang mengikutinya.

Sementara itu, Gus Zizan menghadapi tekanan lain. Sebagai putra kyai, ia selalu menjadi sorotan. Setiap langkahnya diperhatikan, setiap kata-katanya didengar. Dan kini, gosip itu membuat banyak pasang mata semakin tajam mengawasinya.

Beberapa santri putra bahkan mulai berani berkomentar.

“Gus, beneran nggih? Katanya njenengan dekat sama santri putri…”

Gus Zizan hanya tersenyum tipis. “Fitnah. Jangan ikut-ikutan nyebar.”

Namun dalam hati, ia tahu bahwa menyangkal saja tidak cukup. Gosip tidak mati hanya dengan kata-kata. Ia butuh bukti—perbuatan yang bisa meyakinkan semua orang.

Hari Jum’at sore, pondok mengadakan pengajian kitab kuning. Semua santri putra duduk berjejer, sementara santri putri di balik tabir. Udara cukup panas, membuat sebagian santri mengipas-ngipaskan peci atau sajadah kecil.

Di tengah suasana itu, Gus Zizan yang mendapat giliran membacakan kitab merasa dadanya sesak. Setiap kali ia melafalkan syarah, pikirannya melayang. Ia merasa, dari balik tabir itu, ada sepasang mata yang sedang menatapnya dengan penuh resah.

Ia tidak berani menoleh. Ia hanya menunduk, membaca dengan suara tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.

Namun setelah pengajian selesai, saat semua santri bubar, ia mendengar lirih beberapa suara.

“Eh, aku yakin banget tadi Dilara nangis pas Gus Zizan ceramah.”

“Masa sih?”

“Aku lihat tangannya sibuk ngusap mata, lho. Pasti baper, tuh.”

Bisikan itu menohok telinga Gus Zizan meski ia pura-pura tak dengar. Langkahnya tercekat sejenak sebelum ia akhirnya berjalan cepat menuju ndalem.

Malamnya, sebuah kejadian kecil membuat gosip semakin liar.

Dilara yang sedang mengambil air wudhu di sumur belakang asrama, tanpa sengaja menjatuhkan gayung. Gayung itu menggelinding cukup jauh, hampir ke jalan kecil yang menghubungkan asrama putri dengan perpustakaan.

Saat ia berjongkok hendak mengambil, tiba-tiba terdengar langkah kaki.

“Ini gayungmu?”

Dilara terperanjat. Sosok di depannya—dengan jubah putih sederhana—adalah Gus Zizan.

Wajah Dilara memanas. Ia buru-buru menunduk. “Iya, Gus… maaf, nggak sengaja.”

Zizan mengulurkan gayung itu, jarinya nyaris menyentuh tangan Dilara. Keduanya sama-sama kaku, lalu cepat-cepat menarik diri.

“Ati-ati, Dilara…” suara Zizan pelan, penuh arti.

Dilara menunduk, suaranya gemetar. “Matur nuwun, Gus…”

Itu saja. Tidak lebih.

Namun dua pasang mata santri putri yang kebetulan lewat melihat kejadian itu. Dan besoknya, cerita sudah melebar:

“Semalem aku lihat sendiri, Gus Zizan ngasih gayung ke Dilara. Romantis banget!”

“Ya ampun, jangan-jangan mereka sering ketemu di belakang asrama?”

Cerita itu meluas, ditambah bumbu, sampai akhirnya terdengar oleh beberapa ustadzah.

Pagi berikutnya, Dilara dipanggil lagi oleh Ustadzah Salma.

“Dilara, kenapa bisa ada yang lihat kamu sama Gus Zizan di belakang asrama?”

Wajah Dilara memucat. Air matanya langsung tumpah. “Demi Allah, Ustadzah, itu tidak disengaja! Gayung saya jatuh, terus Gus yang kebetulan lewat ngambilin. Nggak ada apa-apa, Ustadzah. Demi Allah…”

Ustadzah Salma menatapnya lama. Ada keraguan, ada juga rasa iba. “Lara, saya percaya kamu. Tapi kamu harus ngerti, gosip itu semakin besar. Kamu harus benar-benar jaga sikap. Ingat, kalau gosip ini terus melebar, yang akan kena bukan hanya kamu, tapi juga pondok.”

Dilara mengangguk sambil terisak. Ia keluar dari ruangan dengan langkah gemetar. Di depan pintu, Wulan sudah menunggu, langsung memeluk sahabatnya erat.

 

Di waktu yang sama, Kyai Zainal juga memanggil Gus Zizan.

“Zizan, gosip ini sudah kebablasan. Abi tidak ingin ada nama baik pondok yang tercoreng. Mulai malam ini, kamu jangan terlalu sering ke area belakang pondok. Kalau butuh kitab, suruh santri lain yang ambilkan.”

Gus Zizan menunduk. “Inggih, Abi. Insya Allah.”

Namun hatinya sakit. Ia merasa seperti dijauhkan dari sesuatu yang justru ingin ia lindungi. 

Malam itu, di asrama putri, Dilara tidak bisa tidur. Ia terisak pelan, takut suaranya terdengar teman-teman sekamar. Ia memeluk mushaf kecil di dadanya.

“Ya Allah… aku hanya ingin jadi santri yang baik. Kenapa harus ada rasa ini? Kenapa harus beliau?”

Sementara itu, di ndalem, Gus Zizan duduk bersila. Sujudnya malam itu lebih lama dari biasanya. Air mata menetes membasahi sajadah.

“Ya Allah… lindungi dia dari mulut manusia. Jika aku harus menjauh agar dia aman, aku rela. Tapi jangan biarkan dia hancur karena aku.”

Hari-hari berikutnya, gosip itu semakin melelahkan. Dilara semakin pendiam, lebih banyak mengurung diri di asrama. Wulan khawatir melihatnya.

“Lara, jangan gitu. Kalau kamu terus murung, orang-orang malah makin curiga.”

Dilara menggeleng pelan. “Aku capek, Wul. Capek banget. Rasanya pengen pulang aja…”

Wulan tercenung. Ia tahu temannya itu rapuh, tapi ia juga tahu Dilara punya hati yang kuat.

Suatu sore, pondok mengadakan kerja bakti membersihkan halaman depan menjelang acara haul. Semua santri terlibat. Dilara juga ikut, meski wajahnya pucat.

Saat sedang mengangkat karung daun, tiba-tiba kakinya terantuk batu dan tubuhnya limbung. Hampir saja ia jatuh, kalau saja tidak ada tangan yang cepat menahan.

“Ati-ati, Lara!”

Suara itu familiar. Gus Zizan.

Waktu seolah berhenti sejenak. Tatapan mereka bertemu, hanya sepersekian detik, namun cukup membuat jantung berdegup kencang.

Namun detik berikutnya, suara bisik-bisik mulai terdengar.

“Eh, lihat tuh…”

“Ya Allah, makin jelas aja…”

Dilara buru-buru melepaskan diri, wajahnya merah padam. Ia menunduk, lalu berlari ke arah asrama.

Gus Zizan hanya terdiam, jemarinya mengepal. Ia sadar, apa yang baru saja terjadi akan menjadi bahan gosip baru.

Dan benar saja. Malamnya, hampir seluruh pondok sudah mendengar versi yang dilebih-lebihkan:

“Dilara jatuh terus dipeluk Gus Zizan!”

“Bukan dipeluk, tapi ditangkap romantis gitu…”

Cerita itu menyebar cepat, menjadi api yang makin sulit dipadamkan.

Di ndalem, Kyai Zainal memanggil Zizan dengan wajah yang lebih serius dari biasanya.

“Zizan, Abi harus tegas. Kalau gosip ini tidak berhenti, bisa-bisa orang tua santri akan protes. Abi tidak mau nama pondok hancur.”

Gus Zizan menunduk, air matanya mengalir. “Abi, aku tidak pernah berniat… semua kebetulan…”

Kyai Zainal menghela napas panjang. “Abi percaya. Tapi kadang, yang kita butuhkan bukan hanya niat baik. Kita juga harus berkorban.”

Gus Zizan mengangkat wajah, matanya merah. “Maksud Abi?”

“Abi ingin kamu jaga jarak sepenuhnya dengan santri putri itu. Demi keselamatan nama baik pondok. Bahkan kalau perlu, Abi akan menjodohkan kamu dengan Ning Lidya, anak ustadz Yusuf."

Deg

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!