Ayla Navara, merupakan seorang aktris ternama di Kota Lexus. Kerap kali mengambil peran jahat, membuatnya mendapat julukan "Queen Of Antagonist".
Meski begitu, ia adalah aktris terbersih sepanjang masa. Tidak pernah terlibat kontroversi membuat citranya selalu berada di puncak.
Namun, suatu hari ia harus terlibat skandal dengan salah seorang putra konglomerat Kota Lexus. Sialnya hari ini skandal terungkap, besoknya pria itu ditemukan tewas di apartemen Ayla.
Kakak pria itu, yang bernama Marvelio Prado berjanji akan membalaskan dendam adiknya. Hingga Ayla harus membayar kesalahan yang tidak diperbuatnya dengan nyawanya sendiri.
Namun, nyatanya Ayla tidak mati. Ia tersadar dalam tubuh seorang gadis cantik berumur 18 tahun, gadis yang samar-samar ia ingat sebagai salah satu tokoh antagonis di dalam novel yang pernah ia baca sewaktu bangku kuliah. Namun, nasib gadis itu buruk.
“Karena kau telah memberikanku kesempatan untuk hidup lagi, maka aku akan mengubah takdirmu!” ~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joy Jasmine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 ~ Pria Tak Bertulang
Sementara Edric, walau menghindar namun tetap terluka di lengan, ia berhasil lepas dari serigala namun sang predator tidak mau pergi dan ingin kembali menyerang. Tidak ada cara lain, Edric mengeluarkan sebuah senjata api yang selalu ia bawa kemanapun dan mengarahkannya pada serigala.
DORRR...
Satu tembakan membuat serigala ambruk namun belum mati. Tatapannya melemah, untuk bangkit pun ia tak kuat lagi. Edric memang membidik kaki belakang serigala itu, menurutnya sudah cukup membuatnya lumpuh tidak perlu sampai mati.
Alice segera menghampiri Edric, meski tertegun sejenak ketika mendengar suara tembakan yang menggelegar, ia tidak bisa membuang waktu lagi. Bukan tidak mungkin akan ada serigala lain yang datang menghadang.
"Pak, Bapak tidak papa?" tanya Alice dengan lirih, matanya tampak berkaca-kaca. Melihat kondisi Edric mengingatkannya pada seseorang, orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Namun demi menyelamatkannya, orang itu harus pergi selamanya.
Edric terpanah, gadis yang tadi tampak berani dan tenang kini terlihat resah ketika ia terluka. "Aduhhh..." rengek Edric dengan sengaja, padahal luka di lengannya tidaklah seberapa, hanya saja darah yang terus mengalir membuat lukanya tampak parah.
Melihat Edric yang sangat kesakitan membuat air mata yang sejak tadi Alice tahan seketika mengalir begitu saja. "Hey, kenapa menangis? Jangan menangis!" bujuk Edric dengan lembut sembari mengusap air mata gadis itu.
Alice hanya menggeleng, ia berusaha menguasai diri kemudian mulai memapah sang dosen untuk berdiri. Ia berusaha keras untuk mengangkat tubuh besar itu, sedangkan Edric yang lukanya tidak parah-parah amat malah sengaja seperti tidak bertenaga hanya untuk modus agar dipeluk lebih erat oleh gadis kecil ini.
Ia tatap dalam wajah kecil Alice dari samping, kemudian tersenyum kecil tanpa gadis itu sadari.
'Aldric, karena dari awal kau ingin membuangnya maka tidak akan aku biarkan kau memungutnya kembali,' batinnya di dalam hati. Untuk kali ini ia tidak akan mengalah lagi pada sang adik tiri, ya adik tirinya.
Sejak mamanya meninggal, papa Edric yaitu Bastian Nelson menikah lagi dengan seorang wanita yang kaya raya. Hal ini yang menjadikan Aldric, anak bungsu sebagai pewaris sah. Sementara Edric selalu diabaikan, oleh karenanya ia tidak pernah membuka identitasnya pada siapapun.
Dan ia juga lebih memilih untuk keluar dari mansion keluarga Nelson. Namun walau begitu, Edric sangat menyayangi adik nakalnya itu. Ia selalu mengawasi Aldric, karena itulah ia tahu bahwa Aldric tidak pernah menghargai keberadaan sang tunangan.
.
.
.
Di sisi lain setelah mendengar suara tembakan, Aldric dan teman-temannya segera mencari ke sumber suara. Begitu juga dua pawang hewan yang memimpin di depan untuk berjaga-jaga, mengingat di tengah hutan ini memang terdapat banyak binatang buas.
Alice memapah Edric dengan susah payah. Sembari memapah, matanya juga waspada melirik kesana kemari. Hatinya yang tenang kini mulai terganggu, takut kalau-kalau akan ada serigala yang kembali menghadang.
"ALICE ..." Sebuah teriakan membuat Alice seketika tersenyum.
"HAVEN," teriak Alice menyahut sumber suara.
"Dengar, itu suara Alice," pekik Haven senang.
Mereka pun semakin mempercepat langkah, begitu juga dengan Alice yang seketika mendapat semangatnya kembali.
"Pak, Bapak jangan pingsan ya!" pinta Alice lirih, ia lirik sebentar wajah pria itu. Wajah yang sudah mulai sedikit pucat. Edric mengangguk, ia rebahkan kepalanya di bahu Alice seolah ia tak punya tenaga lagi untuk sekedar menjawab.
"ALICE."
"EDRIC."
"PAK."
Teriak orang-orang yang serasa semakin dekat. Alice pun terus melangkah perlahan, karena membawa sebuah beban besar tidaklah mudah untuknya. Saat akan berteriak ketika melihat Aldric dan teman-temannya dari kejauhan, Alice dikejutkan oleh Edric yang sudah pasang badan di depannya.
Pria itu nampak tidak terluka sedikitpun seperti tadi. Saat Alice mengintip, ia dikejutkan dengan segerombol serigala yang ternyata datang menghadang, mungkin ada sekitar enam ekor.
Entah karena dendam teman mereka atau apa, mereka tampak marah. Serigala adalah salah satu binatang yang dikenal memiliki solidaritas yang tinggi. Bahkan apabila salah satu dari mereka sakit, yang lain akan mencarikan ia makan hingga serigala itu sembuh.
Serigala itu mengelilingi mereka, Alice pun membelakangi Edric. Kedua punggung mereka saling bersandar. Alice dan Edric tidak akan menyerang bila serigala itu tidak membahayakan mereka.
"Hey, itu Alice dan pak Edric!" kata Aldric sembari berlari ke arah mereka. Namun alangkah terkejutnya saat ia menyadari Alice dan Edric sedang dikepung segerombol serigala. Lebih terkejut lagi ketika serigala itu mulai melompat dan menyerang Alice.
Namun tak disangka, gadis itu dengan lihai menghindar dan bahkan sempat mematahkan sebatang kayu untuk memukul serangan serigala. Sebuah gerakan yang sangat cepat dan mempesona, bahkan Aldric dan Edric tidak menyangka Alice bisa bertarung.
Kedua pawang hewan yang melihat itu segera menghadang, mengambil alih perlawanan. Aldric segera menghampiri Alice dan memeluknya erat, "Alice, kau tidak papa?" tanyanya lirih, tampak jelas kekhawatiran di wajahnya.
Alice tergugu, ia hanya bisa mendorong tubuh Aldric namun pelukan pria itu terlalu erat. Sementara Edric yang kini sudah dipapah oleh Nico tidak menampakkan ekspresi apapun, namun di dalam hati ia merasakan hawa panas yang menghinggapi.
.
.
.
Karena kejadian itu, Alice dan Edric dipulangkan duluan. Sebelumnya luka mereka sudah ditangani oleh tim SAR yang telah tiba. Keduanya kini berada di dalam mobil menuju ke kota.
Selama perjalanan Edric bagaikan pria tak bertulang, ia terus merebahkan kepalanya di bahu Alice. Alice pun tak bisa menolak, pria ini telah menyelamatkan nyawanya maka ia harus tahu berbalas budi.
Sedangkan yang lainnya tetap melanjutkan camping hingga waktu yang ditentukan. Meski kesal, namun Aldric harus mematuhi peraturan kampus, begitu juga dengan teman-teman Alice terutama Lucy.
Sebenarnya ia ingin menemani sang nona untuk pulang, ia tidak peduli meski poinnya harus berkurang. Namun Alice melarang, ia baik-baik saja dan Lucy tidak perlu khawatir.
Merasa berhutang nyawa pada Edric, keesokan harinya Alice pun berkunjung ke rumah pria itu untuk menjenguknya.
Sementara di dalam rumah, yakni di ruang kerjanya Edric sedang berunding dengan beberapa orang yang tempo hari mengejar Alice.
"Cari tahu siapa itu!" pinta Edric dengan dingin.
"Baik, Tuan."
Tingtong ... Tingtong ...
Suara bel mengalihkan perhatian Edric, lewat monitor CCTV yang terpasang ia bisa lihat Alice yang sedang berdiri di teras rumahnya. Seketika ia tersenyum, senyuman yang membuat anak buahnya bergidik.
"Kalian keluarlah! Jangan lewat depan, lewat pintu belakang saja!" titahnya sembari melangkah keluar dari ruang kerja. Beberapa orang itu pun segera mengikuti perintah sang tuan. Ketiganya pergi dengan mengendap-endap, lewat pintu belakang agar tidak terlihat oleh tamu istimewa sang tuan.
Edric melangkah cepat menuju pintu, hingga sampai di depan pintu langkahnya terhenti. Ia acak rambutnya hingga berantakan, kemudian mengubah raut wajahnya menjadi lebih sendu, baru ia buka pintu di depannya.
"Alice?"
"Pagi, Pak. Bagaimana keadaan Bapak?"
"Seperti yang kamu lihat," jawab Edric tanpa semangat.
"Bapak belum makan?" tanya Alice ketika melihat sang dosen 5L (lesu, lelah, letih, lemah, lapar).
"Emm, belum."
"Yah, kalau tau begitu saya bawa makanan dari rumah. Ini saya hanya bawa buah-buahan saja."
"Tidak papa."
"Emm, apa boleh saya masuk?"
"Hmm."
Alice pun masuk ke dalam, rumah Edric masih tampak sepi seperti terakhir kali ia berkunjung. "Bapak tidak ada ART ya?" tanya Alice yang dibalas gelengan oleh pria itu.
"Apa Bapak ada bahan makanan?"
"Untuk apa?"
"Saya akan masakin Bapak."
"Memangnya kamu bisa masak?"
"Bapak meremehkan saya?" tanya Alice yang dijawab dengan wajah tidak percaya milik Edric.
Alice pun merasa geram, ia lalu mencari bahan makanan di kulkas namun yang ada hanya berbagai makanan instan. Alice pun memutuskan untuk membuat spaghetti. Tangannya yang lihai dan cekatan dalam menggunakan pisau dan alat dapur membuat Edric yang duduk di meja dapur tercengang.
'Putri keluarga terpandang juga bisa masak selihai ini?' batinnya tidak percaya.
.
.
.
"Gimana? Enakkan, Pak?" tanya Alice ketika melihat Edric makan dengan lahap.
"Hmm, biasa saja."
"Kalau begitu tidak perlu dimakan! Saya akan pesan makanan saja." Alice ingin meraih piring sang dosen namun ditahan oleh pria itu.
"Ini makanan saya, kamu tidak boleh membuangnya!"
"Bilang saja enak," gumam Alice sembari tersenyum kecil. Begitu juga Edric yang tampak salah tingkah.
'Ya Tuhan, apa aku jadi sakit beneran?' batinnya ketika merasakan wajahnya yang memanas.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Tbc.
🌼🌼🌼🌼🌼
tembak tembak tembak
🤣🤣🤣