Dia terjerat dalam sebatas ingatan dimana sebuah rantai membelenggunya, perlakuan manis yang perlahan menjeratnya semakin dalam dan menyiksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nenah adja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hilda
"Aku dosen baru di kampusmu. Kau meminta bimbinganku, lalu kita saling jatuh cinta."
Hanya garis besar yang Mario katakan tentang pertemuan mereka, hingga mereka bisa jatuh cinta dan menikah. Tapi, itu cukup masuk akal untuk Valeri. Meski entah kenapa Valeri belum percaya sepenuhnya. Namun melihat sertifikat pernikahan yang ditunjukkan Mario tentu saja mau tak mau Valeri percaya kalau pria itu memang suaminya.
Lagi pula, untuk apa Mario menipunya dengan sebuah status?
Dia tidak kaya. Selain tubuhnya Valeri tak memiliki apapun. Bahkan untuk wanita, Valeri yakin Mario bisa mendapatkan yang lebih baik darinya. Lalu kenapa pria itu mau menipunya. Dengan kata lain Valeri akan mulai percaya pada Mario.
"Aku tidak melihat foto pernikahan kita?" tanya Valeri saat mereka di lantai satu dan duduk santai di depan televisi setelah makan malam. Tatapannya memindai tembok yang polos tak ada satu foto pun disana.
"Aku tidak suka di foto." Mario masih fokus pada televisi dimana menampilkan berita.
Valeri mengerutkan keningnya. "Kalau begitu kita buat untuk di ponsel saja?" usul Valeri.
Mario diam itu artinya dia tak mau, kan?
Valeri melipat bibirnya, lalu diam- diam membuka kamera di ponselnya, dan mengarahkannya diam- diam padanya dan Mario yang duduk di sebelahnya.
Cekrek.
Satu foto berhasil dia dapatkan, dengan wajah datar Mario.
Saat Mario masih terlihat acuh tak peduli, Valeri kembali mengarahkan kameranya.
"Mario?" panggil Valeri. Dan saat Mario menoleh Valeri menekan tombol potret.
Cekrek.
Valeri tersenyum, namun wajah Mario masih tetap sama.
Valeri mencebik saat hasil fotonya benar-benar tak bisa dia harapkan.
"Hilda, bisakah aku minta tolong?" Valeri menoleh pada Hilda yang seperti biasa berdiri tak jauh dari mereka.
"Saya, Nona?" Hilda berjalan mendekat.
"Tolong fotokan kami," pinta Valeri dengan menyerahkan ponselnya.
Hilda menoleh pada Mario, saat melihat pria itu mengedipkan matanya satu kali Hilda segera mengambil alih ponsel Valeri.
Masih dengan duduk di sofa Valeri merapikan drees putihnya lalu menegakkan tubuhnya.
"Maaf, Nona bisakah anda lebih dekat." Hilda menggerakkan tangannya agar Valeri lebih dekat dengan Mario.
Valeri menggeser tubuhnya mendekat pada Mario lalu kembali menatap pada Hilda.
"Sedikit lagi Nona." Mario menarik sudut bibirnya saat Valeri semakin mendekat.
"Baiklah, sekarang tersenyum." Valeri tersenyum cantik, namun saat menoleh pada Mario yang masih berwajah sama seperti sebelumnya Valeri semakin kesal.
"Bisakah kamu senyum sedikit saja?"
Mario menaikan alisnya, dan menoleh pada Valeri. "Seperti ini." Valeri menarik bibirnya dan tersenyum, dia bahkan mendongak sebab tinggi badannya yang hanya sebatas dada Mario. Saat ini keduanya berhadapan, dengan Mario menunduk menatapnya. Dan Hilda menekan tombol potret.
Cekrek.
Mario meraih pinggang Valeri mendekat bahkan hingga Valeri menahan tubuhnya dengan lutut agar wajahnya setara dengan Mario. "Seperti ini?" tanya Mario, pria itu menyeringai. Valeri nampak tertegun dengan posisi sedekat ini, dan wajah terkejutnya berhasil di abadikan oleh Hilda.
"Sudah Nona." Valeri segera mendorong Mario menjauh, lalu mengambil ponselnya dari Hilda.
"Terimakasih Hilda."
"Ka- kalau begitu aku akan tidur," katanya pada Mario, lalu pergi secepat yang dia bisa.
Mario menggeleng pelan lalu kembali menatap televisi di depannya.
...
Valeri meremas kedua jari tangannya yang gugup. Dia masih menunggu Mario datang memasuki kamar mereka.
"Kamu belum tidur?" tanya Mario saat melihat Valeri masih duduk di tepi ranjang.
"Hm." Valeri semakin gugup.
Mario melepas kemejanya, lalu meriah asal kaos berlengan pendek di lemari. "Tidurlah sudah malam." Mario akan pergi ke arah sofa, namun suara Valeri menghentikannya.
"Kau bisa tidur di ranjang."
Mario mengeryit. "Kau yakin? Kamu lupa apa yang aku katakan kemarin?"
"Itu ... di sofa pasti tidak nyaman. Jadi kita bisa berbagi. Lagi pula ranjangnya sangat luas."
"Kau tidak takut aku melakukan sesuatu?"
"Aku tidak akan melarang. Tapi, untuk sekarang, bisakah kau memberiku waktu? ... hanya sampai aku siap."
Mario mengangguk. "Baiklah." Mario naik ke sisi lain ranjang, dan membaringkan tubuhnya.
Dengan gerakan canggung, Valeri menaiki ranjang dan berbaring di sebelah Mario.
Saat Valeri akan memejamkan matanya, dia teringat keinginannya untuk mengunjungi makam kedua orang tuanya.
"Bolehkah aku meminta izinmu?" tanyanya.
Mario menoleh. "Aku ingin mengunjungi makam orang tuaku?" Valeri melihat rahang Mario mengeras sebelum kembali seperti semula.
"Tentu, kita akan kesana. Aku akan melihat jadwalku."
"Tidak, aku bisa kesana sendiri, jika kau sibuk."
Mario menatap Valeri dengan mata tajamnya. "Kita akan pergi bersama." Mario menyelipkan rambut ke belakang telinganya. "Sekarang tidurlah," ucapnya dengan lembut, lalu memberikan ciuman di bibirnya.
Valeri merasa ada perubahan di wajah Mario saat dia membicarakan orang tuanya. Namun saat Mario kembali berkata lembut, Valeri tak lagi memikirkan.
Valeri mengangguk lalu memejamkan matanya.
Sementara Valeri sudah terlelap, Mario masih menatap Valeri dengan wajah tanpa ekspresinya. Setelah beberapa saat dia berdiam, Mario menurunkan kakinya lalu keluar dari kamar.
Tiba di luar kamar Mario melihat Hilda yang berdiri tak jauh dari pintu, lalu wanita paruh baya itu menunduk hormat. Saat Mario berjalan menjauh dari kamar, Hilda dengan sigap mengikuti.
"Lain kali jangan ceroboh. Pastikan dia tak menemukan apapun yang mencurigakan. Kau tahu dia tidak akan berhenti berpikir jika penasaran. Aku tak mau rencanaku berantakan hanya kerena kebodohanmu."
"Maafkan saya Tuan. Saya tak tahu Nona menemukan kalungnya di pintu belakang."
Mario menolehkan wajahnya pada Hilda, hingga wanita paruh baya itu menunduk semakin dalam.
"Berapa tahun kau bekerja denganku Hilda?"
"Hampir 20 tahun, Tuan. Saat itu usia anda bahkan masih 15 tahun." Mario mengangguk.
"Jadi kau tahu bukan tujuanku merencakan ini?"
Hilda mengangguk. "Saya mengerti, Tuan."
"Jadi jangan membuat kesalahan yang membuat aku tak bisa memaafkanmu, Hilda." Hilda meremas seragam pelayannya, lalu mengangguk.
"Kau bisa istirahat." Mario berbalik hendak pergi, namun saat ini Hilda kembali memanggilnya.
"Maaf, Tuan. Saya harap anda jangan terus menyiksa diri anda."
Mario menatap tajam. "Saya tidak akan meminta anda melepaskannya. Tapi saya harap anda melupakan dendam anda."
Mario terkekeh sinis. "Dengar Hilda, jangan melewati batasanmu ... ."
"Ampuni saya, Tuan. Tapi, sudah saatnya anda melanjutkan hidup anda. Jangan sampai anda menyesal di kemudian hari."
"Penyesalanku adalah membiarkannya hidup lebih lama." Hilda mendongak saat Mario berjalan menjauh, langkah kaki tegap pria itu pergi ke arah ruang kerjanya.
Hilda menghela nafasnya, lalu menoleh ke arah kamar yang menyimpan Valeri di dalamnya.
"Aku harap kau bisa bertahan."