NovelToon NovelToon
Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Bad Boy / Diam-Diam Cinta / Cintapertama / Enemy to Lovers / Cinta Murni
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: his wife jay

Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

perjodohan

Kaizen dan Papa Erlangga saat ini berada di dalam mobil hitam mengilap milik sang ayah. Suasana di dalam mobil terasa hening, terlalu hening, sampai suara mesin dan klakson kendaraan lain di jalan terdengar begitu jelas. Papa Erlangga fokus menyetir, sementara Kaizen duduk kaku di kursi penumpang, tubuhnya bersandar tapi pikirannya tidak benar-benar ada di sana.

Tanpa banyak bicara, sang ayah tiba-tiba memutuskan satu hal sepihak.

“Kita mau ketemu gadis, yang akan dijodohkan sama kamu,” ucap Papa Erlangga datar, seolah itu hanya urusan makan malam biasa.

Kaizen tidak langsung merespons. Rahangnya mengeras, matanya menatap lurus ke depan, memperhatikan lampu merah yang menyala bergantian di persimpangan jalan. Dadanya terasa sesak, ia sudah lelah. Lelah dituntut, lelah diatur, dan lelah tidak pernah benar-benar diberi pilihan.

Tak lama kemudian, mobil itu berhenti tepat di depan sebuah restoran mewah dengan desain modern dan pencahayaan hangat dari balik kaca besar. Papa Erlangga langsung turun tanpa menoleh sedikit pun ke arah Kaizen.

“Turun,” ucapnya singkat.

Kaizen berdecak pelan, lalu ikut turun. Saat melangkah masuk ke dalam restoran, hal pertama yang ia sadari adalah kemewahan tempat itu—lantai marmer mengilap, pelayan berseragam rapi, dan suasana eksklusif.

“Kamu duduklah. Papa mau telepon dulu sahabat papa,” ujar Papa Erlangga sebelum berjalan menjauh, meninggalkan Kaizen sendirian di salah satu meja yang sudah dipesan.

Kaizen duduk dengan wajah datar. Tangannya terlipat di atas meja, sementara pikirannya berputar ke arah yang sama sekali tidak ia inginkan.

Tak lama kemudian, Papa Erlangga kembali. Bersama dengan seorang pria paruh baya dan seorang gadis yang berjalan di sampingnya. Kaizen yang awalnya hanya melirik sekilas, mendadak membulatkan mata.

Nayomi.

Gadis itu duduk tepat di depannya, mengenakan dress sederhana namun elegan, rambutnya terurai rapi. Wajah Nayomi terlihat cantik—bahkan lebih dari biasanya—namun sorot matanya dingin, tanpa senyum.

Nayomi pun sama terkejutnya. Ia sama sekali tidak menyangka akan berhadapan dengan Kaizen di tempat ini. Kepalanya langsung dipenuhi pertanyaan, kebingungan, dan sisa emosi dari kejadian di sekolah tadi. Tanpa sadar, wajahnya mengeras, sikapnya berubah datar, seolah Kaizen hanyalah orang asing.

Kaizen menelan ludah. Dia tahu Nayomi masih marah. Dan dia pantas mendapatkannya.

Apa Yomi yang bakal dijodohin sama gue? batinnya. Di satu sisi, ada rasa tak percaya. Di sisi lain, hatinya justru bergetar pelan. Dia pikir, dia akan dijodohkan dengan gadis asing yang tidak ia kenal—bukan Nayomi. Bukan gadis yang selama ini diam-diam ia cintai.

“Mari kita makan terlebih dahulu sebelum masuk ke pembicaraan yang penting,” ucap Papa Erlangga tenang.

ayah nayomi yaitu ayah Radit hanya tersenyum tipis, sementara Nayomi semakin bingung. Ia sama sekali tidak tahu pembicaraan penting apa yang dimaksud. Ayahnya tidak pernah mengatakan apa pun, hanya memintanya ikut makan malam bersama sahabatnya.

Mereka pun mulai menikmati hidangan. Suasana terasa canggung. Bunyi alat makan yang beradu dengan piring terdengar lebih keras dari seharusnya.

Setelah beberapa saat, Papa Erlangga meletakkan sendoknya.

“Jadi begini,” katanya. “Saya dan ayah kamu, Yomi, berniat menjodohkan kalian.”

“APA?!” Nayomi memekik kaget, refleks berdiri sedikit dari kursinya.

“Nay, pelankan suara kamu. Kamu nggak malu dilihatin orang?” bisik Pak Radit cepat.

Nayomi langsung duduk kembali. “Maaf, Yah,” ucapnya pelan, tapi jantungnya masih berdegup kencang.

Apakah ini permintaan yang ibu maksud? batinnya. Ingatannya langsung melayang pada ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit, pada permintaan lembut yang pernah terucap di sela-sela rasa sakit.

“Apakah kalian setuju?” tanya Pak Radit.

“Saya setuju,” jawab Kaizen cepat, tanpa ragu.

Papa Erlangga terkekeh sinis. Ia tahu betul anaknya itu tidak akan menyangka gadis di hadapannya adalah Nayomi. Gadis yang selama ini diam-diam dicintai Kaizen.

Nayomi menoleh cepat ke arah Kaizen. Matanya penuh keterkejutan dan emosi yang belum sempat ia cerna.

Dia kayaknya mau mainin perasaan gue, Kemarin sok baik, tadi bentak gue di sekolah, sekarang seolah nggak ada apa-apa, batinnya kesal

“Apakah Nayomi berhak menolak?” ucap Nayomi datar, menatap lurus ke depan.

Kaizen menegang.

“Terserah kamu,” sahut Papa Erlangga santai. “Tapi ayah kamu mungkin akan kehilangan beberapa suntikan dana untuk perusahaannya.”

Nayomi membeku. Napasnya tercekat. Ia tahu kondisi perusahaan ayahnya. Ia tahu betapa besar pengaruh bantuan Papa Erlangga. Dan ia tahu—jika ia menolak, yang akan menanggung akibatnya bukan hanya dirinya.

Ia menghirup napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan.

“Demi ayah dan ibu,” ucap Nayomi datar sambil menatap Kaizen, “Nayomi menerima perjodohan ini.”

Pak Radit dan Papa Erlangga tersenyum puas.

Sementara Kaizen, justru semakin panik.

Tatapan Nayomi tidak menunjukkan kebahagiaan. Tidak ada cinta. Hanya kewajiban.

Yomi masih marah… dan gue harus segera menyelesaikan kesalah pahaman ini, batinnya. Apa pun caranya.

★★★

Kaizen menghela napas panjang sebelum akhirnya menegakkan punggungnya. Tatapannya bergantian mengarah pada Papa Erlangga dan Ayah Radit. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya, tapi kali ini dia tahu—kalau dia diam saja, semuanya akan semakin salah.

“Papa… Om,” ucap Kaizen akhirnya. “Boleh nggak Kaizen ngobrol sebentar sama Nayomi? Berdua.”

Nayomi yang sejak tadi duduk dengan wajah datar langsung menoleh cepat. Alisnya berkerut, jelas terlihat ia ingin menolak. Ia sama sekali tidak ingin berada disisi Kaizen setelah kejadian memalukan di sekolah tadi.

Namun sebelum Nayomi sempat membuka mulut, Papa Erlangga sudah lebih dulu bicara.

“Pergilah. jangan melakukan yang tidak tidak,” ucapnya singkat, tapi bernada perintah.

Nayomi menelan ludah. Menolak di depan Papa Erlangga bukan pilihan yang bijak. Ia akhirnya mengangguk kecil, meski hatinya sama sekali tidak siap.

Kaizen berdiri lebih dulu. “Ayo,” katanya pelan.

Mereka berjalan keluar restoran menuju taman kecil di samping bangunan itu. Lampu taman temaram, udara malam terasa dingin, dan suasana jauh lebih sunyi dibandingkan di dalam restoran. Nayomi berhenti beberapa langkah di belakang Kaizen, menjaga jarak.

Kaizen berbalik. “Yomi… gue mau minta maaf.”

Nayomi menatapnya datar. “Tentang apa?”

“Tentang kejadian tadi di sekolah,” jawab Kaizen jujur. “Gue salah. Gue nggak seharusnya ngebentak lo. Apalagi di depan banyak orang.”

Nayomi mengalihkan pandangan. Dadanya terasa sesak saat mengingat kembali bisik-bisik siswa, tatapan kasihan, dan rasa malu yang masih tersisa.

“Waktu itu gue lagi kacau,” lanjut Kaizen. “Gue baru masih kepikiran soal perjodohan. Gue frustasi. Kepala gue rasanya penuh.”

Nayomi terdiam.

“Padahal…” Kaizen mengepalkan tangannya. " gue udah suka sama seseorang.”

Kalimat itu seperti pisau tajam yang langsung menusuk hati Nayomi.

Oh.

Jadi bukan gue, pantesan sifat kaizen kadang berubah-ubah ke gue

Sudut bibir Nayomi terangkat pahit. “Yaudah,” ucapnya dingin. “Kalau gitu makin jelas, kan?”

Ia berbalik hendak pergi. “Gue nggak mau jadi tempat pelampiasan”

nayomi berbalik namun baru satu langkah, tiba-tiba tangannya ditarik dengan kuat.

“Nayomi—”

Dalam sekejap, tubuhnya tertarik ke depan. Nayomi terkejut ketika kepalanya menabrak dada Kaizen. Sebelum sempat memberontak, Kaizen sudah memeluknya erat. Tangannya mengusap pelan kepala Nayomi, gesturnya lembut—bertolak belakang dengan sikap dinginnya di sekolah.

“Dengerin gue dulu,” ucap Kaizen rendah, hampir berbisik. “Orang yang gue suka itu… lo.”

Nayomi membeku.

“Apa…?” suaranya nyaris tak terdengar.

Kaizen mengendurkan pelukan sedikit agar bisa menatap wajah Nayomi. “Gadis yang gue suka dari awal, yang bikin gue kehilangan fokus, yang bikin gue marah sama diri sendiri karena nggak bisa jujur—itu Nayomi.”

Mata Nayomi membesar. Nafasnya tercekat.

“Gue bukan mainin perasaan lo,” lanjut Kaizen. “Gue cuma cowok bodoh yang lagi ditekan dari segala arah. Tapi satu hal yang pasti—perasaan gue ke lo nyata.”

Nayomi masih terdiam, otaknya berusaha mencerna semuanya. Detik-detik berlalu, lalu matanya mulai berkaca-kaca.

“Lo nyebelin,” gumamnya lirih.

Kaizen tersenyum kecil, lega. “Gue tau, dan gue minta maaf karena bikin Lo bingung dengan sifat gue”

Dan untuk pertama kalinya malam itu, Nayomi tidak mendorongnya menjauh.

Setuju gak kalo aku buat novel tentang lanjutan dari perjodohan kaizen sama nayomi?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!