Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17 > Harga Sebuah Kesetiaan
Ruangan itu terasa semakin sempit. Udara pengap. Lampu redup menggantung di langit-langit, memancarkan cahaya kekuningan yang membuat bayangan Serene memanjang di lantai. Ia duduk di kursi besi dingin, kedua tangannya saling menggenggam di atas perutnya yang sedikit menonjol.
Setiap detik terasa seperti siksaan. Di hadapannya, perempuan itu berdiri dengan sikap santai... terlalu santai untuk seseorang yang baru saja mengancam nyawa dua bayi yang belum lahir. “Kau belum menjawab,” ucap perempuan itu akhirnya, suaranya datar namun penuh tekanan. “Apa kau akan pergi… atau memaksaku mengambil langkah ekstrem?”
Serene mengangkat wajahnya. Matanya merah, namun sorotnya tidak sepenuhnya patah.
“Kau bilang kau ingin aku pergi,” ucap Serene pelan. “Ke mana?”
Perempuan itu tersenyum tipis. “Keluar dari hidup Raiden. Itu saja.”
“Itu tidak mungkin,” jawab Serene. “Aku mengandung anaknya.”
“Justru itu masalahnya,” sahut perempuan itu dingin. “Anak-anak itu seharusnya tidak ada.”
Kata-kata itu menghantam seperti tamparan. Serene berdiri dengan susah payah. “Kau kejam.”
Perempuan itu mendekat. “Tidak. Aku realistis.”
“Kau bilang kau seharusnya berada di posisiku,” lanjut Serene dengan suara bergetar. “Apa maksudmu?”
Perempuan itu terdiam sejenak. Lalu, dengan gerakan anggun, ia melepas mantel panjangnya dan meletakkannya di sandaran kursi.
“Aku Aurelia Adrian,” ucapnya tenang. “Perempuan yang dipilih keluarga Raiden sejak awal.”
Nama itu jatuh seperti bom. Serene teringat berita, gosip bisnis, bisikan para direktur. “Tunangan politik,” gumam Serene.
Aurelia tersenyum. “Kau cepat menangkap.”
“Jadi ini semua... ancaman, obat, kebohongan, karena kau cemburu?” tanya Serene getir.
Aurelia tertawa pelan. “Cemburu?” Ia menggeleng.
“Aku marah karena dia dirampas.”
“Raiden bukan milik siapa pun,” balas Serene.
“Dia milik kekuasaan,” jawab Aurelia tajam. “Dan aku adalah bagian dari kekuasaan itu.”
Serene menelan ludah. “Raiden mencintai anak-anak ini.”
“Cinta adalah kelemahan,” balas Aurelia dingin. “Dan kelemahan harus dihilangkan.”
Sementara di jalanan kota yang basah oleh hujan, Raiden memacu mobilnya tanpa peduli batas kecepatan. Lampu-lampu malam melesat menjadi garis cahaya panjang di sisi matanya. Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
UNKNOWN: Kau mencarinya di tempat yang salah.
Raiden mengepalkan tangan. “Lacak nomor ini,” perintahnya lewat headset.
Arlo langsung menjawab dari pusat kontrol. “Sedang kami lakukan.”
Pesan kedua masuk dan tetap dari nomor tak dikenal UNKNOWN: Jika kau ingin Serene selamat, jangan libatkan siapa pun.
Raiden membanting setir tajam di tikungan. “Katakan maumu.”
Beberapa detik berlalu. Pesan ketiga muncul. UNKNOWN: Datang sendiri.
Raiden tertawa pendek dingin, berbahaya. “Kau pikir aku akan mengikuti aturanmu?”
Pesan keempat muncul cepat. UNKNOWN: Maka salah satu bayimu akan membayar harganya.
Raiden menginjak rem keras. Mobil berhenti mendadak di pinggir jalan dan membuat tubuhnya sedikit tersentak. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, tangan Raiden gemetar. Sementara di ruangan itu, Serene merasakan nyeri kecil di perutnya. Ia meringis, refleks mengusapnya.
Aurelia memperhatikan dengan penuh minat. “Tenang saja. Selama kau kooperatif, mereka aman.”
“Kau monster,” bisik Serene.
Aurelia tersenyum dingin. “Dan kau ibu. Kita sama-sama punya naluri bertahan.”
“Apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” tanya Serene lelah.
Aurelia menatapnya lama. “Aku ingin kau menghilang. Tanpa jejak. Tanpa Raiden tahu apakah kau hidup atau mati.”
Serene membelalak. “Kau ingin aku mati?”
“Aku ingin Raiden berpikir begitu,” jawab Aurelia tenang. “Karena hanya dengan kehilangan total, ia akan kembali ke jalur yang seharusnya.”
Serene menggeleng putus asa. “Kau tidak mengenalnya.”
“Aku mengenalnya lebih lama darimu,” balas Aurelia. “Dan aku tahu satu hal... Raiden tidak akan pernah melepaskanmu jika ia tahu kau masih bernapas.”
Serene terdiam.
“Jadi pilihannya sederhana,” lanjut Aurelia. “Pergi dan lenyap… atau aku akan memastikan dunia tahu kau adalah kelemahan fatalnya.”
“Dan anak-anakku?” suara Serene bergetar hebat.
Aurelia tersenyum kecil. “Jika kau pergi… mereka akan lahir. Aku bersumpah.”
Sumpah dari iblis. Mendengar itu, Serene tertawa getir. “Dan aku harus percaya padamu?”
“Tidak,” jawab Aurelia jujur. “Kau hanya perlu memilih mana yang lebih kau cintai.”
Serene memejamkan mata. Wajah Raiden muncul di benaknya. Tatapan dingin yang selalu melembut hanya untuknya. Cara pria itu melindunginya tanpa ragu. Cara ia berkata keluarga. Mengingat hal itu, air matanya jatuh.
“Aku butuh waktu,” ucap Serene pelan.
Aurelia mengangguk. “Waktu adalah kemewahan yang hampir habis.”
Di pusat kontrol, Arlo berdiri tegang. “Tuan,” katanya lewat sambungan, “kami berhasil melacak sinyal terakhir. Tapi itu berpindah-pindah.”
“Berikan lokasinya,” perintah Raiden.
“Gudang tua di kawasan pelabuhan,” jawab Arlo. “Tapi-”
“Tapi apa?”
“Sinyal menghilang,” suara Arlo melemah. “Seolah sengaja diputus.”
Raiden menggeram pelan. “Siapkan tim!”
“Tuan, pesan mereka jelas-”
“Aku tidak peduli,” potong Raiden dingin. “Aku tidak akan menukar hidup istriku dengan kepatuhan.”
Ia menutup sambungan. Raiden menyalakan mesin kembali. Namun ia tidak tahu.. setiap langkah yang ia ambil sedang diawasi. Sedangkan Serene, ia berdiri di depan jendela kecil ruangan itu. Dari celah sempit, ia melihat laut gelap berkilau di kejauhan.
“Kau tahu,” ucapnya pelan tanpa menoleh, “aku bukan perempuan kuat.”
Aurelia mengangkat alis. “Namun?”
“Namun aku akan menjadi apa pun demi anak-anakku,” lanjut Serene. “Bahkan jika itu berarti menjadi pengecut di mata orang lain.”
Aurelia tersenyum puas. “Akhirnya kita sepakat.”
Serene berbalik. Wajahnya basah dengan air mata, tapi matanya jernih. “Aku akan pergi,” katanya. “Tapi aku punya satu syarat.”
Aurelia menyilangkan tangan. “Katakan.”
“Raiden tidak boleh mati karena ini,” ucap Serene tegas. “Jika sesuatu terjadi padanya… aku akan menghancurkanmu dengan caraku sendiri!” untuk pertama kalinya ia mengancam wanita licik itu.
Aurelia tertawa kecil. “Ancaman yang manis.”
Namun ada kilatan singkat di matanya... ketertarikan. “Baik,” jawabnya. “Aku setuju.” Aurelia melangkah mendekat, mengulurkan sebuah ponsel.
“Tulis pesan untuk Raiden,” katanya. “Pesan terakhir.”
Jantung Serene berdegup liar. “Pesan… apa?”
“Pesan yang akan membuatnya berhenti mencarimu,” jawab Aurelia dingin. “Apa pun yang perlu kau tulis.”
Serene menatap ponsel itu seolah itu senjata. Tangannya gemetar saat mengambilnya. Ia membuka layar pesan. Nama Raiden muncul.
Air mata jatuh satu per satu ke layar. Ia mulai mengetik beberapa pesan. Sementara di mobil, ponsel Raiden bergetar. Pesan masuk dari Serene.
Tanpa menunggu lama, Raiden langsung membuka.
Dan dunia terasa berhenti berputar pada saat ia membaca pesan itu. SERENE: Jangan cari aku lagi.
Ini pilihanku. Aku tidak ingin kau atau anak-anak hidup dalam perangmu. Maafkan aku.
Raiden membanting setir. “Tidak,” desisnya. “Tidak… kau tidak akan pergi begitu saja.” Matanya menyala seolah menahan sesuatu yang hampir meledak.
“Arlo,” katanya lewat headset, suaranya rendah dan mematikan, “Aktifkan semua jaringan. Aku ingin tahu siapa pun yang menyentuh Serene... hidup atau mati!”
“Tuan… itu berarti-”
“Perang,” potong Raiden. “Dan aku tidak akan kalah.”
Di ruangan itu, Serene menyerahkan ponsel. Aurelia membaca pesan itu, lalu tersenyum puas. “Bagus. Sangat meyakinkan.”
Serene menutup mata. Dadanya terasa kosong. “Bersiaplah,” lanjut Aurelia. “Besok pagi, kau akan lenyap dari dunia Raiden Varendra.”
Serene mengusap perutnya. “Anak-anakku,” bisiknya. “Ibu melakukan ini untuk kalian.”
Namun jauh di dalam hatinya, ada satu ketakutan yang lebih besar. Bagaimana jika Raiden tidak percaya pada pesan itu? Dan jika ia tetap datang… maka tidak akan ada lagi jalan kembali.
***
To be continued