NovelToon NovelToon
Cinta Untuk Nayla & Nando

Cinta Untuk Nayla & Nando

Status: tamat
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:204
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17: Tembok Tebal Bernama Kasta

​Hujan deras mengguyur Jakarta, seakan turut menangisi nasib Nayla. Taksi yang ditumpanginya berhenti di lobi utama Rumah Sakit Permata.

​Nayla turun dengan langkah gontai. Matanya sembab, rambutnya lepek terkena cipratan air hujan. Ia tidak peduli pada tatapan aneh orang-orang di lobi mewah itu yang melihat penampilannya yang berantakan.

​Tujuannya satu: Kasir.

​"Mbak," suara Nayla parau saat bicara pada petugas administrasi. "Saya mau minta rincian tagihan sementara untuk pasien Ibu Ijah di kamar Presidential Suite."

​Petugas itu mengetik di komputer. "Sebentar ya, Bu. Atas nama Ibu Ijah... Oh, ini tagihannya sudah di-handle langsung oleh manajemen, Bu. Instruksi dari Pak Aditya."

​"Jangan!" potong Nayla tajam, membuat petugas itu terlonjak. "Jangan biarkan dia bayar satu rupiah pun. Cetak tagihannya sekarang. Saya mau lihat berapa hutang saya."

​"Tapi Bu..."

​"Cetak!" bentak Nayla histeris.

​Petugas itu buru-buru mencetak struk panjang. Nayla menyambar kertas itu. Matanya menelusuri angka di baris paling bawah.

​Total Sementara: Rp 48.500.000,-

​Nayla merasa lututnya lemas. Hampir lima puluh juta untuk perawatan satu malam. Angka yang baginya butuh waktu bertahun-tahun untuk dikumpulkan. Gaji 8 juta yang baru ia banggakan kemarin terasa seperti remah-remah roti sekarang.

​Vina benar. Ia hanyalah upik abu yang tersesat di istana raja. Fasilitas mewah ini, dokter hebat ini, semua bukan haknya.

​Nayla meremas kertas tagihan itu hingga kusut. Ia berbalik, berniat naik ke kamar neneknya dan memaksa pulang—atau setidaknya pindah ke RSUD sekarang juga.

​Namun, langkahnya terhenti.

​Di pintu lobi otomatis yang terbuka, Adit berlari masuk. Ia basah kuyup. Jas mahalnya entah ada di mana, kemeja putihnya menempel di tubuhnya yang basah, rambutnya acak-acakan. Napasnya memburu.

​Mata mereka bertemu.

​"Nayla!" seru Adit, berlari menghampirinya.

​Nayla mundur. Ia mengangkat tangannya, telapak tangan terbuka mengarah ke Adit. "Berhenti di situ! Jangan mendekat!"

​Suara Nayla yang keras membuat lobi rumah sakit hening seketika. Pengunjung dan staf menoleh.

​Adit berhenti tiga langkah di depan Nayla. Dadanya naik turun. "Nay, dengerin penjelasan saya dulu. Tolong..."

​"Penjelasan apa lagi?" Nayla tertawa hambar, air mata kembali mengalir. "Penjelasan kalau kamu itu CEO? Pemilik gedung ini? Bahwa selama ini kamu ketawa dalem hati liat aku nawarin nasi goreng bekal dan es krim seribuan?"

​"Demi Allah, Nay, nggak pernah sekalipun saya ngetawain kamu," suara Adit bergetar, penuh kepedihan. "Saya justru kagum sama kamu. Saya..."

​"Bohong!" potong Nayla. "Kamu bohong soal nama kamu, kerjaan kamu, jam tangan kamu, bahkan soal 'maling mangga' sama Pak Darmawan! Semuanya bohong! Terus bagian mana yang harus aku percaya, Mas? Atau harus kupanggil Pak Aditya?"

​"Panggil saya Adit, Nay. Saya tetep Adit yang gendong Nando di Ragunan. Identitas saya nggak mengubah perasaan saya."

​"Mengubah!" teriak Nayla. "Itu mengubah segalanya! Kamu bikin aku kelihatan kayak pengemis yang dikasihani! Kamu bikin aku kayak badut yang nggak tau kalau lagi main sama pemilik sirkus!"

​Nayla melempar remasan kertas tagihan itu ke dada Adit. Kertas itu memantul pelan dan jatuh ke lantai marmer yang dingin.

​"Aku mau bawa Nenek pulang sekarang. Aku nggak sanggup bayar 48 juta. Aku bakal cicil hutang semalam ini seumur hidup aku kalau perlu, asal aku nggak berurusan lagi sama kamu."

​Nayla berbalik badan, berjalan cepat menuju lift.

​Adit mengejarnya, mencengkram lengan Nayla. "Jangan gila, Nay! Kondisi Nenek belum stabil! Kalau kamu bawa dia keluar dari ICU sekarang, kamu membahayakan nyawanya!"

​Nayla menghentakkan tangannya, melepaskan cengkraman Adit. "Itu urusanku! Bukan urusan orang asing kayak kamu!"

​"Nayla!" Adit membentak, bukan karena marah, tapi karena takut. "Oke! Benci saya! Caci maki saya sepuas kamu! Anggap saya bajingan penipu! Tapi tolong... jangan korbankan Nenek cuma karena ego kamu yang terluka!"

​Langkah Nayla terhenti. Tubuhnya gemetar hebat. Isak tangisnya semakin keras. Ia tahu Adit benar. Membawa Nenek Ijah pergi sekarang sama saja membunuhnya. Tapi menerima bantuan Adit lagi rasanya seperti mengiris harga dirinya sendiri.

​Adit berjalan perlahan mendekati punggung Nayla. Ia ingin memeluk wanita itu, tapi ia tahu ia tak lagi punya hak.

​"Biarin Nenek di sini sampai sembuh total," suara Adit melembut, memohon. "Saya nggak akan muncul di depan kamu. Saya nggak akan jenguk. Saya nggak akan ganggu kamu di kantor. Anggap aja ini fasilitas kantor buat karyawan. Kamu karyawan saya, kan? Kamu berhak dapet ini."

​Nayla berbalik perlahan. Matanya merah, menatap Adit dengan tatapan yang membuat hati Adit hancur. Tatapan penuh kekecewaan.

​"Mulai detik ini," ucap Nayla lirih namun tajam, "Saya bukan karyawan Bapak lagi. Saya mengundurkan diri."

​Adit terhenyak. "Nay..."

​"Biarkan Nenek di sini sampai besok pagi. Setelah kondisinya aman untuk dipindah, saya akan pindahkan ke RSUD pakai BPJS. Dan untuk biaya malam ini..." Nayla menelan ludah, menahan perih. "Tolong catat sebagai hutang pribadi saya ke Bapak. Saya akan bayar cicil setiap bulan. Saya akan tanda tangan surat perjanjian di atas materai."

​"Nggak perlu, Nay. Saya ikhlas..."

​"Saya nggak butuh keikhlasan Bapak!" sela Nayla tegas. "Saya butuh harga diri saya kembali. Siapkan surat hutangnya besok. Kalau Bapak nggak mau, saya nekat bawa Nenek pulang sekarang."

​Adit menatap wanita keras kepala di hadapannya. Ia kalah. Nayla telah membangun tembok raksasa di antara mereka—tembok yang terbuat dari perbedaan kasta dan kebohongan yang ia ciptakan sendiri.

​"Baik," Adit mengangguk lemah. "Nenek tetap di sini sampai besok. Saya akan siapkan suratnya."

​"Terima kasih, Pak Aditya."

​Panggilan formal itu terdengar lebih menyakitkan daripada makian.

​Nayla berbalik dan masuk ke dalam lift yang terbuka. Sebelum pintu tertutup, ia sempat melihat Adit berdiri sendirian di tengah lobi, basah kuyup dan tampak sangat kesepian di tengah kerajaannya sendiri.

​Pintu lift tertutup.

​Nayla merosot di dinding lift, menutup wajahnya dengan kedua tangan, dan menangis sejadi-jadinya. Hatinya hancur bukan karena Adit kaya, tapi karena ia sadar, ia telah jatuh cinta pada pria yang tidak pernah benar-benar ada. Mas Adit si Staf Pengawas yang sederhana itu... hanyalah ilusi.

​Malam harinya.

​Adit duduk di ruang kerjanya di penthouse apartemen. Botol minuman keras tergeletak di meja, tapi ia tidak menyentuhnya. Ia hanya menatap layar laptop yang menampilkan surat pengunduran diri Nayla yang dikirim via email satu jam lalu.

​Kepada Yth, HRD Rahardian Group.

Perihal: Pengunduran Diri.

​Singkat, padat, profesional. Tidak ada drama dalam surat itu. Nayla benar-benar ingin pergi.

​Adit mengambil ponselnya. Ada satu hal yang belum ia selesaikan.

​Ia menelepon Pak Hadi, Kepala HRD.

​"Halo, Pak Hadi. Malam-malam mengganggu."

​"Tidak apa-apa, Pak Adit. Ada instruksi?"

​"Besok pagi, panggil Vina dari Divisi Logistik ke ruangan Bapak," suara Adit dingin, sedingin es kutub.

​"Baik, Pak. Ada masalah apa?"

​"Proses pemecatan dia. Immediate termination (Pemberhentian segera)."

​"Pe-pecat, Pak? Alasannya? Kita butuh alasan kuat kalau tidak mau kena sengketa ketenagakerjaan."

​"Pelanggaran kode etik berat. Membocorkan data pribadi rekan kerja, pencemaran nama baik, dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak kondusif (toxic environment). Saya punya saksi dan bukti CCTV saat dia mengintimidasi Nayla di ruang meeting. Dan cek juga riwayat kerjanya, saya yakin ada kecurangan lain yang bisa Bapak temukan untuk memperkuat alasan itu."

​"Baik, Pak. Saya mengerti. Besok pagi suratnya siap."

​Adit mematikan telepon.

​Memecat Vina tidak akan mengembalikan Nayla. Tidak akan menghapus air mata Nayla di lobi tadi. Tapi setidaknya, Adit memastikan tidak ada lagi ular berbisa yang berkeliaran di kantornya.

​Adit kemudian membuka laci mejanya. Mengambil kotak cincin beludru kecil yang baru ia beli kemarin sore—sebelum semuanya kacau. Cincin sederhana, bukan berlian besar, cincin yang ia rencanakan untuk melamar Nayla sebagai "Mas Adit" suatu hari nanti.

​Ia menutup kotak itu keras-keras dan melemparnya ke tong sampah.

​"Bodoh," rutuknya.

​Keesokan harinya.

​Nayla menepati janjinya. Dengan bantuan ambulans biasa (bukan VIP), ia memindahkan Nenek Ijah ke RSUD setelah dokter menyatakan kondisinya stabil. Nenek Ijah bingung kenapa harus pindah dari "hotel" itu, tapi Nayla beralasan asuransi kantor ada kesalahan teknis.

​Sebelum pergi dari RS Permata, Nayla mampir ke meja administrasi. Di sana, sekretaris pribadi Adit sudah menunggu dengan sebuah amplop.

​"Bu Nayla, ini surat perjanjian hutang yang Ibu minta. Pak Adit sudah tanda tangan. Ibu tinggal tanda tangan di sini," ujar sekretaris itu sopan namun canggung.

​Nayla membaca surat itu.

Pihak Kedua (Nayla) berhutang sebesar Rp 48.500.000 kepada Pihak Pertama (Aditya). Dicicil sebesar Rp 500.000 per bulan tanpa bunga sampai lunas.

​Tanpa bunga. Dan cicilan sangat ringan. Itu artinya butuh 8 tahun untuk lunas. Ini adalah cara Adit membantunya tanpa melukai harga dirinya terlalu dalam.

​Nayla ingin protes, tapi ia lelah. Ia menandatangani surat itu dengan cepat.

​"Sampaikan pada Bos kamu," ujar Nayla seraya menyerahkan kembali surat itu, "Hutang ini akan saya bayar. Dan jangan pernah cari saya atau keluarga saya lagi."

​Nayla berjalan keluar rumah sakit, mendorong kursi roda Nenek Ijah, menyongsong matahari Jakarta yang terik. Ia kembali menjadi pengangguran. Ia punya hutang puluhan juta. Hatinya patah.

​Tapi saat melihat langit biru, Nayla menghapus sisa air matanya.

​"Kita bisa lewatin ini, Nek. Kita bisa," bisiknya.

​Dan di lantai 15 Rahardian Tower, Vina sedang menangis histeris sambil membereskan barang-barangnya, dikawal oleh dua sekuriti, sementara rekan-rekan kerjanya menatap dengan pandangan puas tapi takut. Karma dibayar tunai, meski Nayla tidak ada di sana untuk melihatnya.

...****************...

Bersambung....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!