Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perpisahan Senyap dan Jarak yang Dingin
Tangisan Bi Siti akhirnya berhasil meredakan isakan bisu Anita. Dengan sisa-sisa tenaga yang entah datang dari mana, Anita bangkit. Ia tidak bicara, hanya menggeleng lemah ketika Bi Siti menawarkan air minum. Ia tidak butuh air, ia butuh melihat.
Anita berjalan perlahan, dipapah oleh Bi Siti, menuju ruangan di mana jenazah kedua orang tuanya disemayamkan sementara, sebelum dikafani dan disiapkan untuk perjalanan terakhir.
Di sana, di ruangan yang sunyi dan berbau obat, terbaring dua sosok yang selama ini menjadi alasan kuat Anita untuk terus bertahan: Bapak dan Ibunya.
Wajah mereka tertutup kain. Dengan tangan gemetar, Anita menyingkirkan kain yang menutupi wajah Ibunya terlebih dahulu. Wajah Ibunya tampak damai, seolah hanya tertidur. Tidak ada kerutan kesakitan. Itu adalah wajah yang selalu tersenyum, yang selalu menjadi pelabuhan aman baginya.
Air mata Anita kembali mengalir deras. Ia membungkuk, mencium kening Ibunya. Ciuman terakhir. Ia berbisik, suara tersumbat oleh kawat dan air mata. [Maaf, Bu. Aku tidak bisa menyelamatkanmu. Aku tidak becus.]
Kemudian, ia beralih ke Bapaknya. Wajah Bapaknya juga tenang. Tangan Bapaknya yang dulu keras dan selalu memegang cangkul, kini dingin dan lemas.
Anita memeluk kedua jenazah itu, membiarkan tubuhnya yang baru saja dioperasi ambruk di atas dada dingin kedua orang tuanya. Kehilangan ini terlalu besar. Ia sudah kehilangan empat nyawa: Kevin, janinnya, Ibu, dan Bapak. Ia tidak punya apa-apa lagi.
Proses pengafanan dimulai. Anita berdiri di samping, diam, menyaksikan setiap lipatan kain putih yang membungkus kehidupannya yang dulu hangat. Ia tidak menangis histeris lagi; ia telah melewati batas duka. Yang ada hanyalah mati rasa yang mendalam.
Setelah semua persiapan selesai, jenazah Bapak dan Ibunya dipindahkan ke dalam ambulans yang akan membawa mereka kembali ke rumah duka, di kampung mereka sendiri.
Anita berjalan keluar rumah sakit, tubuhnya bergerak seperti robot yang kehabisan baterai. Ia mencari Aidan.
Aidan berdiri di kejauhan, di dekat mobilnya. Ia tidak berada di dekat pintu keluar kamar jenazah. Ia menjauh, menjaga jarak dari aroma kematian, dan yang terpenting, menjaga jarak dari Anita yang berduka.
Aidan mengangkat tangan, memberi isyarat agar Anita cepat mendekat. Wajahnya kembali dingin dan datar, seolah insiden keruntuhan tadi tidak pernah terjadi.
"Kamu sudah selesai?" tanya Aidan begitu Anita mendekat. Nadanya tidak sabar, seolah mereka hanya terlambat dari janji makan malam.
"Ambulans sudah siap berangkat," bisik Anita, suaranya parau.
"Bagus," kata Aidan, tanpa emosi. "Aku akan mengikuti ambulans itu. Aku tidak mau berada di dalam keramaian rumah duka terlalu lama. Urusan administrasinya, kamu yang urus. Aku sudah mentransfer uangnya, kamu bayar semuanya dari rekeningmu. Biaya bensin dan tol kita, kamu yang ganti."
Aidan memberikan perintah dengan kejam, menekankan bahwa pengorbanan waktunya harus dibayar dengan uang Anita. Ia tidak hanya menolak menjadi suami yang suportif, tetapi juga menjadikannya transaksi yang merugikan Anita.
Anita tidak membantah, dia masuk kembali ke dalam rumah sakit dan menyelesaikan pembiayaan uang untuk administrasi Bapak dan juga Ibu nya. selesai administrasi Ia masuk ke mobil Aidan.
Perjalanan menuju rumah duka dimulai. Ambulans melaju di depan mereka, membawa dua peti mati yang berisi cinta terakhir Anita.
Di dalam mobil, Anita menatap punggung ambulans itu. Ia tidak lagi merapal doa; ia hanya merasakan kekosongan yang membakar.
Aidan menyalakan radio dengan volume rendah, seolah ingin menghilangkan keheningan yang mematikan itu. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk menenangkan atau bertanya tentang rencana pemakaman. Ia sibuk dengan ponselnya, mungkin sudah kembali bekerja atau sibuk mengatur urusan pribadinya.
Anita memegang erat kalung di lehernya, mencengkeramnya kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia menyadari: ia kini sepenuhnya sendirian. Hanya ada ia, kawat di rahangnya, perut yang baru dioperasi, utang 60 juta rupiah, dan Aidan yang duduk di sampingnya, musuh yang kini menjadi satu-satunya 'tempat tinggal'nya.
[Aku akan bertahan. Aku harus bertahan. Untuk membayar utang ini dan mungkin saja aku juga harus mempersiapkan kematianku sendiri, karena saat ini aku sudah tidak mempunyai siapapun di dunia ini.]
Tekad baru, yang lahir dari keputusasaan yang ekstrem, mulai muncul. Ia mungkin sudah kehilangan segalanya, tetapi ia tidak boleh kehilangan kendali atas toko kuenya—satu-satunya alat yang tersisa untuk membebaskan dirinya dari rantai utang dan Aidan.