Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Aira langsung membalikkan badan. “Ya udah kalau aku gak boleh pakai baju begini, aku gak bakal keluar rumah lagi, Ma. Males banget! Ternyata ada juga orang julit tak tahu diri di kampung ini!”
Nada suaranya tinggi, wajahnya memerah... kesal yang menumpuk sejak pagi akhirnya meledak.
Bu Maryam mendekat pelan. “Aira… kamu sudah dewasa. Dan memang, kamu seharusnya sudah menutup auratmu. Jadikan teguran tadi itu perantara teguran dari Allah. Karena kamu memang salah.”
Aira langsung mengerutkan kening, membalas cepat, “Tapi dia juga pacaran, Ma! Dia ngatain aku tapi dia sendiri nggak bener.”
“Kamu sudah mengingatkan dia,” jawab Bu Maryam lembut tapi tegas. “Selepas itu… kita nggak usah ikut campur lagi. Bukan urusan kita memperbaiki hidup orang.”
Aira memukul angin, frustasi. “Aku kesal, Mama! Kesal banget!”
Bu Maryam mengusap pundak Aira. “Mama tahu. Tapi kamu sudah dewasa, Ra. Harus bisa lebih bijak. Tidak semua orang bisa menerima gaya bicaramu.”
Aira mengembuskan napas kencang, wajahnya melunak sedikit tapi tetap sebal. “Bijak itu susah, Ma…”
“Tapi bukan berarti kamu nggak belajar.”
Aira terdiam. Kalimat itu menancap pelan di dadanya.
Bu Maryam lalu menambahkan dengan lembut, “Mama tahu kamu punya hati yang baik, cuma… kamu harus belajar menyesuaikan diri. Bukan untuk mereka… tapi untuk kebaikanmu sendiri.”
Aira menatap ke bawah lama, lalu bergumam lirih. “Aku coba… tapi jangan suruh aku langsung berubah total, Mama.”
Bu Maryam mengangguk. “Pelan-pelan. Seperti yang Ustadz Fathur bilang.”
Nama itu membuat Aira memalingkan wajah cepat. “Mama bawa-bawa dia sih!”
Bu Maryam tertawa kecil. “Lho… padahal dia yang paling sabar di tadi pagi.”
Aira mendengus dan langsung masuk ke dalam rumah, menutup pintu tanpa membanting... setidaknya ia menahan diri.
***
Sore harinya.
Sore ini angin kampung bertiup pelan, suara ayam sesekali terdengar dari belakang rumah.
Aira sedang duduk di ruang tengah, kaki selonjoran, cemilan kripik pedas di pangkuannya. Baru saja ia mau mengambil satu lagi, Bu Maryam muncul dari dapur sambil membawa sendok kayu penuh kuah semur.
“Tolong Ra, semur mama kurang kecap. Beliin ya.”
Aira mendongak dengan wajah malas luar biasa.
“Ma… aku kan malas keluar…”
Bu Maryam mengangkat alis, menatap Aira dengan tatapan mama-mama Indonesia siap menyerang.
“Kalau mama yang keluar, mama titip semur mama.”
Sekejap Aira langsung bangun duduk tegak.
“Eh... enggak-enggak! Jangan, Ma!” Ia langsung menahan tangan Bu Maryam yang masih pegang sendok semur. Aira paling tidak tahan dengan asap tungku.
“Lagian,” lanjut Aira sambil cemberut, “rumah ini punya dapur luas, kompor bagus, kenapa malah masaknya di tungku, Ma? Asapnya bikin mata aku perih banget.”
Bu Maryam tersenyum sambil kembali ke dapur.
“Mama lebih enak begini, Ra. Rasanya beda. Kamu nggak ngerti.”
Aira menghela napas panjang, lalu berdiri sambil meraih uang dari tangan Bu Maryam. “Hmmm… ya udah deh Ma. Tapi aku mau jajan.”
“Kayak anak kecil aja,” celetuk Bu Maryam.
Aira langsung nyengir lebar sambil mengambil tas kecilnya. “Lagian aku di sini bosen banget kalau nggak ada kerjaan. Ya makan, Ma. Itu hiburan aku.”
Bu Maryam hanya geleng-geleng, tapi matanya tersenyum. “Ya sudah, jangan lama-lama. Habis itu cuci tangan, bantu mama di dapur.”
“Maaa…” Aira memekik kecil, tapi tetap melangkah keluar sambil merengut lucu.
***
Warung sederhana itu ramai menjelang sore. Wangi gorengan baru matang menyambut siapa pun yang datang. Aira melangkah mendekat sambil memegangi uang lipatannya.
Begitu matanya menyapu dalam warung...
Duar!
Di sana, berdiri dengan gamis koko dan peci, Ustadz Fathur sedang mengambil teh kotak dan gula pasir.
Aira spontan mundur setengah langkah. "Astagfirullah… kenapa setiap gue keluar selalu bertemu dia, sih…"
Mbok Minah, pemilik warung, langsung menyapa, “Eh, Neng Aira… cari apa?”
“A… anu, Bu. Kecap.”
Aira melangkah masuk, tapi matanya terpaku pada satu loyang kecil berisi kue kembang goyang yang keliatannya baru digoreng. Kering, renyah, manis—surga.
Dan sialnya…
Pada saat yang sama, tangan Ustadz Fathur juga bergerak ke loyang yang sama.
Klek.
Jari mereka berdua menyentuh kue yang sama.
Aira: “Eeeeh, itu punya saya!”
Ustadz Fathur: “Maaf, saya duluan yang lihat.”
Aira mendelik. “Saya duluan yang mau ambil!”
“Tidak begitu caranya. Saya sudah pegang duluan.”
“Ya saya juga pegang, Tadz!”
Mbok Minah sampai mematung melihat dua manusia rebutan kue seperti anak kecil.
Aira menatap penuh tekad. “Saya dari tadi mau kue ini.”
“Dan saya sedang mau menjamu tamu di pondok,” balas Ustadz Fathur tenang, tapi tangannya nggak lepas juga.
Aira narik dikit.
Ustadz Fathur narik balik.
Loyangnya sampai goyang-goyang.
Pada akhirnya, Mbok Minah memutuskan ikut intervensi.
“Ya Allah… udah cocok pisan, Tadz.”
Mereka berdua berhenti narik.
“Daripada rebutan kue doang, mending nikah aja. Lebih seru.”
Glek!
Aira langsung menelan ludah besar-besar.
Tangan refleks melepaskan kue itu secepat kilat.
Sementara Ustadz Fathur berkedip-kedip cepat, wajahnya kaku.
Keduanya sadar… mereka masih memegang ujung kue yang sama.
Aira buru-buru menunduk, mengambil kecap dengan gerakan super cepat.
“S-sudah, Mbok… saya cuma mau kecap. Nggak mau kue.” Suaranya meninggi panik.
Ustadz Fathur langsung pura-pura sibuk memeriksa gula pasir. “Ehem. Saya… bayar yang ini saja.”
Mbok Minah nyengir jahil, “Padahal tadi rebutan banget…”
“Tadinya mau,” gumam Aira.
“Tadinya butuh,” sahut Ustadz Fathur.
Mereka bertatapan sepersekian detik...
Langsung sama-sama buang muka.
Aira bayar kecapnya dengan wajah super memerah, lalu keluar cepat-cepat.
Di belakangnya, Mbok Minah nyeletuk, “Besok-besok kalau mau kue tinggal bilang, Neng. Tapi kalau mau sama Ustadz Fathur… tinggal datang ke rumahnya yaaa~”
“Mbok!” Aira hampir tersandung sandal.
Ustadz Fathur sampai batuk-batuk malu.
Aira berjalan cepat menyusuri jalan tanah yang sudah mulai lembap karena embusan angin sore. Tapi yang paling lembap itu… wajahnya sendiri. Panas. Merah. Malu banget!
Setibanya di teras rumah, Bu Maryam yang sedang memberi makan ayam langsung melirik. “Loh, Aira? Kok mukanya merah banget?”
Aira buru-buru menutup pipinya dengan kedua tangan. “Nggak… panas, Ma.”
“Panas dari mana? Tadi kamu nggak lari juga kan?”
Aira segera masuk rumah sambil nyengir menahan malu. “Aku tuh tipe orang yang… kalo beli kecap tuh… langsung panas, Ma.”
Bu Maryam mengangkat alis. “Nggak masuk akal.”
Aira meletakkan kecap di meja. Ia hendak kabur ke kamarnya, tapi Bu Maryam sudah menghadang sambil menyipitkan mata penuh kecurigaan.
“Ra…”
“Hah?”
“Kamu habis bertemu siapa?”
“HAH?” Aira mendelik dramatis. “Mama nuduh aku apa sih!”
“Ya jelas kamu aneh. Muka merah, langkah cepat, nafas ngos-ngosan. Persis kayak orang habis… dikejar rasa.”
Aira ternganga. “Ma, plis… Mama tuh nonton sinetron kebanyakan.”
Bu Maryam menyandar ke kusen, nada suaranya datar tapi menusuk. “Kamu bertemu Ustadz Fathur lagi ya?”
Aira langsung keselek ludah sendiri. “Uhuk... ngg—ngapain Mama bawa-bawa beliau!”
“Hmmm…” Bu Maryam semakin yakin. “Lalu kenapa muka kamu bisa merah begitu?”
Aira memejamkan mata, memelintir ujung bajunya, lalu… “…aku rebutan kue.”
Bu Maryam terdiam lima detik. “…sama siapa?”
Aira mendengus, menunduk makin dalam. “Ya siapa lagi Ma… sama Ustadz Fathur…”
Bu Maryam menepuk jidat kencang-kencang.
“YA ALLAH, AIRA! Kamu tuh rebutan kue sama Ustadz Fathur?!”
“Heee… itu refleks, Ma! Aku lagi mau ambil, eh dia juga ambil! Terus… Mbok Minah bilang yang aneh-aneh…”
“Aneh-aneh bagaimana?”
Aira menutup wajahnya memakai kedua tangan, suaranya seperti bisikan angin sepoi. “Dibilang cocok… terus disuruh nikah…”
Bu Maryam langsung menahan tawa.
“Kamu pasti malu banget ya?”
“Malu banget, Ma!” Aira mengaduh sambil menggelundung ke sofa seperti ikan paus terdampar.
Bu Maryam akhirnya tertawa sampai air matanya keluar.
“Ya Allah, Ra… Ra… Mama cuma takut satu.”
“Apa lagi Ma…”
“Kue yang kamu rebutin itu… kamu makan nggak?”
“MAAA! Ini masalahnya bukan di kuenya!”
Bu Maryam tertawa semakin kencang.
***
Sementara di tempat lain.
Sore ini, langit mulai keemasan. Ustadz Fathur baru saja meletakkan kantong belanjaan dari warung di meja ruang tamunya. Ia hendak mengambil peci dan bersiap menuju pondok untuk mengisi kajian ba’da Magrib.
Namun baru beberapa langkah keluar, terdengar suara seseorang memanggil keras dari depan pagar.
“Tadz! Assalamu’alaikum!”
Ustadz Fathur menoleh.
Pak RW berdiri dengan wajah tegang, tangan disilangkan di dada.
“Wa’alaikumussalam, Pak RW. Silakan masuk.”
Pak RW melangkah masuk, wajahnya serius.
“Maaf ganggu, Tadz. Ada yang mau saya bicarakan sebelum bertambah besar.”
“Silakan, Pak.”
Pak RW menarik napas panjang lalu berbicara tanpa basa-basi.
“Tadi saya mendengar ada warga baru di RT sini. Anak perempuan yang katanya tinggal di rumah Pak Hadi, pakaiannya tidak sesuai dengan peraturan kampung ini.”
Ustadz Fathur tetap berdiri tenang, tapi bahunya sedikit mengendur. “Ah, maksud Bapak… Aira?”
“Iya, itu namanya.” Pak RW mengangguk cepat. “Tadz, peraturan tetap peraturan. Wanita baligh wajib menutup aurat. Ini kampung berdekatan dengan pesantren. Jangan sampai datang fitnah.”
Bersambung