NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 Tamu Tak Diundang

Langit sore mulai berganti jingga pucat ketika Bulan dan Dara akhirnya kembali ke rumah. Langkah mereka ringan dan saling menggenggam, masih membawa sisa tawa dari kebun bunga kecil di belakang rumah. Tapi begitu memasuki teras, mereka mendapati suasana yang sedikit berubah— salah satu ART, Mbak Lastri, berjalan tergesa dari arah pintu depan dengan wajah cemas.

“Pak… Bu… ada tamu,” ujarnya pelan, menatap Mama Sinta dan Papa Bagas bergantian.

“Tamu?” ulang Papa Bagas, keningnya berkerut. “Siapa?”

“Katanya, namanya Pak Joko, Pak.”

Sekilas, keheningan menggantung di udara. Mama Sinta menatap suaminya dengan ekspresi yang langsung berubah dingin. Senyum hangat yang tadi masih tersisa kini menghilang seketika.

“Joko?” gumamnya pelan, nada suaranya berubah datar. Ya, ia tahu nama itu — terlalu tahu malah, bahkan. Pria yang dulu pernah akrab dengan keluarga mereka, tapi kini hanya meninggalkan jejak tak menyenangkan karena hutang yang tak pernah lunas.

“Biar aku yang temui,” kata Papa Bagas akhirnya, berdiri pelan.

Mama Sinta ikut berdiri, wajahnya tetap tenang tapi sorot matanya tajam. Mereka melangkah ke ruang tamu dengan langkah penuh wibawa, sementara Bhumi, Bulan, Liora, dan Dara saling berpandangan di ruang keluarga yang hanya dipisahkan dinding kayu berukir.

Dara mencondongkan tubuh pelan ke arah Bhumi.

“Kita… dengerin aja kali, ya?” bisiknya dengan nada hampir seperti anak kecil yang siap menonton drama. Bhumi tak menanggapi — hanya duduk lebih tegak, rahangnya mulai mengeras.

Dari ruang tamu terdengar suara lembut tapi tegas milik Papa Bagas.

“Jadi, Mas Joko, ke sini ada perlu apa?”

Nada sopan itu mengandung ketegasan khasnya — suara seseorang yang sudah terbiasa memimpin banyak orang, tapi tetap menghormati hubungan lama.

Di hadapannya, Pak Joko duduk bersama istrinya, Bu Mutia, dan seorang gadis muda berwajah manis yang tampak gugup — Endis. Mereka membawa senyum yang aneh: antara sungkan dan menyembunyikan maksud lain.

“Jadi begini, Mas Bagas,” mulai Pak Joko hati-hati, tangannya menggenggam topi di pangkuannya.

“Saya kan masih punya hutang sama sampean. Nah, sesuai perjanjian, hutang itu jatuh tempo minggu depan. Tapi… sepertinya saya belum bisa melunasi, soalnya usaha saya lagi turun.”

Papa Bagas menyandarkan punggung, matanya tajam tapi tetap tenang.

“Lalu maksudnya Mas Joko gimana? Mau minta penambahan waktu?”

Pak Joko saling pandang dengan istrinya, lalu menggeleng pelan.

“Bukan begitu, Mas Bagas. Saya sepertinya memang tidak bisa lagi bayar cicilan. Usaha saya sudah mulai bangkrut. Jadi… saya datang ke sini dengan niat baik.”

Ia menelan ludah, lalu berkata dengan nada yang seolah logis — padahal penuh keberanian konyol.

“Saya berniat menjodohkan putri saya, Endis, dengan putra sampean — Nak Bhumi.”

Suasana ruang tamu langsung menegang. Mama Sinta yang duduk di sisi kiri suaminya menegang, jemarinya mengepal di atas pangkuan. Suaranya tertahan di tenggorokan — antara tak percaya dan marah.

Di ruang sebelah, Bhumi dan Dara langsung membeku.

“Wait, apa barusan dia bilang?” bisik Dara, ternganga.

Dara menutup mulutnya dengan tangan, sementara Bulan menatap Bhumi diam-diam, matanya refleks mencari reaksi dari pria itu. Bhumi tak bergerak — tapi garis rahangnya makin tegas, pandangannya gelap.

“Begini, Jeng Sinta,” lanjut Bu Mutia dengan suara tinggi yang dibuat manis tapi menusuk.

“Kita ini kan sudah kenal lama. Lagipula, Endis juga… suka sama Bhumi. Jadi mending kita besanan saja, toh sama-sama keluarga baik.”

Mama Sinta menoleh perlahan. Senyumnya hilang. Sorot matanya tajam bagai kaca.

“Memangnya menurut Mbakyu, anak saya mau dijodoh jodohkan kayak gini?” katanya datar — tapi dinginnya bisa memecah udara.

Bu Mutia tersenyum kaku, jelas tersinggung tapi masih berusaha bertahan.

“Ya kan, kalau dijalani dulu bisa cocok, Jeng. Lagipula… kalau bisa disatukan dengan cara yang baik, kenapa tidak? Endis cantik dan lulusan Sarjana, jadi cocok dengan nak Bhumi”

“Dengan cara menukar hutang?” suara Mama Sinta kini sedikit meninggi, tapi tetap elegan — bukan teriak, hanya tegas dan menusuk.

“Mas Joko, Mbak Mutia, saya kira kita sudah cukup lama saling kenal untuk tahu bahwa keluarga kami tidak memperjualbelikan anak.”

Dari ruang sebelah, Liora hampir bersorak kecil.

“Wah, gila… classy banget bu Sinta,” bisiknya pada Dara.

Tapi Bhumi sudah tidak bisa diam lagi.

Ia berdiri, langkahnya mantap. Satu tatapan saja dari Bulan cukup untuk tahu — ia tahu Bhumi akan masuk. Pria itu menatap lurus ke depan, membuka pintu geser yang memisahkan ruang keluarga dan ruang tamu.

“Ma.” Suaranya tenang, tapi berat.

Semua kepala menoleh ke arahnya.

Bhumi berdiri tegak di ambang pintu, auranya berubah total — bukan lagi anak sulung keluarga Jayendra yang santai, tapi pria dengan ketegasan dingin yang bisa membuat ruangan sunyi dalam sekejap. Ia berjalan mendekat, lalu berhenti di hadapan Pak Joko dan keluarganya.

“Pak Joko,” katanya pelan tapi tegas. “Saya menghormati Bapak sebagai teman lama keluarga kami. Tapi saya bukan barang yang digunakan untuk tukar-menukar hutang. Dan kalau Bapak ingin membicarakan soal bisnis atau pembayaran, silakan dengan Ayah saya di pabrik bukan kesini.”

Endis menunduk, wajahnya pucat. Bu Mutia tampak gelisah, tapi masih mencoba bicara, “Nak Bhumi, kamu belum kenal anak saya. Kalau saja—”

“—tidak perlu, Bu.” Bhumi memotong dengan sopan tapi dingin. “Saya rasa pembicaraan ini sudah cukup.”

Keheningan turun seperti tirai berat. Mama Sinta menghela napas panjang, sementara Papa Bagas menatap putranya dengan bangga tersirat di matanya.

Dari ruang sebelah, Liora bersandar ke dinding dengan napas panjang.

“Ya Tuhan, ini kayak nonton drama tapi versi high-class banget,” gumamnya.

Bulan hanya diam. Tapi matanya tak lepas dari Bhumi — dari cara pria itu berdiri, dari nada suaranya yang tenang tapi melindungi. Untuk pertama kalinya… hatinya bergetar bukan karena kagum, tapi karena merasa aman.

Ternyat sore merambat cepat. Langit Lawang mulai memudar menjadi biru keabu-abuan ketika Liora menatap arloji di pergelangan tangannya. “Eh, ternyata udah sore juga, Bul,” ucapnya pelan, menatap ke arah teras. “Kita balik ke resort aja yuk, sebelum gelap.”

Bulan mengangguk. “Iya, kayaknya udah waktunya pamit.”

Dara yang mendengar itu langsung bangkit. “Aku anter ke depan aja, Kak.”

Ketiganya berjalan menyusuri lorong menuju ruang tamu, niatnya hanya berpamitan — tapi langkah mereka melambat begitu melihat Bhumi berdiri di depan sana, masih dengan wajah tenang tapi dingin.

“Biar saya yang antar,” ucap Bhumi datar, suaranya tenang tapi dalam.

Liora sempat melirik Bulan — tatapan oh wow, gentleman mode on yang hanya dijawab Bulan dengan lirikan kecil dan napas pendek.

“Kalau begitu… kami pamit dulu ya, Bu, Pak,” ucap Bulan sopan sambil menunduk.

Mama Sinta tersenyum, senyum yang tulus dan penuh arti.

“Terima kasih sudah datang, Bulan, Liora. Kalian berdua selalu diterima kapan pun ke sini. Anggap rumah ini rumah kalian juga.”

Papa Bagas mengangguk, nada suaranya hangat tapi berwibawa. “Hati-hati di jalan, ya.”

Liora tersenyum lembut. “Terima kasih, Pak, Bu.”

Dara berlari kecil mengantar mereka sampai ke mobil, lalu melambai dari pintu. Tapi begitu mobil Bhumi meluncur pelan keluar gerbang, kehangatan itu menguap begitu saja.

Begitu pintu rumah tertutup, suasana mendadak menegang kembali. Mama Sinta yang masih berdiri di ruang tamu menatap tajam ke arah Bu Mutia — tatapannya dingin, suaranya pelan tapi tegas seperti bilah kaca.

“Sudah jelas kan apa yang anak saya bilang tadi?” ucapnya datar.

“Bhumi tidak mau dijodohkan sama anak Mbakyu.”

Bu Mutia tersenyum miring, berusaha tetap tenang.

“Jeng Sinta… jangan gitu dong. Anak-anak itu bisa diajak bicara. Lagian Bhumi itu kan laki-laki mapan, tampan, ya wajar kalau Endis suka. Tinggal dijodohin, kan enak, kita bisa jadi keluarga.”

Papa Bagas hanya duduk diam, tapi wajahnya sudah mengeras. Mama Sinta melipat tangannya di dada, nadanya semakin dingin.

“Saya bukan tidak mau diajak bicara, Mbak Mutia. Tapi kalau pembicaraannya menyangkut menukar hutang dengan anak, itu bukan pembicaraan — itu penghinaan namanya.”

Bu Mutia masih berusaha tertawa kecil. “Ah, Jeng, jangan baper. Namanya juga usaha cari solusi bersama—”

“Solusi?” potong Mama Sinta, senyumnya tipis tapi matanya berkilat tajam.

“Kalau mau bicara solusi, lunasi hutangnya. Jangan malah menjual anak.”

Hening sejenak. Endis menunduk dalam, wajahnya pucat pasi.

Dara, yang baru kembali dari mengantar tamu, tiba-tiba ikut muncul di ambang pintu ruang tamu. Matanya tajam, nada suaranya lantang.

“Memangnya anaknya Bude sepadan dan setara sama Kakak saya?”

Semua kepala langsung menoleh.

“Dara…” suara Papa Bagas pelan, tapi Dara tidak berhenti.

“Saya jadi ingat, lusa kemarin saya lihat sendiri anaknya Bude jalan sama Mas Barsa — anaknya juragan Karsa — di kebun karet Pakde Irul. Terus kalian masuk ke gubuk kecil itu. Ngapain kalian di dalam? Lagi praktek biologi?” suaranya sarkastik, setiap katanya menusuk seperti duri.

“Dara!” kali ini Papa Bagas sedikit lebih keras, tapi terlambat.

Bu Mutia sudah tersentak, wajahnya memucat. “Jangan fitnah ya, Dek!” suaranya meninggi, mencoba bertahan dengan gengsi yang tersisa.

Endis menggigit bibir, keringat mulai menetes di pelipis. Tangannya mengepal di pangkuan, matanya menunduk dalam.

Dara menyeringai kecil. “Fitnah? Oke deh, biar bukti yang ngomong.”

Ia mengeluarkan ponselnya dari saku sweater, lalu menekan layar dengan cepat.

“Halo, Sita?” ucapnya, suaranya keras dan jernih.

Dari seberang terdengar balasan riang, “Ya, Ra! Kenapa?”

“Ta, kamu inget gak lusa kemarin, waktu kita pulang dari rumah Retno terus lewat kebun karet Pakde Irul?”

“Ih, inget banget! Yang kita liat Mas Barsa gandengan sama Mbak Endis, terus mereka masuk ke gubuknya Pakde Irul!” jawab Sita tanpa ragu.

Ruangan hening, hanya suara telepon yang bergema.

“Itu beneran Mbak Endis ya, Ta?” tanya Dara lagi, nadanya tenang tapi jelas ingin menekan.

“Iya lah! Wong bukan cuma aku sama kamu yang liat. Ada Dimas, Leni, Awan, sama Rusman juga. Kita berenam liat semua!”

“Dan katanya Dimas sempet mendekat ke gubuk itu, terus denger suara-suara aneh, kan?”

“Yap! Makanya kita langsung kabur!”

“Oke, makasih ya, Ta.”

Dara menutup telepon dengan satu gerakan halus, lalu menatap Bu Mutia lurus, tanpa senyum.

“Nah, denger sendiri, kan? Yang liat bukan cuma saya. Ada lima saksi lain juga.”

Bu Mutia tampak benar-benar pucat sekarang, matanya bergerak liar mencari pembelaan yang tak ada. Endis hanya bisa menunduk semakin dalam, air matanya menetes diam-diam. Pak Joko tampak tak berdaya, wajahnya abu-abu oleh malu dan penyesalan.

Dara melangkah selangkah maju, suaranya turun tapi penuh sindiran dingin.

“Jadi masih mau bilang anak Bude pantas dijodohin sama Kakak saya? Merasa udah setara?”

Ia tersenyum miring, tatapannya menukik tajam.

“Kalau mau jadi calon buat Kak Bhumi, paling gak ya yang CEO kayak Mbak Liora, atau wakil CEO kayak Mbak Bulan.”

Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada sarkastik yang halus tapi kejam,

“Bukan… bekasan orang.”

“DARA!” suara Papa Bagas kini terdengar tegas dan penuh peringatan.

Dara menegakkan tubuhnya, tapi masih sempat berucap lirih, “Ya udah, yang penting sekarang semua tau.”

Lalu ia berbalik dan melangkah keluar ruangan, meninggalkan keheningan berat di belakangnya.

Keheningan turun seperti tirai tebal. Mama Sinta akhirnya bersuara lagi, suaranya datar, dingin, tapi jelas. “Gak nyangka ya Mbakyu, anak yang kamu sanjung cantik ternyata kelakuannya malah koyo ngono”.

Ucapan Mama Sinta sontak membuat Bu Mutia merasa malu dan tidak mampu mengangkat kepala. Sedangkan Pak Joko juga demikian, ia baru mengetahui kalukan anaknya ternyata sudah seliar itu.

“Sekarang Mbakyu udah tau kan jawaban dari kami? Saya harap mulai sekarang, jangan pernah Mas Joko, Mbak Mutia, atau anaknya datang ke rumah ini lagi.”

Tanpa menunggu balasan, Mama Sinta berbalik pergi, langkahnya mantap dan anggun — membawa serta wibawa yang bahkan tak bisa ditandingi oleh amarah siapa pun.

Papa Bagas menarik napas panjang, menatap dua tamunya yang kini tampak remuk.

“Mas Joko,” ucapnya pelan tapi tegas, “saya harap Mas tetap bayar hutang sesuai perjanjian. Tidak ada yang namanya perjodohan. Saya menolak dengan keras ide itu.”

Ia berdiri perlahan, suaranya kembali datar.

“Saya sarankan Mas pulang. Pembicaraan kita cukup sampai di sini.”

Bu Mutia menunduk dalam-dalam, wajahnya putih pasi. Endis hanya bisa menatap lantai — dan untuk pertama kalinya, menyesali pilihan yang ia buat sendiri. Tanpa sepatah kata, keluarga Joko pun akhirnya keluar, diiringi langkah pelan Mbak Lastri menutup pintu berat itu dengan suara klik lembut — tapi mematikan.

Di dalam, hanya tersisa keheningan panjang dan napas tertahan dari Papa Bagas. Di luar, angin sore berhembus dingin — seolah membawa pergi sisa-sisa harga diri yang baru saja hancur.

**

Langit Lawang berubah lembayung. Matahari tenggelam pelan di balik bukit teh, meninggalkan cahaya jingga yang memantul di kaca mobil hitam yang meluncur keluar dari gerbang rumah keluarga Jayendra. Di dalam mobil, suasana awalnya senyap — hanya suara mesin dan alunan musik instrumental lembut dari speaker.

Liora duduk di kursi belakang, sengaja menatap ke luar jendela. Sementara di depan, Bulan duduk di kursi penumpang sebelah Bhumi. Di antara mereka hanya ada jarak beberapa jengkal, tapi hawa di kabin terasa… berbeda. Tidak canggung — lebih seperti hening yang penuh halusnya gelombang tak terucap.

Bhumi menatap jalan, lalu melirik sekilas ke arah Bulan.

“Kalian besok balik ke Surabaya?” tanyanya, suaranya pelan tapi terdengar jelas di tengah senja.

Bulan menoleh, sedikit terkejut tapi tetap tenang. “Iya, besok sore. Kami rencana balik naik kereta dari stasiun Malang.”

Bhumi mengangguk pelan, menatap ke depan lagi. “Kebetulan, aku juga balik ke Surabaya besok. Kalau kalian gak keberatan, kita balik bareng aja.”

Liora di kursi belakang langsung menegakkan punggungnya, hampir memekik tapi menahannya dengan gigitan bibir. ‘Wow… kesempatan banget nih, Pak Bhumi.’ pikirnya dalam hati, nyaris tersenyum sendiri.

Bulan sempat diam beberapa detik. “Balik bareng?”

“Ya,” jawab Bhumi datar tapi nadanya lembut. “Aku urus tiketnya. Kalian tinggal datang ke stasiun Malang. Gak perlu repot.”

Bulan menatapnya sebentar — cukup lama untuk menangkap ketulusan di balik nada datarnya.

Senyum kecil muncul di bibirnya. “Baiklah. Kalau begitu… terima kasih.”

Liora mencondongkan tubuh ke depan dari kursi belakang, pura-pura polos padahal hatinya udah jingkrak.

“Wah, kebetulan banget! Hemat tenaga, hemat waktu, hemat biaya—hemat semuanya ya, Bul,” godanya ringan.

Bulan hanya menatapnya dari kaca spion dengan tatapan “tolong diem”, tapi Liora justru tertawa pelan. Suasana kembali hangat, ringan — sampai Bulan akhirnya membuka suara lagi, suaranya lembut tapi membawa sedikit ketegangan.

“Tadi…” katanya pelan, menatap jendela. “Waktu kami mau pamit, suasana di rumah kamu sempat berubah, ya?”

Bhumi diam sesaat. Tatapannya tetap lurus ke jalan, tapi rahangnya menegang halus.

“Sedikit,” jawabnya akhirnya. “Teman lamanya Papa yang datang.”

“Masalah bisnis?” tanya Bulan, nadanya berhati-hati.

Bhumi menarik napas pendek.

“Awalnya, iya. Tapi berubah jadi sesuatu yang lebih… pribadi, tadi kamu sempet dengar juga, kan?.”

Suaranya turun satu oktaf, lebih berat. “Orang yang datang bukan untuk menepati janji, tapi untuk menukar tanggung jawab dengan kehormatan.”

Bulan menatapnya dari samping — profil wajah Bhumi tampak tegas diterpa cahaya senja. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuat Bulan merasakan… bukan kasihan, tapi empati yang dalam.

“Dan kamu gak suka hal seperti itu,” katanya lembut, bukan bertanya.

Bhumi tersenyum kecil, tanpa menoleh. “Aku benci itu.”

Senyum yang muncul di ujung bibirnya tipis, tapi ada kejujuran di sana.

“Orang yang berpikir harga diri bisa diganti sama kenyamanan.”

Bulan hanya diam, menatap jalan yang memantulkan cahaya jingga. Di dadanya ada sesuatu yang aneh — perasaan hangat, tapi juga sedikit nyeri.

“Berarti… kamu sebisa mungkin ngelindungin orang-orang yang kamu anggap penting, ya,” katanya pelan, hampir seperti gumaman.

Bhumi menoleh sekilas ke arahnya. Pandangannya tenang, tapi dalam.

“Mungkin. Atau cuma… aku gak bisa diam waktu ada yang nyentuh sesuatu yang gak seharusnya disentuh.” Matanya menatap lurus ke depan lagi. “Termasuk kamu, kalau nanti ada yang berani ganggu.”

Ucapan itu sederhana. Tapi cara Bhumi mengatakannya — datar, tanpa janji berlebihan — justru membuat jantung Bulan berdegup lebih keras dari seharusnya. Ia tak menjawab, hanya menatap kaca depan yang memantulkan bayangan senja. Tapi ujung bibirnya… sedikit terangkat.

Mobil berhenti perlahan di depan lobby Arjuno Resort and Glamping. Lampu-lampu taman mulai menyala, menyoroti air mancur kecil di tengah halaman. Liora membuka pintu belakang, tapi sempat menatap lewat kaca spion dan tersenyum geli — chemistry di kursi depan itu terlalu jelas untuk dilewatkan.

“Terima kasih ya, Pak Bhumi,” katanya dengan nada sengaja manis, menahan tawa. “Sampai ketemu besok di stasiun.”

Bhumi menatapnya sekilas dari spion tengah. “Jangan panggil ‘Pak’ terus, Li.”

Liora langsung nyengir. “Baik, Mas Bhumi,” katanya menekankan nada dengan jahil lalu melirik Bulan.

Bulan membuka pintu pelan, lalu menoleh padanya.

“Terima kasih sudah nganter, Mas – Bhumi” katanya lembut.

Bhumi menatapnya lama — ada rasa hangat ketika Bulan menyebut kata Mas untuk dirinya, seolah waktu sedikit berhenti di antara tatapan itu.

“Ya. Hati-hati, Bulan.”

Satu kalimat sederhana. Tapi cara ia mengucapkannya membuat udara di antara mereka berubah — ada kehangatan yang menempel lama, bahkan setelah Bulan dan Liora melangkah masuk ke lobby resort.

Mobil Bhumi belum langsung pergi. Ia masih diam di tempat, menatap bayangan Bulan yang mulai menjauh. Tangannya mengetuk setir pelan, tapi senyum kecil muncul di sudut bibirnya.

Dan di dalam resort, Liora langsung berbisik dengan wajah penuh kemenangan.

“Bulan…”

“Hm?”

“Gue gak tau kenapa, tapi yang gue liat kalau Bhumi bukan cuma sekedar suka sama lo — gue yakin dia udah jatuh cinta sama lo.”

Bulan hanya menatapnya sekilas sambil menghela napas. “Terserah lo, Li.”

Tapi pipinya, samar-samar… berwarna sedikit merah.

**

tbc

1
Bia_
kasian si Arsen 🤣
Bia_
ow udah masuk konflik nih 🤭
KaosKaki
wk wk wk
Bia_
/Facepalm/🤣
Bia_
alurnya emang agak slow tapi Lumayan bagus, alur pdkt nya kaya di Real Life lambat tapi kena.
Bia_
suka banget pas adegan serangan hacker
Lacataya_: makasih yaaa, di bab bab selanjutnya juga ada serangan serangan manis kok 🤭
total 1 replies
Edna
Mantap!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
Khabib Firman Syah Roni
Jlebbbbb!
Lacataya_: mohon ditunggu bab selanjutnya ya, makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!