Long Zhu, Kaisar Dewa Semesta, adalah entitas absolut yang duduk di puncak segala eksistensi. Setelah miliaran tahun mengawasi kosmos yang tunduk padanya, ia terjangkit kebosanan abadi. Jenuh dengan kesempurnaan dan keheningan takhtanya, ia mengambil keputusan impulsif: turun ke Alam Fana untuk mencari "hiburan".
Dengan menyamar sebagai pengelana tua pemalas bernama Zhu Lao, Long Zhu menikmati sensasi duniawi—rasa pedas, kehangatan teh murah, dan kegigihan manusia yang rapuh. Perjalanannya mempertemukannya dengan lima individu unik: Li Xian yang berhati teguh, Mu Qing yang mendambakan kebebasan, Tao Lin si jenius pedang pemabuk, Shen Hu si raksasa berhati lembut, dan Yue Lian yang menyimpan darah naga misterius.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Ransel Ubi dan Perahu Daun Willow
"Leluhur! Saya akan menahan mereka!" Tao Lin melangkah maju, wajahnya pucat pasi karena rasa bersalah. Dia menghunus pedang tuanya, yang kini bergetar dengan Niat Pedang Ranah Raja yang putus asa. "Kalian berempat pergilah! Ini adalah kegagalan saya!"
"Berhenti bersikap dramatis," kata Zhu Lao, bahkan tanpa menoleh padanya. "Kau hanya akan mengotori lumpur."
Di seberang sungai, titik-titik hitam itu semakin besar dengan kecepatan yang menakutkan. Yang memimpin adalah seorang pria paruh baya dengan jubah biru tua, wajahnya sedingin es Tetua Han, seorang ahli Ranah Raja yang asli. Di belakangnya, Fan Jian dan murid-murid lainnya terbang dengan wajah penuh dendam.
"MU QING!" Suara Tetua Han menggelegar melintasi sungai, diperkuat oleh Qi spiritual. "PENGKHIANAT! Berhenti dan terima hukumanmu! Menyerah sekarang dan kami mungkin akan membiarkan teman-teman barumu yang bodoh itu hidup!"
Li Xian gemetar. Aura Ranah Raja itu saja sudah cukup untuk membuatnya sulit bernapas. Mu Qing, sebaliknya, menghunus belati kecil dari balik jubahnya. Dia pucat, tapi matanya menyala. Dia lebih baik mati di sini daripada kembali.
"Mereka cepat sekali!" seru Li Xian. "Kita harus menyeberangi sungai!"
"Sungai itu terlalu lebar," kata Mu Qing, suaranya tegang. "Arusnya deras. Kita tidak akan berhasil setengah jalan sebelum mereka tiba."
Tetua Han, yang kini hanya berjarak beberapa ratus meter, melihat mereka terjebak. Dia mendengus dingin. Dia tidak akan memberi mereka kesempatan. Saat masih di udara, dia mengangkat tangannya.
"Mati!"
Udara di sekitar mereka membeku. Uap air di atas sungai berkumpul di depan Tetua Han, membentuk sebuah tombak es raksasa sepanjang dua puluh kaki. Tombak itu berputar, memancarkan aura pemusnahan, dan melesat lurus ke arah kelompok itu, mengincar Zhu Lao yang tampak paling tenang.
Serangan itu begitu cepat hingga Tao Lin bahkan tidak bisa mengangkat pedangnya untuk memblokir.
Zhu Lao menghela napas. "Shen Hu."
"Ya, Zhu Lao?"
"Kau menghalangi."
"Oh. Maaf." Shen Hu, yang sedang berdiri di depan Zhu Lao, sedikit bingung dengan perintah itu. Dia melihat benda runcing besar yang terbang ke arah mereka. Dia tidak tahu apa itu, tapi itu mengarah ke Zhu Lao, dan itu tidak tampak ramah.
Dia melakukan satu-satunya hal yang masuk akal baginya.
Dia melepas tas besar dari punggungnya—tas yang penuh dengan ubi bakar dan beberapa ubi mentah.
"Hah!"
Dengan geraman sederhana, dia mengayunkan ransel itu sekuat tenaga, seolah sedang memukul lalat yang mengganggu.
KRAAAAAAK!
Tombak es Ranah Raja sebuah serangan yang bisa menghancurkan gerbang Kota Fenglei bertabrakan dengan ransel berisi ubi.
Untuk sesaat, dunia hening.
Lalu, tombak es itu meledak menjadi jutaan kepingan es yang tidak berbahaya, menghujani mereka seperti salju.
Ransel Shen Hu bahkan tidak sobek. Dia tampak sedikit bingung mengapa serangan itu begitu rapuh. "Benda itu pecah," katanya, lalu menyampirkan ranselnya kembali ke bahu.
Di udara, Tetua Han berhenti total. Rahangnya jatuh. "Apa...?" Fan Jian, di belakangnya, menelan ludah. "Tetua... tombak Anda... dihancurkan... oleh... ubi?"
Di tepi sungai, Zhu Lao mengabaikan keajaiban kecil itu. Dia sudah berjalan ke tepi air. Dia melihat ke pohon willow tua yang tumbuh miring di atas lumpur.
"Aku benci basah," gumamnya.
Dia mengulurkan tangannya yang sempurna dan memetik sehelai daun willow hijau yang panjang. Daun itu biasa saja.
Dia melemparkannya ke permukaan air yang berlumpur.
Tao Lin, Mu Qing, dan Li Xian memperhatikan, tidak mengerti. Mereka akan mati, dan pemimpin mereka sedang bermain dengan daun?
Begitu daun itu menyentuh air, keajaiban terjadi.
Daun itu tidak tenggelam. Daun itu mulai tumbuh. Dengan kecepatan yang terlihat oleh mata, daun itu membesar dari seukuran telapak tangan menjadi seukuran perisai, lalu seukuran gerobak, dan dalam tiga detik, sebuah perahu ramping sepanjang tiga puluh kaki, terbuat dari giok hijau bercahaya, mengambang dengan anggun di depan mereka. Perahu itu memancarkan aura kehidupan yang hangat yang mendorong lumpur dan air kotor menjauh darinya.
"Baiklah, ayo. Naik," kata Zhu Lao, melangkah ke atas perahu daun itu seolah-olah dia sedang menaiki kereta kerajaan. Perahu itu tidak bergoyang sedikit pun.
Mata Tao Lin berputar ke belakang. Dia hampir pingsan karena keterkejutan. Menciptakan kehidupan dari ketiadaan! Mengubah daun menjadi artefak spiritual! Ini... ini adalah Dao Penciptaan!
"Naik!" bentak Zhu Lao, tidak sabar.
Ketiga murid itu dan Tao Lin berebut naik ke perahu daun yang aneh itu.
Di seberang sungai, Tetua Han dan kelompoknya mendarat dengan keras di tepi lumpur yang ditinggalkan kelompok Zhu Lao. Wajah Tetua Han merah padam karena marah dan sedikit ngeri.
"JANGAN HARAP KAU BISA LARI!" raungnya. "HANCURKAN PERAHU ITU!"
Dia dan keenam muridnya melepaskan serangan terkuat mereka. Bilah-bilah es, pedang angin, dan segel-segel es melesat melintasi sungai, mengarah untuk menghancurkan perahu giok itu.
Zhu Lao berdiri di buritan perahu. Dia berbalik menghadap serangan yang datang.
Dia tidak mengangkat tangan. Dia tidak menggunakan teknik.
Dia menguap.
Itu adalah uapan yang dalam dan penuh kebosanan. Hembusan napas dari mulutnya yang sempurna napas yang membawa jejak samar Energi Asal Mula Semesta menyapu permukaan air.
Serangan-serangan itu, yang berjarak puluhan meter dari perahu, tiba-tiba berhenti. Bilah-bilah es meleleh. Pedang angin menguap. Segel-segel es larut menjadi ketiadaan. Uap panas mengepul dari tempat mereka lenyap.
Seluruh kelompok pengejar membeku di tempat, pedang mereka terangkat sia-sia.
Zhu Lao menatap Tetua Han yang ketakutan. "Kalian," katanya, suaranya yang merdu terdengar jelas melintasi air, "harus membuat kembang api lebih sering. Sangat menghibur."
Dia menepuk sisi perahu daun. "Ayo pergi."
Perahu daun itu tidak berlayar.
Itu melenyap.
Dalam sekejap mata, perahu itu melesat melintasi sungai yang lebar, meninggalkan jejak riak hijau giok. Kecepatannya melampaui imajinasi, lebih cepat dari pedang terbang mana pun, lebih cepat dari pikiran.
ZUUUUSSSSH!
Perahu itu menabrak hutan lebat di seberang, tetapi alih-alih hancur, pepohonan menyingkir untuknya, membungkuk seolah-olah menyambut raja mereka.
Perahu itu menghilang ke dalam hutan.
Tetua Han ditinggalkan di tepi sungai, gemetar.
"Tetua...?" tanya Fan Jian, suaranya bergetar.
"Makhluk apa..." bisik Tetua Han, menatap ke seberang sungai. "...makhluk apa yang bisa menghancurkan serangan Ranah Raja dengan ubi dan melenyapkan serangan dengan napas?"
Dia berbalik, wajahnya pucat pasi. "Kembali ke kota. Kirim pesan ke Master Sekte. Ini bukan lagi perburuan pengkhianat. Ini... sesuatu yang lain."