Alina harus menerima kenyataan kalau dirinya kini sudah bercerai dengan suaminya di usia yang masih sama-sama muda, Revan. Selama menikah pria itu tidak pernah bersikap hangat ataupun mencintai Alina, karena di hatinya hanya ada Devi, sang kekasih.
Revan sangat muak dengan perjodohan yang dijalaninya sampai akhirnya memutuskan untuk menceraikan Alina.
Ternyata tak lama setelah bercerai. Alina hamil, saat dia dan ibunya ingin memberitahu Revan, Alina melihat pemandangan yang menyakitkan yang akhirnya memutuskan dia untuk pergi sejauh-jauhnya dari hidup pria itu.
Dan mereka akan bertemu nanti di perusahaan tempat Alina bekerja yang ternyata adalah direktur barunya itu mantan suaminya.
Alina bertemu dengan mantan suaminya dengan mereka yang sudah menjalin hubungan dengan pasangan mereka.
Tapi apakah Alina akan kembali dengan Revan demi putra tercinta? atau mereka tetap akan berpisah sampai akhir cerita?
Ikuti Kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Kebencian Alina
“Mommy, Aeris mau ke toilet,” Kata bocah itu setelah puas makan.
“Biar sama Om aja” Leon langsung menyahut menawarkan diri.
“Nggak mau, mau sama Mama,” jawabnya cepat.
“Yaudah, sini,”
Alina segera menggandeng Aeris dan berjalan ke arah toilet di bagian belakang restoran.
“Ayo, Mama cepetan,” rengek bocah itu.
“Sabar, Sayang,”
“Mama tunggu di luar aja,” Kata Aeris ketika mereka sudah tiba di dalam toilet.
Alina mengangguk dan melangkah ke wastafel. Ia membuka kran, lalu membasuh wajahnya perlahan.
Di sisi lain, seorang pria juga berjalan santai menuju toilet. Baru saja hendak masuk, langkahnya terhenti.
Dia mengerutkan dahi. “Lah, ini kan toilet pria?” gumamnya pelan, menatap tanda di pintu.
Matanya tertuju pada punggung seorang wanita di dalam.
“Udah belum, Sayang?”
“Bentar lagi,” jawab Aeris dari bilik toilet.
“Oh, mungkin nemenin anaknya…” gumamnya paham. Ia memilih menunggu di luar, menyender santai di dinding dekat pintu.
Alina mengambil tisu dan mengelap wajahnya bertepatan dengan itu Aeris keluar.
“Sini, Mama bantu,” kata Alina mendekat, lalu jongkok dan membantu Aeris mengenakan celananya.
Dari tempatnya berdiri, Revan, pria itu. Dia bisa melihat pemandangan itu.
“Om! Kenapa diem di situ?! Mau ngintip ya!?” seru Aeris tiba-tiba.
Revan tersentak, buru-buru mundur menyembunyikan diri di balik dinding.
Alina spontan menoleh ke arah pintu dengan bingung. “Siapa, Sayang?”
“Ada yang ngintip!”
Alina menggandeng tangan bocah itu dan melangkah ke luar.
“Nggak ada siapa-siapa,” gumam Alina menoleh ke sekeliling.
“Tadi Aeris lihat sendiri, di sini ada Om ganteng yang ngeliatin,”
“Mungkin dia udah pergi,” jawab
Alina, lalu kembali berjalan sambil menuntun Aska.
Dari balik dinding, Revan mengintip lagi. Ia melihat punggung ibu dan anak itu yang mulai menjauh.
Aeris menoleh tiba-tiba ke belakang. Tatapan bocah itu bertemu dengan mata Revan. Revan tersentak.
"Ada ada aja" katanya menggelengkan kepala saat melihat bocah itu menjulurkan lidahnya.
•••••
“Mau ke mall sekarang?”
“Ayo ke mall sekarang! Aeris mau beli mainan!” seru bocah itu antusias.
“Oke, boy!” balas Leon.
“Jangan diturutin. Mainannya aja udah numpuk kayak toko,” sela Alina, menghela napas.
“Udah, nggak apa-apa,” balas Leon santai.
Saat berjalan keluar, pandangan Alina sempat terpaku pada salah satu meja. Seorang wanita duduk di sana, tampak menunduk menatap ponselnya.
Wanita itu mendongak. Pandangan mereka bertemu.
“Devi!?”
Wanita itu, juga tak kalah kaget, langsung berdiri. “Alina?”
Alina memandangi wanita itu dari ujung kepala hingga kaki.
“Oh, sekarang kerja kantoran rupanya…” gumamnya.
“Sudah lama kita nggak ketemu. Gimana kabar kamu?” tanya Devi mencoba ramah.
“Aku baik.” jawab Alina singkat.
Devi sedikit tersentak karena panggilan 'aku' yang disematkan Alina. Dia pikir Alina akan menggunakan kata 'gue'
Ia berbalik hendak pergi, tapi lengan Alina ditahan.
“Kamu... tinggal di mana selama ini?”
“Kamu nggak perlu tahu,” jawab Alina cepat.
“Alina… aku... aku mau minta maaf.”
“Buat apa? Aku ngerasa kamu nggak punya salah sama aku.” katanya datar.
“Sorry, aku buru-buru,” kata Alina cepat.
“Tapi…” suara Devi tertahan.
Alina tak menghiraukannya. Baru beberapa langkah ia berjalan, hatinya kembali terasa sesak—namun wajahnya tetap tenang.
Revan sudah kembali dari toilet.
"Sayang," panggilnya pelan.
"Kenapa?" tanyanya saat melihat wajah Devi yang tampak sedih.
"Nggak apa-apa kok," jawabnya, mencoba tersenyum.
"Kamu mau ke mana habis ini?" tanya Revan lagi.
"Ngerjain lanjutan proyek kita."
"Gimana kalau kita melipir ke mall dulu? Nggak jauh kok dari sini,"
"Tapi—"
"Udah ah, ayo. Refreshing dulu," potong Revan sambil menggenggam tangan Davina dan menariknya dengan lembut.
Sementara di luar...
"Mama kok lama tadi?" tanya Aeris dari bangku belakang. Kini mereka sudah berada di dalam mobil Leon.
"Angkat telepon sebentar,"
"Ayo Om, sekarang jalankan mobilnya!" seru.
Selama perjalanan, Leon melirik ke arah Alina lewat sudut matanya. Wanita itu tampak diam. Sesekali menghela napas kasar, seolah ada yang mengganjal di hati.
"Kenapa?" tanya Leon akhirnya.
"Perasaan tadi kamu happy-happy aja."
"Nggak apa-apa."
"Nggak apa-apanya cewek itu, pasti ada apa-apanya,"
"Berisik ih, nanti aku makin nggak mood," balas Alina, melipat tangan dan menatap ke luar jendela.
Leon membuka laci dashboard dan mengambil sebatang coklat.
"Nih, buat kamu," ucapnya sambil menyodorkannya ke Alina.
Wanita itu menoleh. Matanya menangkap batang coklat itu.
"Kata orang, kalau makan coklat bisa bikin hati jadi baik," tambah Leon sambil tersenyum kecil.
"Makasih," ujar Alina lirih, lalu membuka bungkus coklatnya dan menggigit sedikit.
"Kamu mau?" tawarnya pada Leon.
"Suapin."
Alina lalu menyuapkan sepotong kecil coklat ke mulut pria itu.
Benar saja, beberapa menit setelah makan coklat, suasana hatinya mulai membaik.
"Kalau ada masalah apapun, jangan sungkan cerita ke aku,"
"Jangan cuma anggap aku sebagai kekasih... tapi juga sahabat kamu. Sahabat yang bisa kamu jadiin tempat curhat."
"Kamu pernah nggak sih ngerasain benci banget sama seseorang?" kata Alina tiba-tiba.
"...sampai kamu sendiri nggak tahu gimana harus ngungkapinnya. Rasanya pengen maki, teriak, tapi... nggak bisa."
"Pernah," Jawab Leon.
"Tapi buat aku... rasa benci itu kayak racun. Semakin aku pelihara, semakin aku sendiri yang hancur. Orang yang aku benci belum tentu ngerasa apa-apa, tapi aku yang terus-terusan kebawa perasaan negatif."
"Makanya aku belajar buat nggak terlalu benci siapa-siapa, walaupun itu nggak gampang."
"Kenapa kamu nanya kayak gitu? Kamu masih nyimpen rasa benci ke ‘dia’?" tanya Leon, matanya melirik ke arah Alina.
Wanita itu tersenyum miris.
"Seperti yang kamu bilang tadi, aku juga berusaha buat nggak benci lagi sama seseorang di masa lalu. Tapi kadang... susah. Di mulut bilang udah nggak, tapi di hati..."
Ia menggantung kalimatnya, matanya menerawang ke luar jendela.
"...tetep aja ada rasa benci itu."
"Jangan dipaksa kalau gitu, yang penting kamu fokus sama kebahagiaan kamu aja, nggak usah ingat-ingat lagi masa lalu yang nyakitin," kata Leon.