Malam bahagia bagi Dila dan Arga adalah malam penuh luka bagi Lara, perempuan yang harus menelan kenyataan bahwa suami yang dicintainya kini menjadi milik adiknya sendiri.
Dalam rumah yang dulu penuh doa, Lara kehilangan arah dan bertanya pada Tuhan, di mana letak kebahagiaan untuk orang yang selalu mengalah?
Pada akhirnya, Lara pergi, meninggalkan tanah kelahirannya, meninggalkan nama, kenangan, dan cinta yang telah mati.
Tiga tahun berlalu, di antara musim dingin Prancis yang sunyi, ia belajar berdamai dengan takdir.
Dan di sanalah, di kota yang asing namun lembut, Lara bertemu Liam, pria berdarah Indonesia-Prancis yang datang seperti cahaya senja, tenang, tidak terburu-buru, dan perlahan menuntunnya kembali mengenal arti mencintai tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 17
Lara
Aku rindu pada tawa yang mengusungkan senyum, rindu pada bayang yang dulu tinggal diam di pelupuk waktu.
Aku rindu pada purnama yang dirindui sang pengagum, namun kini hanya langit kelabu yang menatapku bisu.
Kehilangan adalah senyap yang tak bisa dielakkan,
seperti dedaunan yang luruh saat musim enggan menetap.
Aku tahu, di tengah sendu sore, tak akan ada yang menyapa hati yang tergores luka.
Karena yang hilang tak selalu berpamitan,
dan yang pergi tak selalu meninggalkan jejak.
Ia hanya menguap, perlahan, seperti napas terakhir pada akhir cerita yang tak sempat ditulis ulang.
❄️❄️❄️
Akhir Pekan di Annecy.
Pagi itu, Annecy berdiri dalam diam musim dingin yang hampir berakhir. Langit berwarna abu-abu pucat seperti sapuan kuas yang menunggu matahari menambahkan sedikit warna. Salju tipis yang semalaman turun masih menempel di atap-atap rumah tua, membeku di pinggir jalan, dan perlahan mencair, meneteskan air dingin ke jalanan berbatu yang licin dan basah.
Lara berjalan dengan langkah pelan. Setiap helaan napasnya berubah menjadi kabut tipis yang langsung hilang tersapu angin. Syal abu-abu membalut lehernya, menutupi sebagian pipi yang memerah karena dingin. Namun dingin di udara tidak pernah sedingin sesuatu yang tinggal di dalam dadanya.
Hari itu ia tidak bekerja. Cafe de Lune tutup setiap hari Minggu, memberi kesempatan bagi para pekerjanya, dan dirinya, untuk bernapas. Meski bagi Lara, bernapas tidak selalu terasa mudah.
Ia berhenti di depan boulangerie kecil di sudut jalan. Aroma roti dan mentega yang baru dipanggang menyambutnya seperti selimut hangat. Ia masuk, memilih satu baguette sandwich sederhana. Selada segar, Brie lembut, dan irisan tipis daging sapi asap yang masih hangat. Pemilik toko tersenyum, dan Lara membalas dengan senyum sekilas—salah satu senyum yang jarang ia keluarkan.
Setelah membayar pesanannya dia keluar kembali ke udara dingin, ia berjalan menuju kanal, tempat sunyi favorit yang jarang didatangi orang di musim dingin. Bangku kayu di pinggir air menjadi tempatnya mendaratkan tubuh.
Ia memasang earphone, menyalakan lagu piano lembut. Clair de Lune memenuhi ruang-ruang kosong di kepalanya, mengisi celah yang selama ini hanya diisi oleh kenangan. Lara menggigit sandwich-nya perlahan. Hangatnya menyentuh lidah, lalu turun ke tenggorokan, memberi sedikit ketenangan.
Burung-burung beterbangan rendah di atas kanal. Air memantulkan serpihan cahaya keperakan yang menari di permukaannya. Masih pagi, namun dunia terasa seperti sudah hidup puluhan jam lebih awal darinya.
Sampai sebuah langkah mendekat. Seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya, begitu dekat hingga ia bisa merasakan gerakan jaket pria itu menyentuh mantelnya.
Tanpa permisi, pria itu mengambil satu earphone dari telinganya dan memasangnya di telinganya sendiri. Lara tersentak kecil, menoleh cepat, refleks untuk membela ruang pribadinya. Tapi saat melihat siapa orang itu, kejutannya mereda.
Ia menghela napas, kembali menatap kanal.
Liam tersenyum kecil, senyum samar yang seperti tidak ingin terlalu banyak mengambil ruang. Ia lalu menyodorkan secangkir kopi hangat. Lara menerimanya tanpa protes, dan sebagai balasan ia memutuskan memberi setengah sandwich yang belum sempat ia makan.
Liam menerimanya, dan senyum samar itu tumbuh sedikit lebih jelas.
Mereka tidak berbicara.
Clair de Lune mengalun lembut, menyelubungi mereka dengan melodi yang terasa seperti bisikan malam penuh bintang. Sesekali angin menggoyangkan permukaan kanal, menciptakan riak kecil yang memantulkan cahaya seperti kaca yang retak pelan.
Saat lagu berakhir, Lara membuka mata, menyadari ia sempat memejamkan mata cukup lama. Ia menarik napas panjang.
Liam memandang ke air.
“Bagaimana dengan buku itu? Yang kamu beli minggu lalu.”
Lara mengangkat gelas kopi.
“Menarik, tapi menyakitkan.”
Tatapannya turun.
“Penulisnya seperti, tahu betul bagaimana rasanya ditinggalkan. Lalu tetap dipaksa berjalan, seolah hidup tidak boleh berhenti.”
“Dan kamu ikut terluka?” Liam menoleh sedikit.
Lara tersenyum tipis.
“Cukup untuk membuatku membenci halaman-halaman berikutnya.”
Liam mengangguk, seakan memahami sesuatu yang lebih besar dari kata-katanya.
“Kadang bab paling berat memang butuh waktu lebih lama untuk dilewati,” gumamnya. “Kalau berhenti di seperempat jalan, kamu tidak akan tahu akhir ceritanya.”
“Aku tahu,” bisik Lara pelan.
“Tapi membuka luka yang sama lagi, rasanya seperti menghukum diri sendiri.”
Angin bertiup sedikit lebih keras. Ranting-ranting pohon menari, dedaunan terakhir jatuh ke air kanal.
“Lara…” Liam berkata dengan suara rendah. “Luka tidak akan sembuh kalau hanya ditutup terus. Kamu perlu melihatnya, menyentuhnya, meski itu sakit. Luka yang tidak disentuh tidak akan pernah sembuh. Ia hanya, membusuk.”
“Untuk mereka yang tidak pernah ditinggalkan tanpa alasan,” mata Lara menatap jauh, “kata-kata selalu terdengar sederhana. Tapi bagi yang pernah ditinggalkan saat sedang menggenggam harapan, luka itu tetap hidup. Bahkan setelah waktu mengatakan semuanya sudah baik-baik saja.”
Liam menatap wajah Lara lama.
“Luka juga bisa menjadi undangan,” katanya lembut. “Untuk pulih. Untuk memahami diri dengan cara baru.”
Ia tersenyum samar.
“Biarkan ia tumbuh jadi taman. Bukan penjara yang kamu tinggali.”
Lara tertawa kecil, pahit, namun tidak menusuk.
“Kamu terdengar seperti pujangga yang tidak pernah patah hati.”
Ia berdiri, membenarkan syalnya.
Angin terasa menusuk kulit, tetapi sesuatu di dadanya terasa sedikit lebih ringan.
Liam ikut berdiri.
“Mau ke mana?”
“Pulang.”
“Pulang? Ini masih pagi, Lara.”
Ia memasukkan kedua tangannya ke saku.
“Aku traktir makan siang? Anggap saja… traktiran awal pertemanan.”
Lara menatapnya.
Diam.
Seolah menimbang sesuatu yang tidak terlihat.
Liam mengangkat kedua tangan perlahan, seakan menegaskan ia tidak memaksa.
********
Untuk readers selamat datang di karya baru author, untuk yang sudah membaca. Terima kasih banyak, jangan lupa support author dengan like, komen dan vote cerita ini ya biar author semangat up-nya. Terima kasih😘😘😘
Aku udh mmpir.....
Dr awl udh nysek,kbyang bgt skitnya jd lara....d khianati orng2 trdkatnya,apa lg dia tau kl dia cm ank angkat.....btw,hkum krma udh mlai dtang kya'nya....mnimal tau rsanya khilangn dn smga mrsakn pnyesaln s'umr hdp.....
sekarang nikmati saja karma kalian