Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keenan ditemukan
Aku terus berlari menyusuri setiap sudut wahana permainan, berharap bisa menemukan anakku. Nafasku sudah terengah-engah, tapi aku tak peduli. Aku terus memanggil-manggil nama Keenan, suaraku serak dan nyaris habis. Aku tak peduli dengan tatapan para pengunjung yang mungkin menganggapku aneh atau mengganggu. Saat ini, yang kupikirkan hanya satu yaitu anakku.
Pikiran buruk terus berputar di kepalaku. Bagaimana kalau Keenan tersesat lebih jauh? Bagaimana kalau dia ketakutan? Atau lebih parah lagi,aku bahkan tak sanggup menyelesaikan bayangan itu. Dadaku terasa sesak. Aku sudah seperti orang gila, berlari ke sana kemari dengan pandangan yang kabur oleh air mata.
"Bagaimana?" suara Pak Arsya membuatku menoleh. Kami bertemu di satu titik, dan dari wajahnya terlihat jelas kalau dia juga sama paniknya. Bajunya sudah kusut, dan napasnya terengah.
Aku hanya menggeleng lemah. “Belum, Pak... belum ketemu,” jawabku lirih.
Tenggorokanku terasa perih karena terlalu banyak berteriak. Rasanya seluruh tenagaku sudah terkuras, tapi ketakutanku jauh lebih besar daripada rasa lelah.
Langit di atas taman bermain sudah berubah jingga, tanda sore mulai berganti malam. Panikku semakin menjadi.
"Aini, kamu istirahat dulu di bagian informasi. Biar saya lanjut mencari Keenan. Saya sudah minta bantuan ke semua karyawan di sini,” ucap Pak Arsya dengan nada menenangkan.
“Tapi, Pak…” suaraku tercekat. Aku tak mau diam saja sementara anakku masih belum ditemukan.
“Saya yakin, Keenan pasti ketemu,” ujarnya lagi, berusaha menenangkan dengan tatapan yakin.
Akhirnya, dengan berat hati aku menuruti sarannya. Ia mengantarku ke bagian informasi. Di sana, kulihat Della sedang duduk santai sambil memainkan ponselnya, seolah tak terjadi apa-apa. Jantungku berdegup kesal, bagaimana bisa dia setenang itu? Tapi aku memilih diam. Yang hilang anakku, bukan anaknya, tentu saja dia tak peduli.
Beberapa menit kemudian, Bang Rendra datang dengan wajah kusut dan keringat yang menetes dari pelipisnya. Dari napasnya yang berat, aku tahu dia juga ikut mencari Keenan sejak tadi. Tapi tatapannya ke arah Pak Arsya jelas menunjukkan ketidaksukaan. Ada ketegangan yang terasa di antara mereka, meski saat ini bukan waktunya untuk mempermasalahkan itu.
"Aini, kamu tunggu di sini ya. Saya akan keliling lagi bersama yang lain mencari Keenan," kata Pak Arsya.
"Saya ikut!" sahutku cepat.
“Kamu sepertinya sudah cukup kecapekan,” ucapnya lagi, suaranya lembut tapi tegas.
“Enggak, Pak. Saya harus bisa nemuin anak saya. Saya nggak bisa diam.” Mataku berkaca-kaca, dan air mata itu akhirnya tumpah lagi.
Pak Arsya menatapku sesaat, lalu menghela napas panjang. “Baiklah, kalau kamu memaksa.”
Setelah mengumpulkan sedikit tenaga dan minum air, aku kembali ikut mencari. Kali ini langkahku terasa lebih kuat, meski tubuhku gemetar. Entah kenapa, ada firasat kuat yang membuatku ingin kembali ke area wahana mandi bola anak-anak.
Begitu sampai, aku langsung menghampiri petugas yang berjaga. “Mas, boleh saya masuk sebentar? Saya lagi nyari anak saya, usianya tiga tahun, pakai baju biru muda.”
Petugas itu menatapku iba dan langsung mengizinkan. Aku menyingkap tali pembatas dan melangkah masuk ke dalam wahana, mataku menyapu setiap sudut penuh bola warna-warni.
“Keenan… Keenan, Nak, kamu di mana?” panggilku dengan suara yang sudah hampir habis. Hanya gema dan tawa anak-anak lain yang terdengar samar.
Aku hampir menyerah ketika tiba-tiba mataku menangkap sesuatu di sudut ruangan,bola-bola kecil di sana seperti bergerak-gerak. Aku menahan napas, lalu mendekat perlahan. Saat kudengar suara isakan lirih dari balik tumpukan bola, hatiku langsung berdebar.
Tanganku gemetar saat menyingkirkan bola-bola kecil itu satu per satu, dan di sana…
“Keenan!” seruku dengan suara tercekat.
Anakku duduk meringkuk, memeluk lututnya erat-erat sambil terisak. Wajahnya pucat, matanya bengkak karena menangis terlalu lama. Aku langsung memeluknya erat, tak kuasa menahan tangis.
“M-mama…” tangisnya pecah begitu melihat wajahku.
“Mama di sini, Sayang. Mama di sini. Jangan takut lagi, ya… udah nggak apa-apa,” bisikku sambil mengusap punggungnya lembut.
Tubuh kecil itu bergetar di pelukanku. Aku terus memeluknya seolah takut dia akan menghilang lagi.
Tak lama kemudian, Pak Arsya muncul di pintu wahana. Melihat aku yang kesulitan berdiri di atas tumpukan bola sambil menggendong Keenan, ia segera menghampiri dan masuk ke dalam.
“Biar saya yang gendong Keenan,” katanya pelan. Aku sempat ragu, tapi Keenan langsung meraih bahunya, mungkin karena sudah terlalu lelah untuk menolak.
Pak Arsya mengangkat Keenan dengan hati-hati, sementara aku berjalan di belakang mereka, masih dengan napas terengah dan air mata yang belum berhenti.
Begitu keluar dari wahana, udara luar terasa menampar wajahku. Aku menatap langit yang sudah mulai gelap. Rasa syukur membanjiri dadaku.
Akhirnya… Keenan ditemukan.
Pak Arsya menoleh sebentar, lalu menatapku dengan senyum lega. “Sudah, sekarang kita bawa Keenan ke ruang informasi dulu. Dia perlu minum dan istirahat.”
Aku hanya mengangguk pelan, menatap Keenan yang kini tertidur di pelukan Pak Arsya, wajahnya masih basah oleh air mata. Dan untuk pertama kalinya hari ini, aku bisa menarik napas sedikit lebih lega, meski tubuhku nyaris roboh karena lelah dan perasaan campur aduk.
**
“Keenan…” ucap Bang Rendra dengan nada lega saat melihat aku dan Pak Arsya berjalan ke arah ruang informasi. Di pelukan Pak Arsya, Keenan tampak tertidur dengan wajah lelah, matanya masih sedikit bengkak karena terlalu banyak menangis.
Bang Rendra segera melangkah cepat dan hendak mengambil Keenan dari gendongan Pak Arsya. Namun refleks, aku menepis tangannya.
“Aini, kamu apa-apaan?” seru Bang Rendra dengan nada tak suka.
Aku menatapnya tajam. “Keenan baru tertidur. Jangan ganggu dia! Dia sudah cukup ketakutan ditinggal sendirian di wahana itu!” suaraku bergetar, tapi tetap tegas.
Mataku sekilas melirik ke arah Della yang masih duduk santai, membuat darahku semakin mendidih.
Della berdiri dengan wajah menantang. “Apa maksud tatapanmu itu, Aini?” katanya sambil melangkah mendekat.
Aku menatapnya tanpa gentar. Sebelumnya, aku sudah bertanya pada petugas wahana dengan siapa Keenan datang ke sana. Dan petugas bilang, Keenan datang bersama seorang wanita yang memakai baju berwarna krem. Dan siapa lagi yang pakai baju itu kalau bukan Della,si istri baru dari suamiku.
Aku menatap Bang Rendra lurus-lurus. “Ingat, ini terakhir kalinya kamu bawa Keenan jalan kalau perginya sama wanita ini!” kataku tajam.
“Aini! Jaga sikap kamu!” seru Bang Rendra menahan emosi.
“Kamu yang nggak sepantasnya membiarkan orang lain menggendong anak kita. Aku ayahnya!”
Aku mendengus, emosi yang kutahan akhirnya meledak.
“Ayah macam apa kamu? Bisa-bisanya kehilangan anakmu sendiri! Dan membiarkan istri mudamu ini ninggalin anak kita sendirian di wahana!?” bentakku dengan mata berkaca-kaca.
Della sempat mundur selangkah, tapi aku tidak peduli. Amarahku sudah di ubun-ubun.
“Jangan harap aku bakal biarin wanita itu nyakiti anakku lagi! Cukup dia hancurin pernikahan kita, tapi kalau ini sudah nyangkut Keenan, aku nggak akan tinggal diam!” seruku sambil menunjuk wajah Della dengan tangan gemetar.
Bang Rendra terdiam sesaat, wajahnya tegang. Tapi kemudian suaranya meninggi, berusaha membela diri.
“Kamu jangan selalu salahin Della! Kamu sendiri masih jadi istri aku, tapi sudah jalan bareng pria lain!” ujarnya sambil menatap sinis ke arah Pak Arsya yang masih menggendong Keenan.
Aku tertegun sebentar, lalu tertawa kecil dan tawa getir yang sama sekali tak lucu.
“Lucu banget kamu, bang Rendra” ujarku lirih namun tajam.
“Masalah kita itu dari awal karena gundikmu ini! Jangan bawa-bawa orang lain yang bahkan nggak ada urusannya sama kebodohan kamu!”
Suara di ruang informasi mendadak hening. Beberapa orang mulai memperhatikan kami, tapi aku tak peduli. Aku sudah terlalu marah, terlalu kecewa, dan terlalu lelah untuk memikirkan siapa yang menatap.
Akhirnya aku menatapnya dingin, suaraku rendah tapi tegas.
“Mulai sekarang, jangan temui aku dan anakku lagi!”
Tanpa menunggu jawabannya, aku berbalik dan berjalan mengikuti langkah Pak Arsya yang lebih dulu keluar membawa Keenan.
Setiap langkah terasa berat, tapi aku tak menoleh sedikit pun. Aku sudah cukup muak dengan semua yang terjadi. Kesalahan bang Rendra kali ini bukan sekadar kecerobohan, tapi sesuatu yang membuat rasa hormatku padanya benar-benar hilang.
Aku menarik napas panjang, menatap punggung kecil Keenan di pelukan Pak Arsya.
Yang penting sekarang, anakku selamat. Buat yang aku gak peduli.