Hidup Arabella hancur ketika pamannya tega menjualnya pada Edward Frederick, seorang mafia berkedok Ceo yang terkenal kejam, dingin, dan arogan, hanya demi melunasi hutang akibat kebangkrutan perusahaan.
Dengan kaki kanan yang cacat karena kecelakaan di masa lalu, Arabella tak punya banyak pilihan selain pasrah menerima perlakuan sang suami yang lebih mirip penjara ketimbang pelindung.
Perlahan, keduanya terseret dalam permainan hati, di mana benci dan cinta tipis perbedaannya.
Mampukah Arabella bertahan dalam pernikahan tanpa cinta ini? Ataukah justru dia yang akan meluluhkan hati seorang Edward Frederick yang sekeras batu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20
Daniel duduk di ruang kerjanya, menatap laporan medis Ara yang kini tergeletak di meja. Pandangannya kosong, namun pikirannya berputar cepat.
Daniel tak bisa berhenti memikirkan wanita itu, mata sendunya, cara ia berusaha tersenyum meski sedang kesakitan, dan keberanian yang ia tunjukkan saat diusir dari rumah sakit tadi.
“Arabella Frederick…” gumam Daniel pelan, mengulang nama itu. “Istri Edward Frederick, si mafia dingin yang bahkan dunia bawah pun segan menyebut namanya.”
Daniel tahu risikonya jika ikut campur dalam urusan keluarga Frederick. Namun, ia juga tahu satu hal, Ara bukan wanita biasa. Ada sesuatu dalam diri wanita itu yang membuatnya tak sanggup tinggal diam.
Daniel menekan tombol interkom di mejanya.
“Rita, tolong kemari sebentar,” ucapnya.
Tak lama kemudian, seorang wanita muda berseragam administrasi rumah sakit masuk sambil membawa tablet data pasien.
“Ya, Dokter Daniel?”
Daniel menyodorkan berkas medis Ara. “Hubungi pasien ini. Namanya Arabella Frederick. Katakan padanya kalau pihak rumah sakit memberikan bantuan biaya terapi gratis selama masa pemulihan.”
Rita menatap Daniel ragu. “Bantuan biaya, Dok? Tapi… setahu saya, program sosial bulan ini belum—”
“Sebut saja ini program darurat untuk pasien dengan kebutuhan mendesak,” potong Daniel cepat. “Aku yang tanggung semua biayanya. Tapi jangan katakan padanya, mengerti?”
Rita membelalakkan mata. “Dokter mau menanggung semua biayanya?”
“Ya. Katakan saja rumah sakit sedang ada program khusus untuk pasien kurang mampu. Aku tidak ingin dia tahu siapa yang membayarnya,” jawa Daniel dengan tenang.
Rita mengangguk cepat. “Baik, Dokter. Akan segera saya urus.”
Setelah Rita keluar, Daniel bersandar di kursinya. Ia mengusap wajahnya pelan, lalu menatap langit-langit.
“Setidaknya, aku bisa melakukan sesuatu untukmu, Ara,” bisiknya lirih. “Aku tak peduli siapa suamimu. Aku hanya ingin kau sembuh.”
***
Sementara itu, di mansion Frederick…
Ara baru saja sampai di halaman depan, tubuhnya terasa sangat lelah. Setiap langkah yang ia ambil seperti menusuk tulang kakinya. Udara sore sudah mulai dingin, dan langkahnya terasa semakin berat.
Begitu membuka pintu, ia disambut oleh Martha yang tampak khawatir.
“Nyonya! Ke mana saja Anda? Tuan akan sangat marah kalau tahu anda pergi sendirian,” ucap Martha tergesa.
Ara tersenyum lemah. “Aku hanya pergi sebentar, Martha. Ke rumah sakit tapi semuanya baik-baik saja.”
Martha menatap kaki Ara yang masih terbalut perban.
“Anda harus istirahat, Nyonya. Luka itu belum sembuh benar.”
Ara hanya mengangguk. Ia berjalan tertatih ke ruang tengah, lalu duduk di sofa dengan napas berat.
Saat itulah ponselnya berdering. Nomor tak dikenal muncul di layar.
“Halo?” suara Ara terdengar ragu.
“Selamat sore, Nyonya Arabella. Kami dari Rumah Sakit. Kami ingin mengabarkan bahwa anda berhak mendapatkan terapi gratis sebagai bagian dari program bantuan pasien kurang mampu,” ucap suara ramah dari seberang.
Ara mengerutkan kening. “Terapi gratis? Tapi, saya tidak mendaftar apa pun.”
“Tidak perlu, Nyonya. Ini program sosial dari pihak rumah sakit. Anda cukup datang besok pagi untuk sesi pertama. Semua biaya akan ditanggung pihak rumah sakit,” jelas suara itu lembut.
Ara terdiam beberapa detik. Ia tidak tahu harus berkata apa. Matanya mulai berkaca-kaca, antara bingung dan lega.
“Tapi, apakah ini benar? Saya tidak ingin merepotkan siapa pun,” ucapnya pelan.
“Benar, Nonya. Kami senang bisa membantu,” jawab sang petugas. “Jadi, apakah anda bersedia datang besok pagi?”
Ara menatap ke arah jendela, melihat matahari yang hampir tenggelam di balik pepohonan taman mansion. Ia menelan ludah dan mengangguk, meski lawan bicaranya tidak bisa melihat.
“Ya… saya akan datang. Terima kasih banyak.”
Setelah panggilan berakhir, Ara menatap layar ponselnya lama. Hatinya hangat, tapi juga dipenuhi tanda tanya.
Kenapa tiba-tiba ada bantuan seperti itu? Apakah ini kebetulan?
Namun, tak peduli siapa yang berada di balik kebaikan itu, Ara berjanji akan memanfaatkannya sebaik mungkin. Ia ingin sembuh, agar bisa berjalan tanpa rasa sakit lagi.
**
Malam itu, sebelum tidur, ia sempat menatap foto pernikahannya dengan Edward yang tergantung di dinding kamar.
Wajah Edward dalam foto terlihat dingin, tanpa senyum, namun matanya menyimpan sesuatu yang sulit diterka.
Ara tersenyum tipis.
“Entah kau sadar atau tidak, Ed… aku hanya ingin menjadi istri yang baik. Tapi aku juga ingin berdiri di sisimu tanpa lemah seperti ini.”
Sementara itu, di rumah sakit, Daniel masih duduk di mejanya, menatap daftar pasien hari esok.
Saat nama “Arabella Frederick” muncul pikirannya, senyum tipis muncul di wajahnya.
“Besok aku akan melihatmu lagi, Ara,” ucapnya pelan. “Kali ini bukan untuk menyelamatkanmu dari amarah dunia, tapi untuk menyelamatkan langkahmu sendiri.”
si detektif kecil kayak Conan 😄😄😄..
badannya aja yg pitik ga sama isi kepala nya,,
dari pada uncle mu yg 1/2 ons
aihhh mau ngapain merek apa Edward mau ngetes lolipop nya Sam Jul Jul