Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Pintu kamar pengantin Reina menutup perlahan dan nyaris tanpa suara ketika Alisha mendorongnya kembali dengan kedua tangannya yang gemetar. Namun bagi Alisha, suara itu terdengar seperti dentuman keras yang meruntuhkan seluruh dunia yang selama ini ia pertahankan dengan kebanggaan dan harga diri.
Begitu pintu menutup, napas Alisha langsung tercekat. Ia tidak mampu berdiri; tubuhnya seakan kehilangan tenaga. Getaran hebat merambat dari ujung jarinya hingga ke dalam dadanya. Seolah jantungnya sedang dicengkeram oleh tangan yang tak kasat mata.
“Aku… tidak kuat…” bisiknya dengan suara pecah.
Tanpa menoleh ke kanan atau kiri, Alisha berbalik dan langsung berlari menyusuri lorong panjang itu. Gaun tidur tipis yang ia kenakan berkibar mengikuti gerakannya, dan langkahnya terdengar terburu-buru, seakan ia sedang melarikan diri dari sesuatu yang mengejarnya. Padahal yang ia coba hindari bukanlah sosok di belakangnya melainkan kenyataan pahit yang baru saja ia lihat sendiri.
Air matanya jatuh satu demi satu, lalu berubah menjadi tangisan lirih yang tidak mampu ia kendalikan.
Ketika ia tiba di depan pintu kamarnya, Alisha hampir tidak bisa menggenggam gagangnya dengan benar. Tangannya bergetar terlalu kuat. Namun dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia berhasil membuka pintu itu, lalu—brak!—menutupnya kembali dengan keras. Suara itu menggema di seluruh kamar yang dihias begitu indah untuk perayaan yang seharusnya menjadi awal bahagianya.
Begitu pintu tertutup, Alisha ambruk.
Ia tidak lagi peduli pada sikap, tidak peduli pada citra, tidak peduli pada apa pun. Ia memegangi dadanya, tepat di tempat rasa sakit itu menyengat paling kuat, lalu menangis sejadi-jadinya. Suaranya pecah, parau dan seluruh tubuhnya berguncang hebat.
“Kenapa, kenapa aku yang diperlakukan seperti ini Aditya?” tangisnya lirih, namun penuh isak yang menusuk hati.
Ia tidak pernah membayangkan bahwa malam yang seharusnya menjadi malam pertamanya sebagai seorang istri justru menjadi malam yang membuktikan bahwa ia bahkan sejak awal tidak pernah dianggap apa pun oleh suaminya sendiri.
“Aditya… bagaimana bisa kau lakukan ini padaku?!” tangisnya sambil menutupi wajahnya.
Air mata Alisha menetes tak henti-hentinya, dan memenuhi kedua telapak tangannya.
Ia merasa seperti kehilangan seluruh harga dirinya. Selama ini ia berusaha keras untuk menjadi pasangan yang sempurna, calon istri ideal, menantu terhormat keluarga Wiranegara. Namun kenyataannya, ia hanyalah bayangan. Kehadirannya sama sekali tidak dianggap. Nama yang hanya tertera pada buku nikah, tapi hati suaminya tidak pernah ditujukan untuknya.
Dan perempuan lain yang bernama Reina, yang selama ini ia pandang rendah sebagai perempuan biasa, perempuan miskin, perempuan yang menurutnya tidak setara dengan dirinya, justru menjadi orang yang dipilih Aditya.
Di malam yang paling sakral. Di malam yang seharusnya menjadi miliknya.
“Tidak, tidak mungkin! Tidak seharusnya aku kalah dari dia. Tidak seharusnya aku kalah dari wanita rendahan itu!” Alisha meremas rambutnya, menahan rasa perih yang membuat tubuhnya bergetar.
Ia tidak sanggup lagi menahan semuanya.
Alisha berdiri goyah, lalu berjalan cepat ke arah ranjang pengantinnya, ranjang yang seharusnya menjadi saksi kebersamaan pertamanya dengan Aditya.
Ranjang yang kosong dan dingin.
Pemandangan itu membuat Alisha kehilangan sisi terakhir dari kesabarannya. Dengan teriakan yang mengguncang, ia meraih bantal berhiaskan renda, lalu melemparkannya ke lantai. Tangannya menarik selimut putih bersih itu, meremas dan melemparkannya tanpa arah.
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/