Bagi Aditya, Reina bukan sekadar kekasihnya tapi ia adalah rumahnya.
Namun dunia tak mengizinkan mereka bersama.
Tekanan keluarga, perjodohan yang sudah ditentukan, dan kehormatan keluarga besar membuat Aditya terjebak di antara tanggung jawab dan juga cinta.
Dalam keputusasaan, Aditya mengambil keputusan yang mengubah segalanya. Ia nekat menodai Reina berkali kali demi bisa membuatnya hamil serta mendapatkan restu dari orang tuanya.
Cinta yang seharusnya suci, kini ternodai oleh ketakutan dan ambisi. Mampukah Aditya dan Reina mengatasi masalah yang menghalang cinta mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Tidak ada senyuman.
Tidak ada doa.
Tidak ada pengakuan sebagai menantu.
Hanya tatapan dingin yang menusuk. Seolah menyentuh tangannya adalah sesuatu yang mengganggu.
Reina merapatkan bibirnya. Tenggorokannya tercekat. Ada sesuatu yang terasa sakit, tetapi ia memaksa dirinya tetap menunduk, berharap tidak ada orang yang akan melihat betapa terguncangnya ia. Aditya melihatnya. Wajahnya menegang, ada rasa ingin protes terhadap perlakuan ayahnya kepada Reina tetapi ia tidak bisa. Tidak saat ini. Tidak di depan ratusan tamu yang menunggu acara tetap berjalan mulus.
“Sudah,” ujar Pak Arman pendek, suaranya hampir seperti perintah.
Reina menarik napas pelan dan mundur beberapa langkah ke samping.
Giliran berikutnya adalah Alisha. Perbedaan suasananya begitu kontras, hingga siapa pun bisa merasakannya. Alisha melangkah dengan anggun, senyumnya terlihat lembut namun penuh percaya diri. Ia bersimpuh di depan Bu Ratna, memberikan salam dan permohonan doa dengan suara tenang dan manis.
Bu Ratna menerima sungkemannya dengan ramah, meski tidak selembut pada Reina tadi, namun tetap penuh penghormatan. Namun pemandangan berubah total ketika Alisha bersimpuh di depan Pak Arman. Begitu tangan Alisha menyentuh tangan mertua lelakinya itu, ekspresi Pak Arman langsung berubah hangat, bangga, dan penuh penerimaan.
“Alisha… Nak… semoga pernikahanmu membawa keberkahan. Kamu sudah bapak anggap seperti putri Bapak sendiri,” ucap Pak Arman dengan suara yang tidak ia berikan untuk Reina.
Ia mengusap kepala Alisha, mendoakannya dengan panjang, bahkan mengulanginya dua kali. Para tamu tersenyum melihatnya. Beberapa berbisik, mengangguk setuju bahwa Alisha memang lebih cocok untuk keluarga besar Wiranegara.
Reina berdiri beberapa langkah di belakang mereka, melihat semuanya.
Melihat bagaimana perbedaan itu begitu tajam. Melihat bagaimana kedua tangannya yang masih terasa dingin karena perlakuan Pak Arman yang sama sekali tidak menyukainya. Melihat bagaimana ayah mertuanya memberikan doa yang tak pernah ia terima seperti yang orang tua itu berikan kepada Alisha. Melihat bagaimana dirinya berdiri sendirian, sementara dunia dengan mudah memihak Alisha.
Ia menelan rasa perih itu. Dalam-dalam. Sambil menunduk, agar tidak terlihat rapuh. Namun sesakit apa pun ia menahan, rasa sakit itu tetap menusuk dadanya.
Tak lama kemudian prosesi sungkeman pun selesai. Tepuk tangan kembali terdengar, para tamu bangkit perlahan menuju meja hidangan. Musik kembali mengalun sementara Pelaminan dipenuhi ucapan selamat untuk Aditya dan Alisha. Sesekali untuk Reina, namun tidak pernah sehangat yang diterima Alisha.
Malam semakin larut.
Acara pernikahan akhirnya selesai. Para tamu sudah pulang satu per satu. Keluarga besar pun mulai beranjak kembali ke rumah mereka. Pelayan kediaman Wiranegara bergerak membersihkan sisa-sisa pesta di seluruh sudut aula.
Reina berdiri diam di dekat tangga megah, menunggu instruksi kemana ia harus pergi. Tidak ada seorang pun yang mendekat untuk menemaninya. Aditya hilang entah kemana sejak acara berakhir, sementara Alisha masih sibuk berceloteh dengan orang tua dan mertua barunya.
Seorang pelayan wanita menghampiri Reina dengan sopan.
“Nyonya Reina, mari ikut saya. Kamar pengantin Anda sudah disiapkan.”
Kata Nyonya itu terdengar aneh. Terasa terlalu besar untuk dirinya. Namun Reina tetap mengangguk dan mengikuti pelayan itu. Mereka menyusuri koridor panjang dengan lampu-lampu dinding yang temaram, memberikan suasana hangat sekaligus mewah. Setelah beberapa menit, pelayan membuka pintu sebuah kamar.
“Kami menyiapkan kamar ini untuk Nyonya. Semoga nyonya menyukainya. Jika membutuhkan sesuatu, tinggal tekan bel di meja dan saya akan datang.”
/Speechless//Speechless//Speechless//Speechless/