Suara Raja Bramasta terdengar tegas, namun ada nada putus asa di dalamnya
Raja Bramasta: "Sekar, apa yang kau lakukan di sini? Aku sudah bilang, jangan pernah menampakkan diri di hadapanku lagi!"
Suara Dayang Sekar terdengar lirih, penuh air mata
Dayang Sekar: "Yang Mulia, hamba mohon ampun. Hamba hanya ingin menjelaskan semuanya. Hamba tidak bermaksud menyakiti hati Yang Mulia."
Raja Bramasta: "Menjelaskan apa? Bahwa kau telah menghancurkan hidupku, menghancurkan keluargaku? Pergi! Jangan pernah kembali!"
Suara Ibu Suri terdengar dingin, penuh amarah
Ibu Suri: "Cukup, Bramasta! Cukup sandiwara ini! Aku sudah tahu semuanya. Aku tahu tentang hubunganmu dengan wanita ini!"
Bintang Senja terkejut mendengar suara ibunya. Ia tidak pernah melihat ibunya semarah ini sebelumnya.
Raja Bramasta: "Kandahar... dengarkan aku. Ini tidak seperti yang kau pikirkan."
Ibu Suri: "Tidak seperti yang kupikirkan? Jadi, apa? Kau ingin mengatakan bahwa kau tidak berselingkuh dengan dayangmu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ainul hasmirati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peta Dunia yang Menggoda
Setelah berhasil mendapatkan buku-buku dari perpustakaan terlarang, Bintang dan Dayang Ratih bergegas kembali ke kamar Bintang. Mereka menutup pintu dan jendela, memastikan tidak ada yang bisa menguping percakapan mereka. Di antara semua buku yang ada, "Peta Rahasia Kerajaan-Kerajaan Tetangga" adalah yang paling menarik perhatian Bintang. Jantungnya berdebar kencang saat membuka halaman pertama buku itu.
Buku itu berisi peta-peta detail yang menggambarkan berbagai kerajaan di dunia, termasuk Kencana Loka dan Kerajaan Utara. Peta-peta itu tidak hanya menunjukkan lokasi geografis, tetapi juga informasi penting lainnya seperti jalur perdagangan, benteng pertahanan, sumber daya alam, dan bahkan legenda tentang makhluk-makhluk mitos yang menghuni wilayah tertentu. Bintang merasa seperti menemukan harta karun yang selama ini ia impikan.
Bintang terpaku pada peta dunia yang terlipat di halaman tengah buku. Peta itu menggambarkan dunia yang luas dan penuh dengan tempat-tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia merasa terpanggil untuk menjelajahi dunia itu dan menemukan petualangan baru, jauh dari istana yang selama ini mengurungnya.
"Lihatlah, Ratih," kata Bintang dengan nada kagum, matanya berbinar-binar. "Dunia ini begitu luas dan indah. Aku tidak pernah membayangkan ada begitu banyak tempat yang bisa dijelajahi."
Dayang Ratih mendekat dan ikut melihat peta itu. Ia tersenyum melihat semangat Bintang yang membara. Ia senang melihat sahabatnya kembali bersemangat setelah sekian lama tertekan.
"Aku tahu kau selalu merindukan kebebasan, Bintang," kata Dayang Ratih, suaranya lembut. "Aku harap pelarian ini akan membawamu pada kebahagiaan yang kau cari. Aku akan selalu mendukungmu, apa pun yang terjadi."
"Aku juga berharap begitu, Ratih," jawab Bintang, nadanya sedikit ragu. "Tapi, aku juga merasa takut. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku di luar sana. Aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk menghadapi dunia yang keras ini."
"Kau tidak perlu takut, Bintang," kata Dayang Ratih, menggenggam tangan Bintang erat. "Aku akan selalu bersamamu, apa pun yang terjadi. Kita akan saling menjaga dan saling mendukung. Kita akan menghadapi dunia ini bersama-sama."
Bintang memeluk Dayang Ratih dengan erat. "Terima kasih, Ratih," kata Bintang, air matanya mulai menetes. "Kau adalah sahabat terbaikku. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu."
Setelah itu, Bintang dan Dayang Ratih mulai merencanakan rute pelarian mereka. Mereka mempelajari peta dengan seksama dan mencari jalur yang paling aman dan mudah untuk ditempuh. Mereka berdebat dan berdiskusi, mempertimbangkan setiap kemungkinan dan risiko yang mungkin terjadi.
"Menurut peta ini, ada sebuah jalur rahasia yang menghubungkan Kencana Loka dengan Kerajaan Utara," kata Bintang, menunjuk ke sebuah garis putus-putus di peta. "Jalur itu melewati hutan terlarang dan pegunungan yang berbahaya, tetapi jalur itu adalah jalur tercepat dan paling aman untuk mencapai Kerajaan Utara."
"Apakah kau yakin kita bisa melewati jalur itu, Bintang?" tanya Dayang Ratih dengan nada khawatir. "Hutan terlarang dikenal sebagai tempat yang berbahaya dan penuh dengan makhluk-makhluk buas. Aku takut kita tidak akan selamat."
"Aku tahu, Ratih," jawab Bintang, nadanya serius. "Tapi, kita tidak punya pilihan lain. Kita harus mengambil risiko jika kita ingin berhasil melarikan diri. Kita harus berani menghadapi ketakutan kita."
"Baiklah," kata Dayang Ratih, menghela napas. "Aku akan mempercayaimu. Tapi, kita harus mempersiapkan diri dengan matang sebelum kita berangkat. Kita harus memastikan kita memiliki semua yang kita butuhkan untuk bertahan hidup di hutan terlarang."
Bintang dan Dayang Ratih mulai mengumpulkan bekal yang mereka butuhkan untuk perjalanan. Mereka mengambil makanan, air, pakaian hangat, obat-obatan, dan senjata dari gudang istana. Mereka juga mempelajari cara menggunakan senjata dan membuat api dari buku-buku yang mereka temukan di perpustakaan terlarang. Mereka berlatih setiap hari, mempersiapkan diri untuk menghadapi bahaya yang mungkin mengintai.
"Kita juga membutuhkan penyamaran," kata Bintang, berpikir keras. "Kita tidak bisa pergi ke Kerajaan Utara dengan pakaian putri dan dayang. Kita harus menyamar sebagai orang biasa agar tidak dikenali. Kita harus menjadi orang lain."
"Kau benar, Bintang," kata Dayang Ratih. "Aku punya ide. Aku bisa membuatkan kita pakaian seperti pakaian para pedagang yang sering melewati Kencana Loka. Pakaian itu sederhana dan tidak mencolok. Kita bisa menyamar sebagai pedagang yang sedang melakukan perjalanan ke Kerajaan Utara."
"Ide bagus, Ratih," kata Bintang, tersenyum. "Aku percaya padamu. Kau selalu memiliki ide-ide yang brilian."
Dayang Ratih mulai menjahit pakaian penyamaran untuk Bintang dan dirinya sendiri. Ia menggunakan kain-kain yang ia temukan di gudang istana. Dengan cekatan, ia mengubah kain-kain itu menjadi pakaian pedagang yang sederhana dan praktis. Ia menambahkan beberapa tambalan dan jahitan yang sengaja dibuat kasar agar terlihat lebih meyakinkan.
Sementara Dayang Ratih menjahit, Bintang mempelajari peta dan buku-buku lainnya dengan seksama. Ia menghafal jalur-jalur perjalanan, nama-nama kota, dan informasi penting lainnya. Ia juga mempelajari bahasa yang digunakan di Kerajaan Utara agar bisa berkomunikasi dengan orang-orang di sana. Ia ingin memastikan mereka siap menghadapi apa pun yang terjadi.
Setelah beberapa hari mempersiapkan diri, Bintang dan Dayang Ratih akhirnya siap untuk berangkat. Mereka mengenakan pakaian penyamaran mereka dan membawa semua bekal yang mereka butuhkan. Mereka saling bertatapan, mata mereka penuh tekad dan keberanian.
"Apakah kau sudah siap, Bintang?" tanya Dayang Ratih dengan nada khawatir. Ia tahu betapa berbahayanya perjalanan ini, dan ia takut kehilangan sahabatnya.
"Aku sudah siap, Ratih," jawab Bintang dengan nada mantap. "Aku siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan. Aku siap untuk memulai hidup baru."
Bintang dan Dayang Ratih keluar dari istana pada malam hari. Mereka berjalan dengan hati-hati melewati taman istana dan menuju gerbang belakang. Mereka berpegangan tangan erat, saling memberikan kekuatan dan dukungan.
Saat tiba di gerbang belakang, mereka melihat seorang penjaga sedang berjaga. Penjaga itu tampak bosan dan mengantuk. Bintang dan Dayang Ratih bersembunyi di balik pohon dan menunggu penjaga itu lengah. Mereka mengatur napas dan mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terburuk.
Setelah beberapa saat, penjaga itu mulai menguap dan terlihat semakin mengantuk. Bintang memberi isyarat kepada Dayang Ratih untuk maju.
Dengan hati-hati, Bintang dan Dayang Ratih mendekati penjaga itu dari belakang. Bintang memukul kepala penjaga itu dengan batu yang ia bawa. Penjaga itu pingsan dan jatuh ke tanah tanpa suara.
"Cepat, Ratih," kata Bintang, nadanya panik. "Kita harus segera pergi sebelum ada yang melihat kita."
Bintang dan Dayang Ratih membuka gerbang belakang dan keluar dari istana. Mereka berlari secepat mungkin menuju hutan terlarang, meninggalkan istana dan kehidupan lama mereka di belakang.
Saat memasuki hutan terlarang, Bintang dan Dayang Ratih merasa merinding. Suasana di hutan itu sangat mencekam dan menakutkan. Pohon-pohon di hutan itu tampak tinggi dan rimbun, menghalangi cahaya bulan untuk masuk. Udara di hutan itu terasa dingin dan lembap, dipenuhi dengan bau tanah dan dedaunan busuk.
"Kita harus berhati-hati, Bintang," kata Dayang Ratih dengan nada khawatir, menggenggam tangan Bintang erat. "Hutan ini penuh dengan bahaya. Aku merasa ada sesuatu yang mengawasi kita."
"Aku tahu, Ratih," jawab Bintang, nadanya tegang. "Kita harus tetap waspada dan mengikuti peta dengan seksama. Kita tidak boleh tersesat di hutan ini."
Bintang dan Dayang Ratih terus berjalan menyusuri hutan terlarang. Mereka melewati jalan-jalan setapak yang sempit dan licin. Mereka juga harus menghindari jebakan-jebakan yang dipasang oleh makhluk-makhluk buas yang menghuni hutan itu. Mereka berjalan dengan hati-hati, mendengarkan setiap suara dan memperhatikan setiap gerakan di sekitar mereka.
Setelah beberapa jam berjalan, Bintang dan Dayang Ratih mulai merasa lelah dan lapar. Mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak di dekat sungai kecil. Mereka duduk di atas batu dan mengeluarkan bekal makanan yang mereka bawa.
Saat sedang beristirahat, mereka mendengar suara gemerisik di semak-semak. Bintang dan Dayang Ratih segera mengambil senjata mereka dan bersiap untuk bertarung. Jantung mereka berdebar kencang, adrenalin memompa darah ke seluruh tubuh mereka.
Tiba-tiba, seekor serigala besar keluar dari semak-semak dan menatap Bintang dan Dayang Ratih dengan tatapan lapar. Serigala itu menggeram dan menunjukkan gigi-giginya yang tajam. Air liur menetes dari mulutnya.
"Kita harus bertarung, Ratih," kata Bintang dengan nada tegang, memegang pedangnya erat. "Serigala itu ingin menyerang kita. Kita harus melindungi diri kita sendiri."
"Aku tahu, Bintang," jawab Dayang Ratih, mengambil busur dan anak panahnya. "Kita harus bekerja sama untuk mengalahkannya. Aku akan menembak anak panah, dan kau menyerangnya dengan pedangmu."
Bintang dan Dayang Ratih berdiri berdampingan dan menghadapi serigala itu. Mereka saling memberikan semangat dan dukungan. Mereka tahu, ini adalah pertarungan untuk hidup dan matinya Meraka.