Namaku Syahnaz Fakhira az-Zahra, berusia delapan belas tahun.
Aku baru saja menyelesaikan pendidikan selama enam tahun di Pondok Pesantren Darfal — sebuah pondok perempuan di salah satu kota di Jawa yang dikenal dengan kedisiplinan dan kedalaman ilmunya.
Selama enam tahun di sana, aku belajar banyak hal; bukan hanya tentang ilmu agama, tetapi juga tentang kehidupan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang berusaha menyeimbangkan antara iman dan ilmu, antara agama dan dunia.
Sejak dulu, impianku sederhana namun tinggi — melanjutkan pendidikan ke Universitas Al-Azhar di Kairo, menuntut ilmu di tanah para ulama. Namun, takdir berkata lain.
Di tahun kelulusanku, ayah meninggal dunia karena serangan jantung. Dunia seolah runtuh dalam sekejap.
Aku sangat down, tertekan, dan rapuh.
Sejak kepergian ayah, keadaan ekonomi keluarga pun memburuk. Maka, aku memilih pulang ke rumah, menunda impian ke luar negeri, dan bertekad mencari pekerjaan agar bisa membiayai ibuku sekaligus untk kuliah. 
lanjut? 🤭
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dia menerobos masuk!
Sudah beberapa bulan berlalu sejak malam di parkiran itu.
Kehidupan Syahnaz kini jauh lebih tenang. Perekonomiannya mulai stabil, bahkan meningkat. Ia kini berjualan aneka kue secara online di Jakarta, dan Alhamdulillah—setiap hari selalu ada saja pesanan yang masuk. Dalam sehari, kadang ia bisa mendapat lima ratus ribu hingga satu juta rupiah.
Syahnaz pun akhirnya memutuskan berhenti dari pekerjaan part-time di restoran milik orang tua Zio. Dua bulan bekerja di sana sudah cukup memberinya pengalaman. Sekarang, fokusnya hanya satu: mengembangkan usahanya.
Hari itu, Syahnaz baru saja pindah dari kos kecilnya ke sebuah kamar apartemen yang lebih luas di pusat kota. Zio membantunya mengangkut barang-barang dari kos lama. Setelah semuanya tertata rapi, Syahnaz duduk di sofa sambil menghembuskan napas lega.
> “Alhamdulillah... akhirnya selesai juga,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
Matanya menatap sekeliling apartemen yang kini menjadi tempat tinggal barunya.
Rasa syukur menyelimuti hatinya.
Namun, di balik senyum itu, masih ada sedikit bayangan ketakutan yang kadang muncul tanpa permisi—bayangan dari malam di parkiran itu.
> “Sepertinya aku harus beli bahan kue lagi, deh...” gumamnya sambil berdiri.
Ia turun ke lantai bawah menggunakan lift, lalu berjalan menuju parkiran. Motor barunya—yang baru seminggu lalu ia beli—terparkir manis di sudut.
Ia mengenakan helm, menyalakan mesin, lalu melaju menembus jalanan sore Jakarta yang ramai.
Sampai akhirnya, di lampu merah, pandangannya terpaku.
Beberapa meter di depannya, sekelompok pemotor melintas bersamaan. Mereka mengenakan jaket kulit hitam dengan logo kepala singa di bagian belakang.
Syahnaz menegang.
Napasnya tiba-tiba terasa berat.
> “Itu... jaket yang sama...” gumamnya dalam hati, jantungnya berdegup kencang.
“Sama persis seperti yang dipakai orang itu... waktu hampir mencelakaiku dulu...”
Tangannya sedikit gemetar di atas setang motor.
Suara mesin di sekitarnya seperti menghilang, berganti dengan gema suara teriakan dan langkah kaki dari malam yang pernah ia lupakan.
Sampai akhirnya—
> Tiiittttt!
Suara klakson membuyarkan lamunannya.
> “Ayo, Mbaaak!! Jangan bengong aja di jalan!” seru sopir angkot dari belakang.
Syahnaz tersentak. Ia segera menoleh dan memajukan motornya sedikit.
> “Iya, Pak... maaf,” jawabnya buru-buru.
Lampu berubah hijau. Ia melaju lagi, mencoba menepis rasa takut yang tiba-tiba datang tanpa permisi. Tapi jantungnya masih berdebar, dan matanya sempat menatap kaca spion beberapa kali—seolah memastikan tak ada yang mengikuti.
Sesampainya di toko bahan kue, Syahnaz memarkirkan motor dan mencoba menenangkan diri.
Ia menghembuskan napas pelan.
> “Udah, Naz... tenang aja. Itu cuma jaket... bukan mereka...” bisiknya menenangkan diri, meski hatinya tahu, rasa takut itu belum benar-benar pergi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Langkah kaki Syahnaz berhenti di depan toko bahan kue langganannya. Ia menarik napas pelan, lalu masuk dengan keranjang kecil di tangannya.
Tangannya cekatan mengambil beberapa bahan — tepung, keju, cokelat, mentega, dan susu kental. Namun, entah kenapa, dari tadi bulu kuduknya berdiri. Ada rasa seperti sedang diawasi.
Perlahan, ia menoleh ke belakang.
Kosong. Tak ada siapa pun.
> “Aduh, Syahnaz!!... Kamu aman kok di sini, nggak ada yang ngebuntutin kamu,” ujarnya mencoba menenangkan diri, meski suaranya sedikit bergetar.
Ia bergegas menuju kasir, membayar semua belanjaannya, lalu melangkah cepat ke parkiran. Setelah menaruh belanjaan di motor, ia langsung melaju pulang ke apartemen. Namun rasa gelisah itu tak mau hilang.
Sesampainya di area parkir apartemen, dari kejauhan ia melihat seseorang berbaju hitam berdiri di antara deretan mobil.
Sosok itu tidak bergerak.
Tapi arah pandangnya… tepat ke arahnya.
> “Siapa lagi itu, ya Allah?” gumamnya panik, detak jantungnya mulai tak beraturan. Ia segera menunduk dan berjalan cepat ke lift.
Begitu pintu lift tertutup, barulah ia bisa bernapas lega.
> “Alhamdulillah… lolos. Semoga aja itu bukan apa-apa, cuma perasaan aku aja,” bisiknya sambil menepuk dada pelan.
Lift berhenti di lantai delapan. Ia melangkah keluar dan berjalan ke kamarnya. Tangannya bergetar kecil saat membuka pintu. Baru saja hendak menutupnya—
tiba-tiba, seseorang dengan hoodie hitam menerobos masuk.
Pria itu cepat menutup pintu, lalu menguncinya dari dalam.
Syahnaz terkejut. Napasnya tercekat. Kantong plastik belanjaannya terlepas, isinya berserakan di lantai.
> “S-siapa kamu!!!??” suaranya pecah, tubuhnya gemetar hebat.
Orang itu tidak menjawab.
Perlahan, ia melepas masker yang menutupi wajahnya dan melangkah mendekat dengan tatapan dingin.
Syahnaz menelan ludah.
> “Hah… kamu?” suaranya lirih, mengingat sosok yang pernah membuatnya ketakutan berbulan lalu.
Pria itu tersenyum tipis, nyaris seperti ejekan.
> “Iya, ini gue. Kita ketemu lagi,” ucapnya santai, tapi nada suaranya menyimpan sesuatu yang menekan udara di ruangan itu.
> “Kamu mau apa dari saya!?” Syahnaz mundur perlahan sampai punggungnya menyentuh sofa. Tangannya diam-diam berusaha meraih ponsel di samping, tapi pria itu lebih cepat. Ia menarik ponsel itu dari tangan Syahnaz.
> “Lu mau nelpon orang?” katanya pelan — nada suaranya tenang, tapi mengandung ancaman halus yang membuat bulu kuduk meremang.
> “Tolong... tolong lepasin saya, saya cuman...” suara Syahnaz nyaris tenggelam. Air matanya mulai jatuh tanpa suara. Dalam hatinya, ia memohon penuh cemas: “Ya Allah... lindungi Syahnaz, tolong…”
Pria itu memandangi wajahnya lama, lalu tiba-tiba menghela napas berat dan duduk santai di sampingnya.
> “Tenang, gue nggak akan ngapa-ngapain lo,” ucapnya datar.
Perubahan sikap itu membuat Syahnaz terdiam. Ia tetap siaga, tapi kini lebih bingung daripada takut.
> “Perkenalkan, nama gue Reyhan Alt—ups, Reyhan Maheswara,” katanya sembari mengulurkan tangan.
> “Reyhan?...” batin Syahnaz bergemuruh panik. Tangannya tetap di pangkuan, menolak jabatan itu.
Reyhan menarik kembali tangannya dengan kikuk, menatap sekeliling ruangan untuk menutupi rasa canggung. Pandangannya berhenti di sebuah bingkai foto di meja kecil dekat televisi. Ia mengambilnya, lalu menatapnya lama sebelum kembali duduk di samping Syahnaz.
> “Ini... siapa lo?” tanyanya sambil melirik foto itu ke arah Syahnaz.
Syahnaz menatap foto itu sejenak, lalu menjawab pelan, “Itu Abiy... Dia udah meninggal enam bulan yang lalu.”
Hening.
Deg—
Seketika dada Reyhan terasa berat. Napasnya tercekat. Tatapannya kosong, seolah kata-kata Syahnaz barusan menampar sesuatu jauh di dalam dirinya.
Untuk pertama kalinya, ekspresi kerasnya luluh — berganti dengan tatapan kehilangan yang samar.
Tanpa aba-aba, setetes air mata jatuh dari mata Reyhan.
Syahnaz yang melihatnya mengerutkan alis.
“Kenapa dia nangis?... Itu kan Abiy-ku…” gumamnya pelan, bingung.
Ia menatap foto itu lagi dengan dada berdebar.
“Apa jangan-jangan… nggak, nggak mungkin. Ummi bilang Bang Reyhan udah nggak ada,” batinnya mencoba menyangkal.
“Kamu kenapa nangis? Ini kan ayahku?” tanya Syahnaz hati-hati.
Reyhan buru-buru mengusap air matanya, menatap ke arah lain.
“Nggak. Siapa yang nangis?” ucapnya cepat, pura-pura tenang.
Syahnaz menghela napas, menggumam pelan, “Aneh…”
Reyhan menoleh tajam.
“Lu bilang gue aneh?” suaranya rendah tapi menusuk.
Syahnaz terkejut. “Nggak... siapa yang bilang?” ujarnya terbata-bata.
Keheningan menebal beberapa detik — sampai akhirnya ponsel di tangan Reyhan berdering.
Nama Zio tertera di layar.
Reyhan menatap nama itu, lalu memandang Syahnaz dengan tatapan tajam.
Syahnaz melirik ponselnya, lalu menatap balik — tatapan Reyhan membuatnya menelan ludah, menahan diri untuk bicara.
“Nggak mau lu angkat?” ucap Reyhan pelan, suaranya seperti peringatan.
“...I-iya mau,” jawab Syahnaz gugup, lalu mengambil ponselnya.
Ia menekan tombol hijau.
“Assalamu’alaikum… Ha-halo, Zio?” suaranya gemetar.
“Syahnaz… lu kenapa?” tanya Zio curiga mendengar suara Syahnaz yang terdengar ketakutan.
Syahnaz menelan ludah, menoleh sekilas pada Reyhan yang kini berdiri sangat dekat di belakangnya.
“Ouh, hehe... nggak papa. Aku tadi cuma baca artikel serem aja,” katanya cepat, mencoba menutupi kegugupannya.
untuk desain Visualnya bagus membuat para pembaca bisa masuk ke alurnya.
Salam literasi.
sambil baca sambil mikir berarti lulus SMAnya umur 17th.