NovelToon NovelToon
DI UJUNG DOA DAN SALIB : RENDIFA

DI UJUNG DOA DAN SALIB : RENDIFA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / Romansa / Office Romance
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

“Sakitnya masih kerasa?”
“Sedikit. Tapi bisa ditahan.”
“Kalau kamu bilang ‘bisa ditahan’ sambil geser duduk tiga kali … itu artinya nggak bisa, Dhifa.”
“Kamu terlalu kasar tadi pagi,” batin Nadhifa.
***
Renzo Alverio dan Nadhifa Azzahra saling mencintai, tapi cinta mereka dibatasi banyak hal.
Renzo, CMO Alvera Corp yang setia pada gereja.
Nadhifa, CFO yang selalu membawa sajadah dan mukena ke mushola kantornya.
Hubungan mereka tak hanya ditolak karena beda keyakinan, tapi juga karena Nadhifa adalah anak simpanan kakek Renzo.
Nadhifa meski merasa itu salah, dia sangat menginginkan Renzo meski selalu berdoa agar dijauhkan dari pria itu jika bukan jodohnya
Sampai akhirnya suatu hari Renzo mualaf.
Apakah ada jalan agar mereka bisa bersatu?
*
*
*
SEKUEL BILLIORAIRE’S DEAL : ALUNALA, BISA DIBACA TERPISAH

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17. ANAK ADOPSI NADHIFA

Jam dua belas siang, matahari di luar panas sekali, tapi di basement apartemen suasananya teduh dan sunyi.

Nadhifa berhenti di dekat tiang B4. Pintu geser mobil terbuka. Sosok tinggi menjulurkan kepalanya, sedikit ragu. Rambutnya agak acakan, kulitnya sawo matang, dan sorot matanya tajam tapi hangat. Pemuda itu berdiri dengan gaya sederhana, tapi cukup untuk membuat siapa pun menoleh.

“Yuda,” panggil Nadhifa pelan, mengulurkan tangan.

Yuda tersenyum kecil. “Bunda…”

Tangannya yang besar menggenggam jemari Nadhifa. Masih seperti dulu. Hangat dan sedikit berkeringat. Tapi kali ini berbeda. Ia bukan anak kecil yang dulu dituntun ke sekolah. Ia sudah tumbuh jadi laki-laki, dan hari ini akan tinggal bersamanya lagi.

Mereka berjalan berdua menuju lift. Yuda menarik koper hitam di tangan kanannya, sementara tas ransel disandang di punggung.

“Maaf ya, Bund,” katanya pelan di dalam lift. “Kalau aku malah bikin masalah di rumah tangga Bunda.”

Nadhifa menoleh, menahan napas. “Kamu nggak salah, Nak.”

“Bunda sama suaminya … baru nikah, ‘kan?”

“Iya.”

“Dan aku datang kayak badai, ya?” gumamnya, menunduk.

Nadhifa tersenyum, meski rasanya kaku. “Bukan kamu yang datang kayak badai. Bunda yang mungkin terlalu lama diam. Harusnya sejak awal Bunda bilang ke suami Bunda tentang kamu.”

Lift berdenting. Mereka naik perlahan, dan Nadhifa bisa merasakan degup jantung Yuda makin cepat. Ia tidak bicara, tapi ia tahu pikirannya gelisah.

“Yud,” bisiknya, menggenggam lengannya sebentar. “Nggak semua orang bisa langsung menerima. Tapi Mas Renzo orang baik. Dia butuh waktu. Kita sabar, ya?”

Yuda mengangguk pelan. “Kalau dia galak?” tanyanya, berusaha santai, tapi matanya tidak bisa bohong.

Nadhifa tertawa kecil. “Ya kamu bantu Bunda, supaya dia nggak galak. Kamu anak yang baik, Yud. Kamu bukan orang asing di hidup Bunda. Kamu bagian dari keluarga.”

Yuda mendesah pelan, menatap angka di lift yang terus naik. “Kalau dia suruh aku pergi … Bunda pilih siapa?”

Pertanyaan itu menusuk. Nadhifa menatapnya tegas. “Bunda nggak perlu pilih. Karena kamu bukan pilihan. Kamu bagian dari hidup Bunda. Dari dulu.”

Lift berhenti di lantai mereka. Pintu terbuka.

Dan Nadhifa hanya bisa berharap, satu hati yang sedang kecewa di balik pintu kamar nanti, bisa sedikit lebih lapang.

...***...

Langkah kaki terdengar dari balik pintu apartemen. Renzo duduk di sofa ruang tengah. Buku yang sejak setengah jam lalu ia buka tak bergeser satu halaman pun. Bahkan judulnya pun tak ia ingat.

Bunyi pintu. Dan suara itu.

“Assalamu’alaikum.”

Suara Nadhifa—pelan, hati-hati. Seolah menyadari udara di dalam ruangan itu masih dingin meski AC sudah mati sejak pagi.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Renzo, tanpa menoleh.

Ia mendengar roda koper ditarik masuk. Suara resleting terbuka. Nadhifa sibuk menuntun anak itu ke dalam. Anak atau laki-laki? Sulit menentukan, saat usianya hanya terpaut dua puluh tahun dari Renzo. Seumuran dengan anak kakak sepupu Renzo yang tinggal di unit seberang, Arshen.

Dia Yuda. Namanya begitu ringan diucapkan, tapi terasa berat di dada Renzo.

Ia menoleh perlahan. Pemuda itu berdiri di ambang ruang tengah—tinggi, wajah bersih, tampak cukup sopan untuk tidak langsung menjulurkan tangan. Dia menunduk, meletakkan koper pelan-pelan, lalu melangkah mendekat. Menyalami Renzo dengan hati-hati.

“Om Renzo,” katanya lirih.

Renzo hanya mengangguk, tak bicara. Tangannya mengusap pelipis. Bukan karena tak mau menerima, tapi kenapa semua ini baru sekarang? 

Kenapa setelah mereka tidur satu ranjang, satu selimut, satu doa. Justru hari ini ia harus menyambut seorang laki-laki yang memanggil istrinya ‘Bunda’?

Nadhifa dan Yuda masuk ke kamar tamu. Renzo bisa mendengar suara lemari dibuka, lipatan baju, dan suara Nadhifa yang seperti mencoba menormalkan segalanya. Seolah semua baik-baik saja. Seolah ia sudah setuju.

Renzo berdiri. Langkahnya membawanya ke arah kamar utama. Di lorong pendek itu ia sempat melihat Yuda sekilas. Pandangan pemuda itu jujur. Takut. Tapi bukan pembangkang. Ada rasa ingin diterima di dalamnya. Renzo bisa melihat itu.

Tapi luka di hatinya masih segar. Dan luka dari orang yang paling dipercaya, rasanya pahit sekali.

Ia masuk ke kamar dan menutup pintu.

Hening. Tapi tidak tenang.

Entah ia sedang cemburu pada masa lalu, atau hanya takut kehilangan masa depan yang belum sempat benar-benar ia bentuk bersama Nadhifa.

Yang ia tahu, hari ini rumah itu bertambah satu penghuni. Tapi di dadanya terasa seperti ruang makin sempit.

...***...

Nadhifa menyusun piring dengan tangan bergetar. Ikan goreng yang tadi ditiriskannya perlahan ia letakkan di tengah meja makan. Nasi masih mengepul. Sayur bening bayam dan jagung manis ia keluarkan dari panci. Sendok diaduk pelan, takut mengganggu suasana yang belum juga benar-benar tenang.

Yuda duduk di kursi ujung. Ia melipat tangannya di atas paha, tak menyentuh apa pun. Sorot matanya sesekali mencuri pandang ke arah lorong kamar—ke arah pintu kamar Renzo yang tertutup rapat sejak mereka datang.

“Bunda, boleh aku makan nanti aja?”

Nadhifa menoleh, lalu duduk di sebelahnya. “Yuda, kamu nggak salah. Jangan bikin dirimu merasa harus minta maaf atas kehadiranmu.”

“Tapi ... Ayah maksudnya Om Renzo…” Yuda ragu menyebutnya. “…marah.”

Senyum Nadhifa kaku. Tangannya mengelus pundaknya. “Biar Bunda yang bicara.”

Langkahnya pelan menuju kamar. Nafasnya panjang, terasa seperti hendak mengetuk hati seseorang yang dulu ia temui sebagai pria tegas dan hangat—yang bahkan tak pernah meninggikan suara saat marah. Tapi kali ini, ia merasa salah.

“Mas,” panggilnya pelan dari balik pintu.

Tak ada sahutan.

Ia mengetuk dua kali, tak keras. “Boleh aku masuk?”

Masih diam.

Nadhifa memutar kenop pelan. Tak dikunci. Ia masuk, mendapati Renzo duduk di tepi ranjang, membelakangi pintu.

“Maaf …,” bisik Nadhifa, hampir tak terdengar.

Renzo tidak menoleh.

Langkahnya gemetar. Ia mendekat dan berlutut di depannya, menatap wajahnya yang dingin tapi matanya basah. Tangannya menggenggam tangan Renzo, lalu menunduk, mencium punggungnya.

“Aku bodoh … aku terlalu takut kamu pergi kalau tahu aku punya anak adopsi … aku salah. Tapi Yuda ... dia anak baik, Mas. Tapi aku yang memutuskan menyayanginya. Dari kecil, dari usianya empat tahun,” ucapnya terisak. “Aku cuma, takut kamu pergi makanya baru aku kasih tau setelah menikah.”

Tangannya gemetar. Air matanya pecah.

Renzo menunduk, menarik nafas panjang, lalu mengangkat tangannya. Tangannya yang besar menangkup pipi Nadhifa, menghapus air mata yang jatuh tanpa suara.

“Nadhifa …,” ujarnya lembut. “Aku nggak marah karena kamu punya anak adopsi. Aku marah karena kamu merasa perlu sembunyi dariku. Aku merasa gagal jadi orang yang bisa kamu percaya.”

Nadhifa menunduk lagi, air matanya mengalir makin deras.

Renzo meraihnya pelan, membiarkannya menyandarkan kepala di dadanya. “Aku cuma butuh waktu. Aku belum bisa, ngobrol atau tertawa sekarang. Tapi, aku sudah terima dia, Nadhifa.”

Napas Nadhifa tertahan.

“Aku terima, karena kamu. Karena aku tahu setiap keputusan kamu pasti lahir dari hati yang nggak pernah main-main,” lanjutnya.

Lengan Renzo melingkar di punggungnya. “Aku akan belajar jadi Ayah. Tapi izinkan aku belajar, dengan caraku.”

Nadhifa mengangguk dalam pelukan itu. Tangisnya pelan, tapi kali ini bukan karena luka, melainkan karena cinta. Karena rasa syukur. Karena suaminya tak pernah berubah. Tetap pria yang menghormatimu sepenuh hati.

Waktu Dzuhur sudah masuk sejak beberapa menit lalu. “Sholat yuk, kita berjamaah,” ajaknya.

1
Esti Purwanti Sajidin
syemangat kaka,sdh aq vote👍
Marsshella: Makasi semangatnya Kaka, makasi udah mampir ya. Selamat datang di kisah Renzo dan Nadhifa 🥰
total 1 replies
kalea rizuky
najis bgt tau mual q thor/Puke/ kok bs alarik suka ma cwok pdhl dia bersistri apakah dia lavender marrige
Marsshella: di Alunala Alaric dia udah tobat kok dan punya anak kesayangan. Ini giliran ceritanya si Renzo 😭😭😭😭😭
total 1 replies
kalea rizuky
njirr kayak g ada perempuan aja lubang ta.... *** di sukain jijik bgt
kalea rizuky
gay kah
Wina Yuliani
tah ge ing ketahuan jg brp umur.mu nak
Marsshella: dah jadi pria matang ya 😭
total 1 replies
Wina Yuliani
emangnya mereeka beda berapa tahun ya thor?
Marsshella: seumuran mereka 😄. Kakeknya Renzo tuh punya simpanan muda dan itu Nadhifa anaknya Kakek Renzo ... ikutin terus ceritanya, ya, ada plot twist besar-besaran 🥰
total 1 replies
Wina Yuliani
ternyata ada kisah cinta terlarang yg nambahin kerumitan hidup nih
Marsshella: ada plot twist ntar 🔥
total 1 replies
Wina Yuliani
baru baca tapi udah seru, keren
Marsshella: Welcome to kisah Renzo dan Nadhifa, Kak. Ikutin terus ceritanya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!