Viora Zealodie Walker, seorang gadis cantik yang memiliki kehidupan nyaris sempurna tanpa celah, namun seseorang berhasil menghancurkan segalanya dan membuat dirinya trauma hingga dia bertekad untuk mengubur sikap lemah, lugu, dan polosnya yang dulu menjadi sosok kuat, mandiri dan sifat dingin yang mendominasi.
Bahkan dia pindah sekolah ke tempat di mana ia mulai bangkit dari semua keterpurukan nya dan bertemu dengan seseorang yang diam-diam akan mencoba merobohkan tembok pertahanan nya yang beku.
Sosok dari masa lalu yang dia sendiri tidak pernah menyadari, sosok yang diam-diam memperhatikan dan peduli pada setiap gerak dan tindakan yang di ambilnya.
Agler Emilio Kendrick ketua geng motor besar yang ada di jakarta selatan sana... Black venom.
Dia adalah bad boy, yang memiliki sikap arogan.
Dan dia adalah sosok itu...
Akankah Agler berhasil mencairkan hati beku Viora dan merobohkan dinding pertahanan nya, atau cintanya tak kunjung mendapat balasan dan bertepuk sebelah tangan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARQ ween004, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
semesta terlalu bercanda menghadirkan luka tanpa jeda
Sorak-sorai dari dalam aula makin menggema. Sorotan lampu menari di langit-langit — tanda acara Cultural Gala benar-benar telah dimulai.
Di belakang panggung, suasana semakin riuh. Panitia dan peserta berlalu-lalang dengan langkah cepat, para teknisi masih sibuk menyempurnakan transisi panggung, sementara aroma hairspray dan parfum bercampur memenuhi udara.
Di tengah hiruk-pikuk itu, Qyler berdiri menunduk di depan cermin besar ruang ganti band.
Tangannya memutar pick gitar di antara jari, tatapannya fokus — dalam, tapi tenang.
Sean menepuk bahunya pelan.
“Bro, lo udah siap, kan? Lima menit lagi giliran kita.”
Qyler hanya mengangguk. Belum sempat menjawab, suara langkah tergesa terdengar dari arah pintu belakang panggung.
“Qyler!”
Suara lembut dan familiar itu membuatnya menoleh cepat. Begitu pintu terbuka, tampak sosok wanita cantik nan elegan dalam balutan gaun biru tua — Zora Almadya Kendrick, mamanya. Di sebelahnya berdiri seorang pria berwibawa bersetelan jas abu tua — Daniel Cristian Kendrick, ayah sambungnya.
“Mama… Daddy? Kalian di sini?”
Qyler spontan bangkit, sedikit terkejut. Ia tak menyangka mereka akan datang.
Zora menghampiri lebih dulu. Senyumnya hangat, matanya berkilat bangga.
“Kami nggak mau ketinggalan lihat penampilan kamu malam ini,” ucapnya sambil menangkup lembut kedua pipi putranya.
Daniel menambahkan dengan nada penuh kebanggaan,
“Lihat putra Daddy yang satu ini. Pintar, berani, dan siap nunjukkin bakatnya di depan banyak orang. Daddy bangga banget sama kamu.”
Qyler tersenyum kecil, tapi matanya beberapa kali melirik ke arah seorang pemuda yang sedari tadi sibuk mengecek kabel mic — seolah tak terusik oleh kehadiran mereka.
Zora mengikuti arah pandangan itu.
"Eh... Agler. Kamu lagi ngapain, nak?"
Daniel ikut menoleh dan berjalan mendekat.
“Kamu nggak ada niat mencontoh adikmu, Qyler? Lihat dia — rapi, tenang, berkarisma. Bahkan dari cara berdirinya aja kelihatan anak yang punya arah hidup. Coba lihat diri kamu sendiri,” katanya sambil menatap Agler dari ujung kepala hingga kaki.
“Kamu bahkan nggak bisa merawat diri, apalagi punya arah hidup. Mau jadi apa kamu ini? Mau selamanya jadi beban?”
Agler menghentikan aktivitasnya dan berdiri tegak, menatap pria yang disebutnya “Daddy” itu lurus-lurus.
“Aku nggak perlu contoh siapa pun. Aku punya cara dan jalan hidup sendiri. Daddy tenang aja, meskipun Daddy anggap aku beban — setidaknya aku masih bisa hidup waras dengan caraku.”
Daniel mendengus.
“Cara kamu yang makin nggak berguna itu maksudnya? Nongkrong, clubbing, tawuran, balapan liar bareng anak jalanan? Kamu pikir Daddy nggak tahu kehidupan kamu tiap malam?”
Nada suaranya meninggi, sampai Zora buru-buru menengahi.
“Mas…” bisiknya dengan nada menegur. “Jangan sekarang. Tolong.”
Daniel menghela napas berat.
“Lihat orang yang kamu benci ini masih peduli sama kamu, Agler. Harusnya kamu—”
“Aku nggak butuh kepedulian siapa pun, apalagi dari dia!” Potong Agler tajam, menunjuk ke arah Zora.
“Kalau dia benar-benar peduli, dia nggak bakal merebut kebahagiaan orang lain sampai bikin seseorang itu meninggal.”
Zora tertegun. Matanya bergetar, tapi tak sanggup berkata sepatah kata pun.
“Agler! Jaga sikap kamu! Dia mama kamu sekarang! Kamu nggak berhak bicara seperti itu!” bentak Daniel.
Agler mengeraskan rahang. Suaranya dingin dan tegas.
“Dia cuma istri Daddy. Bukan mamaku. Mamaku cuma satu — dan dia udah tenang di surga sana… berkat keegoisan kalian.”
Suasana langsung membeku. Beberapa panitia yang lewat menunduk, pura-pura tak mendengar.
Zora menelan ludah, mencoba tersenyum samar meski jelas hatinya terguncang.
Daniel berdiri kaku — entah menyesal, entah hanya merasa tak dihormati.
Beberapa detik kemudian, suara pembawa acara menggema dari speaker.
“Dan sekarang, penampilan yang sudah ditunggu-tunggu — Band perwakilan dari Starlight School! Give it up for Qyler and The Skyline!”
Sorak-sorai penonton langsung membuncah.
Lampu-lampu menyala ke arah panggung.
Qyler menarik napas panjang, menatap gitar di tangannya — lalu sekilas, menatap arah pintu tempat Agler menghilang barusan.
Ada sesuatu di matanya… campuran antara rasa bersalah dan luka lama yang kembali terbuka.
Ia melangkah ke atas panggung, ke tengah cahaya yang menyilaukan — sementara di balik bayangan panggung, Agler berhenti sejenak, menatap dari kejauhan.
Tatapannya tajam, bukan benci — tapi penuh luka yang terlalu dalam untuk disembuhkan.
...----------------...
Sorotan lampu menembus tirai panggung, berpendar ke segala arah seperti semburat bintang yang pecah. Suara teriakan penonton bergema hingga ke langit-langit aula besar Starlight School.
Semua mata tertuju pada satu titik — sosok pemuda berjaket hitam dengan gitar putih tergantung di bahunya.
Qyler melangkah ke tengah panggung, langkahnya mantap, namun matanya menyimpan gelombang yang tak bisa ia redam.
Dari balik cahaya, pandangannya menembus ribuan wajah di depannya, tapi pikirannya masih tertinggal di backstage — bersama kata-kata tajam dan punggung Agler yang menjauh tanpa menoleh.
Sorotan lampu kini hanya padanya. Empat anggota lain — Sean, Luki, Jhonatan, dan Sagara — sudah bersiap di posisi masing-masing. Riuh tepuk tangan mereda ketika Qyler mendekat ke mic.
Suara beratnya terdengar jelas di tengah sunyi sesaat itu.
“Selamat malam, Starlight…”
Senyum tipis terukir, tapi matanya tetap redup.
“Lagu pertama malam ini… buat seseorang.
Yang mungkin lagi berdiri di balik bayangan.”
Luki menghitung tempo dengan stik drum.
“Three, two, one—!”
Dentuman drum pertama memecah udara. Petikan gitar Qyler menyusul, cepat dan tajam, menghantam dengan energi muda yang membara, tapi juga getir.
Lampu-lampu menari liar di antara sorakan penonton, sementara kabut tipis dari efek asap menciptakan atmosfer megah dan magis.
Namun di balik kemegahan itu, hati Qyler masih bergetar.
Setiap bait lagu yang ia nyanyikan terasa seperti seruan, bukan hanya untuk penonton — tapi untuk seseorang di balik tirai gelap___Agler.
You walked away in silence,
Kamu pergi tanpa sepatah kata,
left me chasing the light you broke...
meninggalkan aku mengejar cahaya yang kamu hancurkan...
I’m standing here, in your shadow —
aku berdiri di sini, di bawah bayang-bayangmu,
Trying to make the sound of home…
Mencoba menciptakan gema rumah yang hilang.
Nada-nada itu meluncur penuh perasaan.
Suara Qyler serak di ujung, bukan karena lelah, tapi karena emosi yang menumpuk.
Ia menatap ke arah sayap panggung, seolah tahu di sana, di balik gemerlap lampu, seseorang mungkin masih berdiri — menatap balik dengan hati yang sama-sama retak.
...----------------...
Di balkon publikasi, kamera-kamera terus merekam setiap detik penampilan itu.
Namun di antara para kru, Zea duduk terpaku, matanya tak lepas dari sosok Qyler di bawah sana.
Cahaya panggung memantul di wajahnya, tapi bayangan pikirannya jauh lebih gelap dari yang terlihat.
Ia berusaha fokus pada layar monitor, pada frame, pada pekerjaan — tapi suara Qyler, lirik lagunya, dan tatapan sendu itu menyeretnya masuk ke dunia lain.
Sebuah dunia yang kini kembali berantakan setelah pertemuan singkat di balkon tadi.
Kata-kata Rafka masih berputar di kepalanya.
“Maaf… Aku benar-benar minta maaf.”
Dan pelukan itu… pelukan yang dulu begitu menenangkan, kini justru terasa menyayat.
Bagaimana mungkin sesuatu yang dulu berarti kehangatan kini berubah jadi luka yang tak bisa hilang?
Zea menggenggam headset-nya erat, menunduk, menahan sesak yang tiba-tiba naik ke dada.
Di layar, wajah Qyler muncul dalam close-up — matanya menatap lurus ke depan, tapi pandangan itu kosong.
Entah kenapa, Zea merasa seperti sedang melihat dirinya sendiri, dua jiwa yang sama-sama mencoba tampil kuat, tapi retak di dalam.
You said I’d never fade,
Kamu bilang aku takkan pernah hilang,
But your words cut deeper than pain…
Tapi kata-katamu menusuk lebih dalam dari rasa sakit.
Now I’m singing just to feel alive again…
Sekarang aku bernyanyi hanya untuk merasa hidup kembali.
Sorotan lampu berganti warna — dari putih terang menjadi keemasan lembut, menciptakan aura hangat yang kontras dengan isi liriknya.
Penonton mulai mengangkat ponsel mereka, menciptakan lautan cahaya kecil yang berkelap-kelip di tengah aula.
Qyler menutup mata sejenak saat nada bridge mengalun. Di momen itu, bayangan Agler kembali muncul di pikirannya. Wajah kakaknya, penuh amarah tapi juga luka. Dan di tengah ribuan sorak, Qyler justru merasa sendirian.
Tangannya menekan senar terakhir dengan hentakan keras, suara gitar menggema panjang sebelum akhirnya berhenti.
Sunyi sepersekian detik… lalu ledakan tepuk tangan dan teriakan penonton memecah udara.
Namun Qyler hanya menunduk.
Senyum muncul di bibirnya, tapi matanya tetap sendu. Bibirnya berbisik nyaris tak terdengar,
“Maaf…”
...----------------...
Dari kejauhan, di lorong gelap belakang aula, Agler berdiri diam. Ia mendengar semuanya — setiap bait, setiap denting gitar, setiap sorakan.
Satu tangan di saku, satu lagi menggenggam kertas rundown yang kini kusut di genggaman.
Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, tapi matanya… jelas berkaca.
Maaf,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar di antara gemuruh tepuk tangan. “Semesta terlalu bercanda menghadirkan luka… sampai kita lupa, dulu pernah berjalan di arah yang sama.”
Ia menatap ke arah panggung terakhir kali sebelum berbalik pergi. Langkahnya pelan, menembus keramaian.
Di atas panggung, Qyler berdiri di bawah sorotan lampu terakhir — sementara di balkon, Zea masih menatap ke arahnya, sama-sama terjebak dalam kisah yang belum selesai.
Cahaya dan bayangan kembali bertemu malam itu.
Namun bukan untuk saling menyembuhkan, melainkan untuk saling mengingatkan,
bahwa luka lama belum benar-benar berakhir.
~Makna dari lagu yang Qyler nyanyi kan adalah tentang kesedihan dan kehilangan yang mendalam, serta perjuangan untuk mencari diri sendiri dan mencipta kembali rasa nyaman dan keakraban yang hilang.~
...----------------...
Di dalam aula, sorak-sorai masih menggema.
Lampu-lampu panggung berputar liar, musik mengguncang udara — seolah malam itu hanya milik tawa dan tepuk tangan.
Namun di luar gerbang Starlight, dunia terasa berbeda.
Angin malam berembus membawa aroma logam dan asap kendaraan, bercampur dengan suara yang menusuk dari kejauhan — raungan sirene ambulans yang memecah hiruk-pikuk pesta.
Sirene itu sempat tertelan oleh kebisingan acara, nyaris tak terdengar oleh siapa pun yang masih tenggelam dalam euforia. Tapi di luar sana, seseorang sedang berjuang melawan waktu.
Lampu merah-biru bergantian menyala di depan gerbang sekolah, memantul di permukaan aspal yang basah oleh embun.
Beberapa petugas medis berlari tergesa, membuka pintu belakang ambulans — suara mereka bersahutan.
“Satu, dua, tiga — angkat!”
Tubuh seseorang diusung ke dalam ambulans. Darah menetes dari hidungnya, wajahnya pucat nyaris tanpa gerak. Matanya terpejam, napasnya berat dan tersendat-sendat.
Salah satu petugas berteriak,
“Ke Rumah Sakit Brawijaya! Cepat! Kondisinya kritis!”
Ambulans kembali meraung, menembus padatnya jalanan malam Jakarta.
Di dalamnya, seorang gadis menggenggam erat tangan yang terkulai lemas di atas brankar.
“Gue mohon... bertahan,” isaknya pelan.
"Sampai kapan lo mau sembunyiin ini semua dari dia?” Lanjut nya parau tapi tegas, terdengar di sela getar mesin dan sirine.
“Dia berhak tahu... biar kalian gak terus saling menyalahkan dan menyakiti kayak gini.”
Kata-kata itu tenggelam bersama raungan sirene yang semakin menggila — membawa kepanikan yang nyata.
Ban ambulans berdecit di aspal, meninggalkan bayangan bergetar di bawah cahaya lampu jalan.
Tak ada satu pun yang tahu siapa orang itu.
Tidak panitia, tidak penonton, bahkan tidak mereka yang berdiri di bawah gemerlap panggung.
Namun malam itu, di antara gemuruh musik dan tepuk tangan, takdir sedang berputar diam-diam.
Dan di tempat berbeda — jauh dari keramaian aula — Agler berdiri di trotoar seberang jalan. Tatapannya kosong, tubuhnya tegang. Dari ujung jalan, suara ambulans yang melintas cepat membuatnya menoleh seketika.
Ia sempat melihat sekilas — lambang Starlight School yang memantul di kaca belakang kendaraan itu. Sekujur tubuhnya menegang tanpa tahu alasan pasti.
“Apa... yang barusan terjadi?” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Cahaya merah sirene memantul di wajahnya — menorehkan warna luka di mata yang sudah lama kehilangan cahaya.
Agler berdiri diam di sana, tanpa tahu bahwa malam itu, — saat sorot lampu menyoroti Qyler di atas panggung — takdir telah memilih seseorang untuk jatuh.
Zea
kenapa kamu lupa ingatan...
apakah sebelum nya Violet sudah bertunangan dengan Agler...
lanjut Thor ceritanya
sudah 2 kali bikin kecelakaan buat Zea/ Vio
apakah yg terjadi..
lanjut thor ceritanya
semoga aja kebusukan Friska & pacar nya
kebongkar tentang hubungan mereka...
terutama tentang kecelakaan Zea...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
yg menatap nya secara dlm...
lanjut thor ceritanya
sosok misterius itu???
lanjut thor
love u sekebon buat para readers ku🫶🫶