NovelToon NovelToon
Menikahi Ayah Sang Pembully

Menikahi Ayah Sang Pembully

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Balas Dendam / CEO / Cinta Terlarang / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: penyuka ungu

Hidup Elena pernah hancur karena Sean, si populer SMA yang menjadikannya bahan hinaan dan meninggalkan luka batin yang begitu mendalam. Ia bersumpah, suatu hari nanti dendam itu harus terbalas.

Lima tahun kemudian, Elena kembali sebagai wanita yang kuat. Namun takdir justru mempertemukannya dengan Damian, ayah Sean, seorang duda mapan penuh wibawa. Di sanalah ia melihat kesempatan manis yaitu dengan menikahi ayah pembully-nya.

Kini, Elena bukan lagi korban, melainkan ibu tiri Sean. Tapi yang tidak pernah ia duga, Damian terlalu tulus dan membuat hatinya goyah. Antara dendam dan cinta, manakah yang akhirnya akan ia pilih?
Dan bagaimana jika Damian akhirnya tahu bahwa pernikahan mereka hanyalah bagian dari balas dendam pada anaknya sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penyuka ungu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

17. Bertemu Masa Lalu

Aula rumah Barley Hill semakin ramai. Deru musik lembut berpadu dengan riuh obrolan para tamu undangan yang datang silih berganti. Aroma manis dari meja jamuan di tepi ruangan menyebar, menggoda siapa pun yang melangkah mendekat.

Elena menatap ke arah meja besar yang dipenuhi tumpukan makanan penutup beraneka rupa, seperti kue berlapis krim, cokelat berbentuk bulat kecil, hingga menara croquembouche yang dihiasi bunga-bunga putih. Pesta ini memang terasa seperti di negeri dongeng.

“Wow… sangat beragam dan kelihatan enak,” ucap Elena kagum, lalu melirik Damian yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi datar. Pria itu tampak lebih sibuk memperhatikan tamu-tamu di sekitar daripada makanan di depannya.

“Apa itu tadi?” tanya Damian sambil menoleh, “Damian?”

“Om kan memang Damian,” jawab Elena santai. “Apa Om punya nama lain? Kenapa terlihat tidak terima?” Ia lalu mengambil sepotong kue kecil dan menggigitnya. Matanya langsung berbinar, “Emm… ini enak sekali. Om mau?” ucapnya sambil menyodorkan kue yang sudah digigit.

Damian hanya menggeleng halus dan menatap ke arah lain, jelas menolaknya.

Elena menarik tangannya dan mengangkat bahu, “Baiklah, kalau tidak mau,” ujarnya, lalu menghabiskan kue itu dengan nikmat.

Beberapa detik kemudian, Damian kembali menatapnya.

“Dan juga,” ucapnya tegas, “Kenapa kau tidak memberitahukan yang sebenarnya soal kita pada Tuan Barley? Dia pasti sedang berpikir yang tidak-tidak sekarang.”

Elena berhenti mengunyah, lalu menatap Damian dengan senyum kecil, “Apa aku begitu setidakpantas itu mendampingi Om?”

“Apa maksudmu?”

“Lihat Om tamu-tamu di sini.” Elena membelakangi meja jamuan, menunjuk ke arah kerumunan yang penuh tawa, “Mereka semua datang berpasangan, bergandengan, dan berlagak seperti kekasih sungguhan. Siapa yang tahu, mungkin sebagian hanya berpura-pura.”

Tatapannya kemudian kembali pada Damian, “Tuan Damian Evans, pria yang dikenal dingin dan anti wanita, tiba-tiba datang membawa seorang wanita ke pesta sebesar ini. Pasti Om jadi bahan omongan. Dan lihat itu,” Ia menggerakkan dagunya ke arah sekelompok wanita di ujung ruangan yang memang mencuri pandang ke arah mereka, “Mereka melirik Om dengan mata lapar. Aku yakin mereka akan langsung menghampiri kalau aku tidak ada di sini.”

Elena tersenyum tipis, “Daripada memperkenalkanku sebagai sekretaris, bukannya lebih baik kalau aku jadi pasangan Om malam ini? Setidaknya sampai pesta ini selesai.”

Damian menatap Elena lama, sorot matanya tajam dan serius, sebelum akhirnya menghela napas berat.

“Pokoknya tidak bisa, Elena,” ucapnya mantap, “Aku mengkhawatirkanmu. Kalau mereka mengira kita benar-benar punya hubungan, kau akan jadi sasaran. Mereka akan berusaha mendekatimu hanya untuk mencari tahu tentangku.”

Elena tersenyum santai, seolah kekhawatiran itu tidak berarti apa-apa, “Untuk apa ditakutkan, Om? Aku tidak takut pada apa pun.”

“Tapi—”

“Damian.”

Belum sempat Damian menyelesaikan kalimatnya, suara lembut seorang wanita memanggil dari belakang.

Damian spontan menoleh, cukup terkejut dengan seseorang yang tidak ia sangka bisa hadir di acara ini.

Elena seketika mengernyit begitu melihat seorang wanita anggun bergaun hitam elegan melangkah mendekat dengan percaya diri. Gaun itu terbuka di bagian bahu, dihiasi perhiasan perak yang berkilau indah.

“Siapa dia?” batin Elena, memperhatikan dari ujung kepala hingga kaki wanita itu.

“Anne,” ucap Damian perlahan.

Wanita itu tersenyum lembut, lalu berdiri di sisi Damian, seolah posisi itu sudah menjadi tempatnya sejak lama. Tatapannya berpindah ke arah Elena yang masih diam di tempat.

“Kau di sini?” tanya Damian dengan nada heran.

“Iya,” jawab Anne sambil menatap Damian, “Tuan Barley mengundangku. Setelah kita bercerai, beliau memang sesekali menanyakan kabarku.”

“Ah,” batin Elena cepat, “Mantan istrinya rupanya.”

Anne menatap Damian dengan pandangan hangat, “Bagaimana kabarmu, Damian? Sean akhir-akhir ini jarang berkunjung.”

Damian tersenyum tipis, “Aku baik. Dan soal Sean, aku akan menasihatinya untuk berkunjung lagi. Dia memang agak memberontak belakangan ini, tapi aku tahu cara menanganinya.”

Anne mengangguk pelan, “Tentu, aku percaya padamu.”

Pandangan Anne kemudian beralih pada Elena, “Dan dia…?”

Damian baru menyadari Elena yang sejak tadi diam di sampingnya, “Dia Elena,” jawabnya singkat.

Anne mengulurkan tangan, senyumnya tetap terjaga, “Anne.”

Elena membalas dengan sopan, “Elena.”

Jabatan tangan mereka singkat namun menyiratkan banyak hal, mulai dari pengakuan, penilaian, dan sedikit rasa ingin tahu.

Tiba-tiba, suara berat seorang pria memecah suasana.

“Anne!”

Seorang pria berperawakan tegap datang menghampiri dan tanpa ragu merangkul pinggang Anne.

“Aku mencarimu ke mana-mana,” ujarnya dengan nada manja.

Anne tertawa kecil, “Maafkan aku, sayang.”

Elena melirik Damian sekilas. Wajah pria itu tetap tenang, tapi matanya terlihat menyimpan sesuatu yang berbeda. Ada gurat yang sulit dijelaskan, antara kaget, kaku, dan pedih.

Anne menatap Damian sambil memperkenalkannya, “Oh, ya. Ini mantan suamiku.”

Pria itu menoleh, tersenyum ramah, dan mengulurkan tangan, “Ah, kau ayah Sean. Aku pernah bertemu Sean saat berkunjung ke rumah Anne. Salam kenal, aku Arden.”

Damian menatap tangan itu beberapa detik, lalu menjabatnya singkat, “Damian.”

Jabat tangan itu lepas, tapi atmosfer di antara mereka terasa menegang.

“Wah, sepertinya aku sedikit kalah di sini,” ucap Arden sambil tertawa kecil.

“Kenapa?” tanya Anne sambil tersenyum bingung.

“Mantan suamimu sangat tampan. Aku bisa kalah kalau berdiri terlalu dekat dengannya.”

Anne menepuk dada Arden dengan manja, “Kau ini…”

“Aku tidak tahu kalau kau sudah memiliki kekasih. Sean tidak pernah mengatakannya. Selamat untuk kalian,” ucap Damian, datar.

Elena masih memperhatikan setiap perubahan kecil di wajah Damian. Ada kejujuran dalam ucapannya, tapi juga sesuatu yang belum tuntas di dalam hati.

Anne tersenyum lembut, “Terima kasih, Damian. Kuharap kau juga segera menemukan pasangan hidupmu.”

Belum sempat Damian menanggapi, suara Elena menyela, tegas namun ringan.

“Untuk apa berusaha menemukan?” ucapnya, lalu menggandeng lengan Damian dengan percaya diri, “Aku sudah ada di sini.”

Semua mata langsung beralih pada mereka. Damian menunduk, menatap Elena lama tanpa kata.

Anne dan Arden saling berpandangan, senyum mereka melebar penuh antusias.

“Astaga,” ucap Anne, “Aku tidak tahu kalau kau adalah kekasih Damian.” Ia menatap Damian dengan tatapan tulus, “Damian, selamat juga untukmu. Aku turut bahagia.”

Damian mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan kecanggungannya di balik senyum tipis.

Arden menimpali, “Kapan-kapan kita harus double date. Benar kan, sayang?”

Anne mengangguk, “Tentu, kalau mereka tidak keberatan.”

“Aku setuju,” kata Elena cepat, lalu menekan lengan Damian saat pria itu hampir saja membuka mulut untuk menolak. Senyum manisnya tidak pernah lepas dari wajahnya.

Anne tertawa kecil, “Kalau begitu, sampai nanti di acara dansa. Kalian harus ikut bersama kami.”

“Tentu,” jawab Elena ramah.

Sepasang kekasih itu pun pergi. Damian tetap diam, tapi pandangannya lurus ke arah mereka.

Elena mendongak, menatap wajah Damian yang masih menahan sesuatu di balik ekspresinya. Ia pun tersenyum tipis.

“Kelihatannya, Om benar-benar tidak bisa menolak peran ini, ya?”

Damian melepaskan lengan Elena, “Bukan tidak bisa menolak, tapi terpaksa.”

“Terpaksa karena tidak ingin terlihat sendirian di depan mantan istri Om?” tanya Elena, membuat Damian menatap tajam.

“Itu tidak benar.”

Elena menyeringai, “Untuk apa berbohong? Dari mata Om saja sudah kelihatan, Om tidak rela saat dia punya kekasih baru. Dia sudah melupakan Om, tapi Om sendiri belum juga dekat dengan wanita lain. Karena itu, Om ingin menunjukkan kalau Om juga bisa melupakannya.”

“Sok tahu,” sahut Damian, lalu melangkah pergi menuju sekelompok pria sebayanya yang bercanda ria dengan gelas kristal di tangannya. Sepertinya mereka adalah rekan bisnis Damian.

Sementara itu, Elena masih berdiri di samping meja jamuan, “Masih saja mengelak. Dasar bodoh,” gumamnya sambil mengangkat bahu, lalu kembali menikmati hidangan manis di sana.

Tiba-tiba, lampu padam. Riuh kebingungan langsung terdengar di seluruh ruangan. Elena yang tengah mengunyah makanan pun ikut mematung.

Ting, ting, ting.

Sorot lampu menyorot ke tengah aula. Di sana, Barley berdiri dengan gelas di tangannya, memukul sisi gelas itu dengan sendok kecil untuk meminta perhatian.

“Halo, halo semuanya. Pertama-tama, aku ingin mengucapkan terima kasih karena sudah datang ke acara ulang tahunku. Kuharap sajian yang kusiapkan tidak mengecewakan kalian,” ucapnya dan diakhiri dengan tawa ringan.

“Oh ya, kita sudah sampai di puncak acara. Tapi, tidak seperti ulang tahun biasa, aku tidak akan meniup lilin. Kalian tahu sendiri kan usiaku sudah tidak muda lagi. Menurutku, itu tidak penting. Doa kalianlah yang terpenting.”

Ia mengangkat gelas minumannya tinggi-tinggi.

“Dengan bersulang malam ini, aku harap kita semua bisa terus bahagia dalam menjalani hidup. Bersulang!”

Barley meneguk minumannya, lalu menjungkirkan gelas itu di atas kepala, menunjukkan bahwa setetes pun tidak tersisa.

Para tamu undangan mengikuti gerakannya, mengangkat gelas dan meneguk isi minuman mereka serempak.

Elena yang sedikit terlambat, ikut meraih gelas di sampingnya dan meminumnya.

“Uh… kuat sekali,” gumamnya begitu kadar alkohol yang tinggi terasa membakar tenggorokannya.

“Jangan meminumnya lagi,” ucap Damian yang entah sejak kapan sudah berdiri di sana, lalu meraih gelas dari tangan Elena.

Elena hanya mengangguk. Ia tahu dirinya tidak kuat minum alkohol. Jangan sampai ia malah pusing di depan banyak orang seperti ini.

“Baiklah,” suara Barley kembali menggema di aula, “Sebagai hiburan, aku ingin kalian semua membawa pasangan kalian ke tengah aula untuk berdansa.”

Ia menatap sekeliling dengan senyum nostalgia.

“Dulu, aku dan mendiang istriku sangat menyukai dansa. Karena itu, aku merasa bahagia melihat kalian menari di hadapanku malam ini. Itulah alasan mengapa aku membuat aturan bahwa setiap tamu harus membawa pasangan. Karena aku ingin melihat bagaimana cinta bisa membuat hidup menjadi berwarna.”

Ia menarik napas, matanya sedikit menerawang.

“Anggap saja… aku hanya ingin mengenang masa-masa itu. Melihat kalian saja, sudah cukup menghiburku.”

Barley menyingkir perlahan dari tengah aula.

“Baiklah, kita mulai sekarang!” serunya.

Musik orkestra pun mengalun, lembut dan klasik, memenuhi ruangan yang kembali terang oleh pencahayaan.

Para tamu mulai memenuhi area tengah aula dengan pasangan masing-masing dan mereka pun berdansa dengan gerakan intim. Begitupun Anne dan Arden yang juga tampak bahagia, tubuh mereka bergerak selaras di bawah cahaya lampu gantung kristal.

Elena melirik ke arah Damian. Ia tahu ke mana arah pandangan pria itu dan siapa yang menjadi pusat perhatiannya.

Tanpa berkata banyak, Elena mengangkat tangannya di depan Damian, senyum tipis menghiasi wajahnya.

“Ayo, Om,” ujarnya pelan namun menantang, “Tunjukkan pada mereka kalau kita juga bisa terlihat romantis.”

Damian mengangkat satu alis, lalu tersenyum samar. Ia meraih tangan Elena, menggenggamnya dengan mantap, lalu melangkah maju ke tengah kerumunan.

Anne dan Arden sempat menoleh dan tersenyum ke arah mereka, namun Damian dan Elena tidak menyadarinya. Tatapan keduanya sudah saling terkunci.

Satu tangan Elena bertumpu di bahu Damian.

Satu tangan Damian melingkari pinggang Elena, menuntun langkahnya perlahan.

Satu tangan mereka yang lain saling menggenggam erat.

Elena mendekat sedikit, membiarkan napasnya terdengar di telinga Damian.

“Sejujurnya aku tidak bisa melakukannya,” bisiknya.

Damian tersenyum lembut. “Tidak apa. Aku bisa mengajarimu.”

Dengan gerakan kaku, Elena mulai mengikuti irama, walau langkahnya masih berantakan. Damian menuntun dengan sabar, membiarkan tubuh mereka selaras dengan tempo musik.

“Om sepertinya sudah terlatih melakukan ini,” ucap Elena sambil menatap mata Damian, “Dulu sering melakukannya dengan mantan istri Om?”

Kening Damian berkerut, “Tidak. Hanya saja aku mudah belajar dari apa yang kulihat.”

Elena tersenyum samar, “Oh, hebat sekali. Perlu kuberikan pujian?”

Damian terkekeh kecil, lalu menggeleng.

“Om masih belum melupakan mantan istri Om, ya?”

Damian menarik napas panjang, “Tidak juga. Hanya saja… dia cinta pertamaku. Rasanya seperti ada yang menusuk ketika tahu dia sudah bersama orang lain. Tapi kalau kupikir lagi, aku yang salah. Kami bercerai sudah lama. Aku hanyalah masa lalunya, dan dia berhak bahagia dengan pria lain. Aku yang bodoh di sini.”

“Memang,” sahut Elena cepat.

“Elena…” geram Damian.

Elena terkekeh ringan, “Kalau dia cinta pertama Om, aku juga bisa menjadi cinta terakhir dan selamanya untuk Om.”

“Sedang menyatakan cinta?” tanya Damian dengan nada menggoda.

Elena mengangguk, tatapannya sayu tapi penuh keyakinan, “Aku serius, Om.”

Damian menatapnya lekat, “Kau mabuk.”

“Tidak. Aku tidak mabuk,” bantah Elena, lalu melingkarkan kedua tangannya di leher Damian. Ia menempelkan keningnya ke kening Damian, napas mereka berbaur di antara cahaya temaram aula itu.

“Aku serius, Om,” bisiknya lagi.

“Kau mabuk, Elena.”

Elena mundur sedikit, jarinya menyentuh bibir bawah Damian, “Bibir Om masih sama, aku bahkan belum melupakan rasanya.”

“Elena, hentikan…”

Damian mencoba menahan, tapi Elena lebih cepat. Ia menempelkan bibirnya pada bibir Damian.

Damian membeku sesaat, matanya membesar.

Elena melepaskan bibir Damian, menatap pria itu dengan tajam, “Om balas dong, jangan sampai mereka tahu kita hanya pasangan palsu.”

Damian menatap matu sayu Elena. Ia meremas tangannya sendiri, lalu akhirnya menyerah pada desakan emosi yang tidak sempat ia kendalikan.

Tangannya terangkat, meraih tengkuk Elena, dan kali ini ia yang menariknya untuk mencium lebih dalam.

Mereka melebur dalam gerak pelan, di tengah ruangan yang penuh pasangan menari.

Beberapa mata mulai melirik ke arah mereka. Lalu bisik-bisik kagum dan pujian pun mulai terdengar.

Damian memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam. Ia berpikir, biarkan saja apa yang sudah terjadi. Hanya malam ini, ia memutuskan kalah oleh perasaan ini.

Sementara Elena, dengan napas terengah di antara ciuman itu, membuka sedikit matanya. Entah karena mabuk atau karena hatinya, tapi yang jelas ia sungguh menikmatinya.

1
merry
haus harta tu Sean pdhll orgtua y baik dech gk gila harta,,
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!