Ditinggal saat sedang hamil, Elma terpaksa bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhannya seorang diri. Yang lebih menyakitkan daripada sekedar ditinggal, ternyata suami Elma yang bernama Dion secara diam-diam menceraikan Elma. Dan dibalik pernikahan tersebut, ada kebenaran yang jauh lebih menyakitkan lagi bagi Elma. Penasaran? Yuk baca ceritanya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlambat
Keesokan paginya, langit terlihat mendung. Angin berhembus pelan menyapu halaman rumah sakit jiwa tempat Ratna dirawat. Di antara langkah kaki para pengunjung dan petugas, sosok Amar berjalan dengan tenang. Wajahnya datar, namun di matanya terpancar sorot dingin yang sulit dibaca. Ia mengenakan jas hitam, kemeja putih, dan membawa map cokelat di tangan kanannya.
Petugas rumah sakit menunduk sopan saat Amar lewat. Tak ada yang berani menanyainya. Aura yang dibawa pria itu terlalu kuat untuk dihadapi dengan biasa.
Di dalam ruang rawat, Ratna sedang duduk di kursi, memandangi jendela dengan tatapan kosong. Rambutnya kusut, wajahnya pucat. Sesekali bibirnya bergetar, menyebut nama Amar dengan suara yang hampir tak terdengar. Ketika pintu terbuka, dan sosok pria itu benar-benar muncul, tubuh Ratna langsung menegang.
“Amar…” suaranya bergetar. “Kenapa kau datang hah? Ada apa? Apa kau ingin menertawakan aku?"
Amar tersenyum tipis, langkahnya perlahan mendekat. “Aku hanya ingin melihat keadaanmu, Nyonya Ratna. Ternyata benar kata dokter, kejiwaanmu semakin memburuk.”
Ratna gemetar. “Pergi dari sini! Aku tidak ingin melihat kau lagi! Aku minta maaf kalau dulu aku salah!”
Tawa kecil keluar dari bibir Amar. “Salah?” Ia mendekat lebih jauh hingga berdiri di depan Ratna. “Kau pikir semua yang kau lakukan dulu hanya masalah kecil? Kau sudah menghancurkan hidup banyak orang, Ratna.”
Ratna memejamkan mata, kedua tangannya menutupi telinga. “Berhenti! Aku tidak ingin mendengar! Aku tidak ingin mengingatnya!"
Namun sebelum Amar sempat melanjutkan kata-katanya, pintu ruangan terbuka lagi dengan keras. Dion berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam karena emosi. Ia sudah mendengar nama Amar dari perawat, dan begitu tahu pria itu berada di ruang mamanya, ia langsung datang menghampiri.
“Berani sekali kau datang menemui mamaku!” teriak Dion sambil berjalan cepat. “Kau penyebab mamaku menjadi seperti ini."
Amar menoleh pelan, masih dengan senyum tipis. “Kau datang tepat waktu, Dion. Aku memang berharap bisa bicara denganmu.”
Dion tidak mendengarkan. Ia langsung melayangkan pukulan ke wajah Amar, tapi Amar dengan mudah menangkisnya, lalu memutar tubuh Dion hingga pria muda itu hampir kehilangan keseimbangan.
“Jangan terlalu gegabah,” ujar Amar dengan suara rendah. “Sebelum kau memukulku, sebaiknya dengarkan dulu apa yang sebenarnya dilakukan ibumu.”
Dion terdiam sejenak. Amar membuka map cokelat di tangannya, lalu meletakkan beberapa lembar foto dan dokumen di atas meja kecil di samping tempat tidur Ratna. Ratna menatapnya dengan wajah pucat, tubuhnya mulai gemetar lagi.
“Ini…” kata Amar sambil menunjuk salah satu foto, “foto mobil milik pamanku, Paman Satria. Mobil yang ‘kecelakaan’ dua puluh tahun lalu di tikungan bukit Bawen. Waktu itu polisi menyebutnya kecelakaan tunggal karena rem blong. Tapi hasil penyelidikan mendiang kakekku, rem mobil itu sengaja dirusak.”
Dion menatap foto itu dengan mata membulat. “Apa maksudmu?”
Amar menatapnya lurus. “Ibumu yang menyuruh orang melakukannya.”
Ratna menjerit, “Itu bohong! Jangan percaya dia, Dion! Mama tidak pernah melakukannya.”
Tapi Amar memotong tajam, “Kau mau bilang tidak pernah? Aku memiliki saksi yang dulu menjadi montir di bengkel tempat mobil itu diperbaiki sebelum berangkat. Dia yang mengaku, rem mobil itu diganti dengan suku cadang rusak atas permintaan seseorang. Dan orang itu adalah Ratna Suraningrum, ibumu sendiri.”
Ratna langsung memukul kepalanya sendiri, menjerit histeris. “Berhenti! Berhenti, Amar! Aku tidak kuat lagi!”
Dion menatap ibunya tidak percaya. “Mama, yang dia katakan, apakah semua itu benar?"
Ratna menangis keras, tubuhnya bergetar. Tapi Amar tidak berhenti. Ia mengambil lembaran lain, menunjukkan surat kematian dan laporan kepolisian lama.
“Dan beberapa tahun setelah itu,” katanya pelan tapi tegas, “kedua orang tuaku, yang hanya ingin membuka kembali kasus itu, tewas dalam kecelakaan juga. Polisi menyebut penyebabnya korsleting mesin. Tapi ternyata kabel yang terbakar itu hasil sabotase. Aku memiliki rekaman suara lama yang membuktikan bahwa seseorang menyuruh melakukan itu, dengan bayaran besar. Dan orang itu, lagi-lagi ibumu.”
Dion membeku. Tangannya gemetar. Ia menatap ibunya yang kini menangis tanpa suara, wajahnya hancur, matanya kosong.
“Kenapa, Ma?” suara Dion serak. “Kenapa Mama melakukan semua ini?”
Ratna mencoba bicara di sela tangisnya. “Karena karena dulu Mama hanya ingin bahagia, Dion. Mama dulu mencintai Pamannya Amar, tapi dia menolak Mama, memilih perempuan lain. Semua orang menertawakan Mama. Dan keluarga mereka, keluarga itu, menghalangi semua ambisi Mama!”
Diana yang dulu anggun kini berubah menjadi bayangan dirinya sendiri. Ratna menangis keras, “Mama hanya ingin mereka merasakan sakitnya ditolak dan dihina! Tapi Mama tidak pernah menyangka semuanya akan sejauh ini!”
Amar memandang Ratna lama, lalu berkata dingin, “Dan karena dendammu itu, kau menghancurkan keluargaku, Ratna. Kau pikir aku tidak tahu? Saudara kembarku meninggal dalam kecelakaan, dan aku satu-satunya yang selamat dalam kecelakaan yang dialami kedua orang tuaku karena saat itu aku sedang sekolah."
Ratna terkejut, matanya melebar. “Anak kecil itu sudah membuat hubungan paman dan bibimu semakin bahagia."
“Kau tidak hanya menginginkan orangnya, tapi hartanya."
Dion menatap Amar seperti melihat hantu masa lalu. Semua potongan kisah itu mulai masuk akal. Amar bukan musuh acak. Amar adalah korban, anak dari keluarga yang ibunya hancurkan.
Ratna mulai menangis keras, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. “Tolong, jangan laporkan aku ke polisi… aku tidak mau."
Amar berjalan mendekat, menunduk sejajar dengan Ratna. “Aku tidak akan melaporkanmu ke polisi, Ratna,” katanya pelan tapi tegas. “Penjara terlalu ringan untukmu. Aku ingin kau hidup, tapi dengan rasa bersalah yang tidak akan pernah hilang.”
Dion akhirnya berteriak, “Cukup! Hentikan semua ini! Apa kau puas sudah membuat mamaku menderita seperti ini?"
Amar menatap Dion tanpa emosi. “Belum. Keluargamu sudah merampas segalanya dari keluargaku. Sekarang, kalian baru mencicipi sedikit dari apa yang dulu aku rasakan.”
Ratna berteriak memohon, “Amar! Aku minta ampun!”
Tapi Amar berdiri, menatapnya terakhir kali dengan tatapan dingin, lalu berkata, “Terlambat, Ratna. Penyesalanmu datang setelah semuanya hancur. Kini giliranmu kehilangan satu per satu. Dan kau, Dion... penderitaan Elma masuk ke dalam dendamku sebab kau tahu, di masa lalu hanya Elma yang sudi berteman denganku."
Ia berbalik dan melangkah keluar ruangan dengan tenang. Dion hanya bisa berdiri mematung, menatap ibunya yang kini terjatuh di lantai, menangis seperti anak kecil.
Amar berjalan melewati lorong rumah sakit, tanpa menoleh sedikit pun. Tatapannya lurus ke depan, wajahnya datar. Namun di balik langkah tenangnya, ada kepuasan dingin yang sulit dijelaskan.
Di belakangnya, suara Ratna masih menggema jeritan, tangisan, dan panggilan minta ampun yang memantul di dinding putih rumah sakit jiwa itu.
Amar hanya tersenyum kecil, lalu berbisik pelan tanpa suara, “Sekarang kau tahu rasanya, Ratna. Rasanya hidup dalam neraka yang kau ciptakan sendiri.”
Sekarang tinggal dirimu menyongsong bahagia tanpa ada bayang masa lalu yang menyakitkan