Demi menikahi wanita yang dicintainya, Arhan Sanjaya mengorbankan segalanya, bahkan rela berhutang banyak dan memenuhi semua keinginan calon mertuanya. Terbelenggu hutang, Arhan nekat bekerja di negeri seberang. Namun, setelah dua tahun pengorbanan, ia justru dikhianati oleh istri dengan pria yang tak pernah dia sangka.
Kenyataan pahit itu membuat Arhan gelap mata. Amarah yang meledak justru membuatnya mendekam di balik jeruji besi, merenggut kebebasannya dan semua yang ia miliki.
Terperangkap dalam kegelapan, akankah Arhan menjadi pecundang yang hanya bisa menangisi nasib? Atau ia akan bangkit dari keterpurukan, membalaskan rasa sakitnya, dan menunjukkan kepada dunia bahwa orang yang terbuang pun bisa menjadi pemenang?
Karya ini berkolaborasi spesial dengan author Moms TZ.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Nasehat kakak ipar.
.
Malam yang sama. Nurmala dan Fadil pulang ke rumah dengan wajah lesu.
“Kalian ini! Kenapa larut malam gini baru pulang? Gak tahu apa, kalo yang di rumah jadi kepikiran?" Bu Wahyuni yang sejak tadi menunggu untuk mengunci pintu tentu saja langsung menegur mereka.
Namun, apa yang ia dapat? Keduanya masuk ke dalam dan mengabaikan teguran dari Bu Wahyuni ibunya Fadil, sehingga membuat ibu tiga anak itu kesal dan mengumpat.
"Weee...lha dalah, biyuh biyuh biyuuuhh...! Nggak menantu nggak anak sendiri, nggak ada yang bisa diandalkan. Sudah miskin mah percuma juga. Huhhh!" Bu Wahyuni menyebikkan bibirnya melihat sikap anak dan menantunya. Rasa penyesalan mengapa dulu menyetujui hubungan Fadil dan Nurmala itu semakin merasuk ke dalam sanubarinya.
Wanita paruh baya itu hanya bisa menghela napas kasar seraya menggelengkan kepala. Kemudian berlalu dari tempatnya berdiri sambil mendengus kesal.
Di dalam kamar, Fadil dan Nurmala tampak berbincang menyusun rencana untuk mengembalikan kejayaan restoran mereka. Mungkin mereka perlu melakukan promosi atau diskon.
"Uangmu ada berapa, Nur?" tanya Fadil. "Kita membutuhkan modal lagi jika ingin restoran kembali ramai seperti kemarin," sambungnya.
"Sudah tenang saja, uangnya cukup kok. Selama menjadi istri Arhan aku tuh, selalu menyelipkan uang untuk diriku sendiri dan ternyata berguna sekarang." Nurmala tersenyum licik.
"Coba aku lihat?" pinta Fadil dengan rasa penasaran.
"Jangan, ah. Uang istri itu milik istri, beda dengan suami. Uang suami milik istri!" jawab Nurmala sedikit ketus.
"Kok kamu gitu, sih, Nur? Kamu sudah mulai perhitungan sama aku sekarang!" Fadil tak terima.
"Ingat, Nur. Kalau bukan karena aku yang punya ide menyuruhmu menikah kamu dengan Arhan, nggak bakalan kamu bisa menikmati uang yang banyak dan hidup enak!" ungkit Fadil mengingatkan.
"Ooohh, jadi Mas Fadil menyesal sekarang?" tanya Nurmala dengan ketus.
"Aku itu bela-belain loh, cerai dari Arhan, semua demi siapa coba, hahhh! Kalau aku masih jdi istri Arhan, aku masih bisa tinggal di rumah yang besar, gak perlu numpang di rumah ibumu yang kecil ini!" bentak Nurmala tidak terima.
Merasa bersalah Fadil langsung memeluk Nurmala dan meminta maaf. "Maaf ya, Sayang. Aku hanya cemburu saja. Aku takut jika kamu berpaling dariku, dan malah mengejar Arhan suatu hari nanti."
Nurmala tersenyum sambil menjentikkan jarinya. "Kalau begitu kamu harus bekerja keras, dan harus bisa menyaingi Arhan nantinya," ucap Nurmala dengan tegas.
Tetapi tiba-tiba satu pikiran muncul di otak Nurmala. "Boleh juga ide kamu, Mas. Jika suatu hari nanti Arhan lebih sukses dari kamu, mungkin lebih baik aku kembali sama dia.”
Tanpa Fadil ketahui, di bibir Nurmala tercetak senyum penuh misteri.
*
*
*
Keesokan harinya.
Selesai joging di sekitar komplek perumahan, Arhan duduk di teras sambil memeriksa pesan masuk dari Budi. Fahri datang membawakan dua cangkir kopi dan pisang goreng yang masih hangat, lalu ikut mendudukkan dirinya di samping Arhan yang hanya tersekat meja. Obrolan ringan pun tercipta di antara keduanya.
Meski tidak banyak bicara, tetapi Fahri cukup perhatian kepada adik iparnya. "Apa rencanamu ke depan, Han? Kamu ingin kerja atau merintis usaha sendiri?" tanya Fahri mengawali topik pembicaraan.
"Aku sudah punya rencana mau buka usaha dengan Budi, Mas. Kecil-kecilan dulu nggak apa-apa," kata Arhan. "Kalaupun mau melamar kerja, memangnya ada yang mau terima dengan statusku sebagai mantan narapidana, Mas?" Arhan menambahkan sambil tersenyum miris.
"Kenapa tidak? Toh kamu sudah terbukti tidak bersalah," sahut Fahri. "Oh ya Han, kenapa kamu gak tuntut balik mereka dengan kasus perselingkuhan? Kamu kan bisa ancam mereka, dengan begitu kamu tidak perlu masuk penjara. Kamu malah nggak kasih kabar sama kami," sambung Fahri dengan nada kesal.
Arhan menarik napas panjang lalu mengeluarkannya kasar. Pandangannya menerawang ke depan. "Entahlah, Mas. Saat itu aku bagitu emosi saat melihat hal menjijikkan yang mereka lakukan, hingga aku tidak mampu berpikir rasional," ucap Arhan.
Fahri ikut menghela napas. Andai dia ada di posisi Arhan, pasti juga akan melakukan hal yang sama.
"Aku sudah tidak pikirkan itu lagi sekarang. Aku lebih ingin fokus ke depan. Lagipula aku sudah mengambil kembali sebagian dari apa yang pernah mereka ambil dariku. Tanah dan rumah yang dulu aku beli dengan susah payah sudah aku kual.” Arhan menceritakan juga kalau uang dari hasil penjualan rumah itu lah yang akan ia gunakan untuk modal usaha.
“Dan mobil yang saat ini masih ada di tangan mereka, mungkin juga akan segera ditarik kembali oleh pihak dealer. Hanya rekeningku yang telah mereka gasak sampai kosong yang tak bisa kembali," kata Arhan dengan kecewa.
Bagaimana tidak? Tabungan yang ia kumpulkan dengan susah payah, yang seharusnya bisa ia gunakan untuk merintis usaha, telah raib tak berbekas.
“Lalu, mau buka usaha apa kamu?" tanya Fahri.
“Restoran kekinian, sama dengan usaha mereka."
Fahri yang sedang menyeruput kopi seketika menoleh. “Jangan bilang kamu ingin buka usaha hanya untuk balas dendam sama mereka!" serunya.
Arhan mengangguk dengan pandangan yang tetap lurus ke depan. "Memang itu niatku, Mas.”
Fahri menghela napas dalam, menatap adik iparnya dengan iba. "Han, aku tidak ingin menghakimi, juga tidak akan mengatakan kalau yang akan kamu lakukan adalah salah. Siapapun yang berada di posisi kamu mungkin akan melakukan hal yang sama”
Arhan menoleh cepat. Apakah salah jika dia ingin balas dendam? Kenapa Fahri terlihat tidak setuju.
“Jika kamu ingin buka usaha, bersihkan niatmu. Jangan buka usaha dengan niat untuk balas dendam, itu tidak akan berkah. Niatkan untuk mengais rejeki yang halal, niatkan untuk ibadah, karena mencari rejeki adalah kewajiban setiap manusia. Sisanya, biarkan Allah saja yang mengaturnya.”
Tatapan mata Arhan bertemu dengan tatapan Fahri yang teduh. Ia memahami apa yang diucapkan oleh kakak iparnya itu.
“Pahamilah, Han! Balas dendam tak harus dengan cara menghancurkan, tapi tunjukkan kamu bisa sukses setelah pengkhianatan mereka.”
Matahari semakin beranjak naik, kopi dan pisang goreng telah habis tinggal piring dan cangkir bekas. Namun, obrolan mereka masih berlanjut. Arhan tak lelah mendengar wejangan dari kakak iparnya.
Gusti mboten sare...
orang tua macam apa seperti itu...
membiarkan anaknya melakukan dosa...🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️
bukan malah menyalahkan org lain..
wah..minta dipecat dg tidak hormat nih istri...