Di Universitas Harapan Bangsa, cinta tumbuh di antara dua insan dari dunia yang berbeda. Stefanus, pemuda cerdas yang hidup serba kekurangan, menempuh pendidikan berkat beasiswa.Di sisi lain, ada Stefany, gadis cantik dan pintar, putri tunggal Pak Arman, seorang pengusaha kaya yang ternyata menyimpan rahasia kelam Ia adalah bos mafia kejam.Pertemuan sederhana di kampus membawa Stefanus dan Stefany pada perasaan yang tak bisa mereka tolak. Namun, cinta mereka terhalang restu keluarga. Pak Arman menentang hubungan itu, bukan hanya karena perbedaan status sosial,hingga suatu malam, takdir membawa malapetaka. Stefanus tanpa sengaja menyaksikan sendiri aksi brutal Pak Arman dan komplotannya membunuh seorang pengkhianat mafia. Rahasia berdarah itu membuat Stefanus menjadi target pembunuhan.Akhirnya Stefanus meninggal ditangan pak Arman.stelah meninggalnya Stefanus,Stefany bertemu dengan Ceo yang mirip dengan Stefanus namanya Julian.Apakah Julian itu adalah Stefanus?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulina Simanullang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31: Kepungan ditengah laut
Empat perahu Boris menyebar, mengepung perahu Surya dari empat arah: depan, belakang, kanan, dan kiri. Boris sendiri berdiri di perahu terbesar di depan, memandang Surya dari kejauhan. Wajahnya dingin, matanya tajam seperti elang mengincar mangsa.
Boris mengangkat tangan, memberi isyarat. Semua perahu berhenti di jarak tertentu, mesin-mesin berderu pelan, hanya suara ombak dan angin yang terdengar.
“Surya!” teriak Boris dari kejauhan. Suaranya berat, bergema di tengah malam. “Sudah cukup jauh kau lari. Malam ini kau tidak akan selamat.”
Surya berdiri di perahunya, memegang pistol dengan tangan kanan. “Boris! Kau rampas jalurku, kau bunuh anak-anak buahku, sekarang kau mau bunuh aku juga? Dasar pengecut! Kau kira kau bisa jadi raja setelah aku mati?!”
Boris tersenyum tipis. “Bukan kira-kira. Itu kepastian.”
Tanpa aba-aba lagi, suara tembakan memecah malam.
DORRRRR! DORRRRRRR!
Anak buah Boris menembak ke arah perahu Surya. Peluru menghantam kayu perahu, membuat serpihan kayu beterbangan.
Surya dan Iman membalas tembakan dengan cepat. Raka, meski terluka, ikut menembak sambil berpegangan pada tiang perahu.
Perahu-perahu lain bergerak maju, mencoba menutup celah.
“Bos, mereka mau ngepung rapat!” teriak Iman.
Surya mengarahkan pistol ke salah satu perahu di kanan. DORRRRR! Satu orang anak buah Boris tumbang, terjatuh ke laut dengan teriakan panjang.
“Buka jalur di kiri! Kita keluar dari kepungan!” perintah Surya.
Iman menembak ke arah perahu di kiri, memaksa mereka mundur beberapa meter.
Boris akhirnya mengangkat senjata otomatisnya sendiri. Dengan tenang, ia menembak ke arah perahu Surya tanpa ragu.
DORRRRRR! DORRRRRRR!
Salah satu pelurunya menghantam pundak Iman.
“AARGHHH!” Iman jatuh tersungkur di lantai perahu, darahnya membasahi papan kayu.
“Iman!” Surya berteriak, matanya merah menahan marah.
Boris berbicara dengan suara dingin, “Surya! Kalau kau menyerah sekarang, mungkin aku biarkan orangmu hidup. Kalau tidak, kalian semua mati di sini.”
Surya memandang Boris dengan tatapan penuh benci. “Lebih baik mati daripada tunduk sama pengkhianat!”
Surya memutar perahunya, mengarahkan moncong perahu lurus ke perahu Boris. Mesin meraung, perahu kecil itu melaju kencang di antara ombak.
Boris memerintahkan anak buahnya menembak, tapi Surya bergerak zig-zag, sulit diincar.
Begitu mendekat, Surya melompat dari perahunya ke perahu Boris sambil menembakkan pistolnya.
DORRRRR! Dua anak buah Boris tumbang seketika.
Pertarungan jarak dekat pun pecah di atas perahu Boris. Surya bertarung dengan sisa peluru di pistolnya, sementara anak buah Boris menggunakan pisau dan senjata api.
Boris sendiri maju menghadapi Surya. Mereka berdua berdiri berhadapan di dek perahu yang berguncang hebat diterpa ombak.
“Ini sudah lama kutunggu,” kata Boris dingin, mengangkat pistolnya.
Surya memandangnya penuh amarah. “Malam ini kau yang mati, Boris.”
Boris menembak lebih dulu. DORRR! Surya mengelak, peluru hanya menghantam tiang perahu.
Surya membalas. DORRR! Peluru Surya menghantam bahu kiri Boris, membuatnya terhuyung.
Tapi Boris tidak jatuh. Ia maju dengan tatapan beringas, memukul Surya dengan gagang pistol hingga bibir Surya berdarah.
Mereka bertarung di dek sempit yang basah, saling pukul, saling tendang, senjata terlepas ke lantai. Anak buah Boris tak bisa menembak karena khawatir mengenai bos mereka sendiri.
Akhirnya Surya berhasil memukul Boris hingga terjatuh. Ia meraih pistol di lantai dan mengarahkannya ke Boris.
“Sekarang giliranmu mati, Boris!” Surya berteriak.
Tapi sebelum ia sempat menarik pelatuk, salah satu anak buah Boris menembaknya dari belakang.
DORRRRR!
Peluru menembus punggung Surya. Ia terhuyung, darah mengucur deras.
Peluru terakhir yang dilepaskan salah satu anak buah Boris menembus punggung Surya dari belakang. Dentumannya memecah udara malam, berbaur dengan suara angin dan debur ombak yang tak henti-hentinya menghantam lambung perahu.
DORRRRRRR!
Tubuh Surya terhuyung ke depan. Napasnya tersengal-sengal, seolah paru-parunya meronta meminta udara. Darah hangat mengalir deras di punggungnya, membasahi kemeja lusuh yang sejak tadi sudah kotor karena darah dan peluh.
Namun, entah dari mana ia mendapatkan tenaga itu, Surya belum juga roboh. Dengan sisa kekuatan, ia memutar tubuhnya perlahan, wajahnya mengarah pada Boris yang sudah bangkit berdiri meski bahunya masih berlumur darah.
“Boris…” suara Surya serak, nyaris tak terdengar di tengah deru angin laut. “Kau… pengecut… menyerang dari belakang.”
Boris menatapnya dingin. Tatapan seorang lelaki yang sudah kenyang darah dan pengkhianatan. “Dalam perang, Surya… tidak ada aturan tentang kehormatan. Yang ada hanya hidup atau mati.”
Surya tersenyum tipis. Darah menetes dari ujung bibirnya, bercampur dengan air hujan yang mulai turun gerimis. “Kau pikir… ini kemenanganmu?” katanya lirih, tetapi ada nada mengejek di ujung suaranya.
Boris tidak menjawab. Ia hanya berjalan mendekat, mengambil pistol yang tadi terlempar ke lantai dek, lalu mengokang pelatuknya. Malam ini, tidak akan ada belas kasihan.
Anak buah Boris yang tadi menembak Surya dari belakang sudah mundur, wajahnya pucat diterpa cahaya lampu sorot perahu. Mereka tahu, apa pun yang terjadi, malam ini adalah malam darah yang akan mereka ingat seumur hidup.
Raka yang berada di perahu Surya berteriak histeris, suaranya pecah diterpa angin.
“BOSS! LARI, BOSS!”
Namun suara itu nyaris tak terdengar di telinga Surya. Pandangannya mulai kabur. Lampu-lampu di sekitar perahu terlihat berpendar seperti bintang yang berjatuhan. Setiap langkah Boris mendekat terasa lambat, tapi juga mematikan.
Surya sempat memandang ke langit, melihat bulan yang hanya tampak separuh di balik awan hitam. Dalam hatinya, kilas balik masa lalu berkelebat: masa muda ketika ia pertama kali menguasai jalur pelabuhan, pertemuan pertamanya dengan Pak Arman, tawa anak buahnya saat mereka merayakan kemenangan, hingga malam-malam panjang ketika ia memimpin operasi penyelundupan dengan penuh percaya diri.
Kini semua itu seakan sirna dalam sekejap.
Boris berhenti satu meter di depan Surya yang sudah berlutut, kedua tangannya gemetar menahan tubuh yang nyaris roboh.
“Ini… akhir untukmu, Surya,” kata Boris datar, suaranya nyaris tenggelam dalam deru angin.
Surya mengangkat wajahnya. Meski darah mengucur dari sudut bibir, ada sorot mata menantang yang masih bertahan. “Kau boleh bunuh aku… tapi ingat, Boris… selalu ada harga… untuk pengkhianatan.”
Boris tidak menunggu lebih lama. Ia mengarahkan pistolnya tepat ke dada Surya.
DORRRRRRRRRR!
Peluru itu menembus dada Surya, membuat tubuhnya terpental ke belakang. Wajah Surya menegang sesaat, lalu perlahan-lahan tubuhnya jatuh ke dek perahu dengan suara berat duk! yang tenggelam di antara gemuruh ombak.
Darah mengalir membentuk genangan kecil di lantai perahu. Hujan yang semakin deras membasuh tubuh Surya, tapi tidak bisa menghentikan kehidupan yang perlahan-lahan meninggalkannya.
Raka di perahu sebelah berteriak histeris. “BOSS!!!” Suaranya serak, penuh amarah dan kesedihan.
Iman yang sudah terluka parah hanya bisa menatap dari kejauhan, rahangnya mengeras, matanya merah menahan air mata. Mereka berdua sudah mengabdi pada Surya bertahun-tahun, melihatnya jatuh di tangan Boris adalah mimpi buruk yang tak pernah mereka bayangkan.
Tapi malam ini, tidak ada yang bisa mereka lakukan. Jumlah mereka terlalu sedikit. Peluru mereka hampir habis.
Boris memandangi mayat Surya tanpa ekspresi. Hanya suara hujan dan deburan ombak yang terdengar. Semua orang di perahu itu terdiam, bahkan anak buah Boris sekalipun. Meski mereka memusuhi Surya, mereka tahu lelaki itu bukan musuh sembarangan. Ia seorang legenda di jalur pelabuhan.
Seorang anak buah Boris berbisik pelan, “Bos… mayatnya?”
Boris memandang laut yang hitam pekat, ombak bergulung tak henti-hentinya. “Buang,” jawabnya dingin. “Biar laut yang menguburnya.”
Dua anak buah maju, mengangkat tubuh Surya yang sudah tak bernyawa. Dengan satu ayunan berat, mereka melemparkannya ke laut.
BYUURRRR!
Tubuh Surya menghantam permukaan air, lalu tenggelam perlahan di antara ombak yang ganas. Tidak ada upacara, tidak ada doa, hanya hujan, angin, dan suara mesin perahu yang meraung pelan.
Setelah tubuh Surya hilang ditelan ombak, Boris berdiri di dek perahunya, memandang ke laut lepas. Wajahnya tetap dingin, tapi ada sesuatu di matanya kilatan singkat yang sulit diartikan.
Ia sudah menang. Surya sudah mati. Jalur pelabuhan kini miliknya sepenuhnya. Tidak ada lagi saingan besar yang bisa menantangnya.
Namun, entah kenapa, dada Boris terasa berat. Kemenangan ini tidak membawa kepuasan yang ia bayangkan.
Mungkin karena di balik semua pengkhianatan dan perebutan kekuasaan, ada rasa hormat tersembunyi yang pernah ia miliki untuk Surya. Mereka dulu pernah berada di pihak yang sama, pernah bekerja sama di bawah perintah Pak Arman. Kini, semua itu berakhir di tengah laut yang dingin.
Boris menatap laut yang hitam. “Selamat tinggal, Surya,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar.
Anak buahnya hanya saling pandang, tak ada yang berani bicara. Malam itu terasa panjang, hujan turun makin deras, dan angin laut membawa aroma kematian yang pekat.