“Di balik seragam putih abu-abu, Nayla menyimpan rahasia kelam.”
Di usia yang seharusnya penuh tawa dan mimpi, Nayla justru harus berjuang melawan pahitnya kenyataan. Ibu yang sakit, ayah yang terjerat alkohol dan kekerasan, serta adik-adik yang menangis kelaparan membuatnya mengambil keputusan terberat dalam hidup: menukar masa remajanya dengan dunia malam.
Siang hari, ia hanyalah siswi SMA biasa. tersenyum, bercanda, belajar di kelas. Namun ketika malam tiba, ia berubah menjadi sosok lain, menutup luka dengan senyum palsu demi sesuap nasi dan segenggam harapan bagi keluarganya.
Sampai kapan Nayla mampu menyembunyikan luka itu? Dan adakah cahaya yang bisa menuntunnya keluar dari gelap yang menelannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17
Sore itu langit mendung lagi. Seolah belum rela memberi jeda bagi Nayla untuk bernapas. Hari-hari terus berjalan tanpa ampun, tetapi waktu tidak menyembuhkan luka. ia hanya menumpuknya.
Nayla menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul lima lebih tiga puluh menit. Biasanya, Dio sudah pulang dari sekolah setengah jam yang lalu. Tapi hari ini, anak itu belum juga menampakkan batang hidungnya.
Nafas Nayla berat. Ia berdiri di ambang pintu, menatap jalanan sempit gang kontrakan, menanti siluet kecil yang dikenalnya. Tapi yang datang hanya suara angin dan bau got dari ujung gang.
“Lili,” panggil Nayla lirih, berusaha menenangkan diri.
“Minum susu dulu ya, nanti mbak bacakan buku cerita.”
Lili yang duduk bersila di depan televisi mengangguk pelan, memeluk boneka kelinci putih yang mulai kotor. Televisi menyala, tapi tak ada yang benar-benar mereka tonton. Hanya suara latar yang mengusir keheningan yang bisa membunuh.
Pukul enam lewat lima belas.
Akhirnya suara langkah kaki terdengar di luar. Pintu terbuka, dan Dio masuk. Seragamnya penuh noda lumpur, wajahnya kotor, dan rambutnya berantakan.
“Dio?” Nayla bangkit, langkahnya tergesa. “Kamu dari mana aja? Kenapa baru pulang? Lihat ini baju kamu kotor banget…”
Dio tidak menjawab. Ia hanya berjalan melewati Nayla seolah tidak ada yang menyapanya barusan. Kepalanya menunduk, matanya tidak mau bertemu pandang. Nayla mengikuti dengan bingung dan cemas.
“Dio, Mbak khawatir…” ucapnya lagi, lebih lembut.
Namun anak itu tetap diam. Ia melangkah menuju Lili yang masih duduk di lantai. Di sana, Dio berjongkok, membuka tasnya perlahan, dan mengeluarkan satu bungkus nasi yang dibungkus kertas cokelat dengan minyak menempel di ujung-ujungnya.
“Lili,” katanya pelan.
“Ayo kita makan.”
Lili menoleh dan tersenyum kecil. “Nasi bungkus? Buat aku?”
Dio mengangguk. “Iya. Buat kamu. Kakak beliin.”
Lili menerima bungkusan itu dengan antusias. Sementara itu, Nayla berdiri mematung. Jantungnya berdebar tak nyaman. Ada sesuatu yang terasa salah. Nalurinya berteriak, tapi mulutnya tetap mencoba bersikap tenang.
“Dio…” ucap Nayla, melangkah mendekat.
“Kamu dapat uang dari mana untuk beli nasi itu? Mbak kan sudah masak, kenapa kamu beli lagi?”
Dio tidak langsung menjawab. Tangannya sibuk membuka lipatan bungkusan nasi, lalu mulai menyuapi Lili. Gerakannya tenang, seolah tak ada hal yang salah dalam perbuatannya.
“Dio…” Nayla mengulang suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Akhirnya, suara itu keluar.
“Mulai sekarang, Mbak ndak usah masak lagi.”
Nayla terpaku.
“Biar aku aja yang kasih makan Lili,” lanjut Dio.
“Mbak nggak usah kasih kami makan pakai uang kotor yang Mbak dapat dari jual diri Mbak.”
Dunia berhenti berputar bagi Nayla.
Tubuhnya menegang. Dadanya sesak. Suasana di sekelilingnya memudar. Hanya suara itu… suara adiknya… menusuk lebih dalam daripada hinaan orang dewasa mana pun. Lebih mematikan dari pukulan ayahnya. Lebih menyakitkan dari semua luka di masa lalunya.
“Dio…” bisiknya.
Namun anak itu tidak menatapnya. Ia hanya fokus menyuapi Lili yang tampak bahagia menikmati makanannya.
Nayla melangkah mundur, punggungnya menyentuh dinding.
“Siapa yang bilang begitu ke kamu?” Suaranya serak.
“Siapa yang ajarin kamu bicara kayak gitu?”
Dio masih diam. Tapi kemudian, tangan kecil itu berhenti. Ia meletakkan sendok, dan perlahan menoleh ke arah Nayla.
Tatapannya tajam. Dingin. Bukan seperti tatapan anak-anak.
“Apa Mbak lupa, Ibu meninggal karena siapa?” ucap Dio, suaranya datar tapi menancap seperti sembilu.
Nayla terdiam. Dada sesaknya makin menjadi.
“Kalau Mbak nggak melakukan hal itu, mungkin sekarang Ibu masih hidup.”
Kata-kata itu seperti bom yang meledak di dada Nayla. Ia ingin menyangkal, ingin menjelaskan. Tapi bibirnya hanya terbuka tanpa suara. Ia membeku di tempat.
Dio menunduk sebentar, lalu kembali menatap kakaknya. Kali ini, sorot matanya lebih gelap.
“Ibu mati, bawa rasa kecewa, Mbak,” lanjutnya.
“Dan aku pun sama.”
Ia menghela napas pelan, lalu menoleh kembali ke nasi bungkusnya, menyuapkan satu sendok ke mulut Lili yang masih polos, belum mengerti apa pun.
“Aku kecewa sama Mbak.”
Kata itu pelan.
Tapi cukup untuk merobohkan dunia Nayla dalam sekejap.
...
Malam itu sunyi. Hanya suara desiran angin yang menyelinap lewat celah-celah jendela reyot dan rintik hujan ringan di atap seng yang menemaninya. Di atas ranjang tipis di sudut ruangan, Dio dan Lili telah terlelap dalam pelukan malam. Nafas keduanya teratur, damai, seolah dunia di luar tidak pernah sekejam itu.
Nayla duduk bersila di lantai, bersandar pada dinding dingin, dengan lutut dipeluk dan dagu bertumpu di sana. Matanya tak lepas dari wajah adiknya yang tertidur. Di sanalah, wajah kecil yang dulu selalu mengucapkan "mbak, jangan sedih ya", kini berubah menjadi suara paling menyakitkan yang terus berputar dalam pikirannya.
"Mbak nggak usah kasih kami makan dengan uang kotor."
"Kalau Mbak nggak ngelakuin itu, mungkin sekarang Ibu masih hidup."
Kalimat itu tak hanya menampar, tapi menancap.
Air mata kembali mengalir tanpa henti dari pelupuk matanya. Bahunya bergetar pelan, namun tangisnya tetap sunyi. Ia terlalu sering menangis sampai sudah tahu caranya menangis tanpa suara. Menangis dalam senyap adalah satu-satunya cara agar tak membangunkan kenyataan yang lebih menyakitkan.
Sampai akhirnya, dengan tubuh yang masih gemetar, Nayla bangkit pelan. Kakinya membawanya menuju lemari tua yang mulai keropos dimakan usia. Ia membuka daun pintunya perlahan, berdecit lirih, lalu menggapai tas selempang usang yang tergantung di dalam.
Dengan hati-hati, ia membuka ritsleting tas itu dan mengeluarkan sebuah kartu ATM berwarna hitam. milik Elvino.
Kartu itu terasa dingin di telapak tangannya, tapi yang lebih dingin adalah kenangan di baliknya. Kartu itu bukan hadiah. Bukan pemberian dari cinta atau belas kasih. Itu adalah bayaran. Atas malam hina di mana harga dirinya dikoyak oleh lelaki yang bahkan tidak benar-benar peduli padanya.
Ia menatap kartu itu lama.
"Aku harus mengembalikan kartu ini," gumamnya lirih. Suaranya serak, pecah oleh tangis yang belum reda.
"Aku harus berhenti."
Lalu ia menatap ke arah ranjang tempat Dio dan Lili tertidur.
“Aku nggak mau mereka semakin kecewa. Mereka mungkin tidak mengerti kenapa aku sampai melakukan hal menjijikan seperti ini.”
"Tapi, bukankah pembelaan diri sudah tidak penting lagi sekarang. Semua telah hancur."
Ia mengepalkan kartu itu erat-erat. Besok pagi, selepas mengantar Lili ke sekolah, ia akan mengembalikannya. Ia akan temui Elvino. Dan mengakhiri semuanya.
Namun, sebelum sempat ia menyimpan kartu itu kembali…
BRAAAKK!!
Suara pintu dibanting keras dari luar membuatnya tersentak.
Dengan panik, Nayla menyembunyikan kartu itu kembali ke dalam tas, menutupnya cepat-cepat, lalu menyelipkannya ke balik tumpukan pakaian dalam lemari. Jantungnya berpacu cepat, seolah tahu apa yang akan datang bukan hal baik.
Ia segera keluar dari kamar.
Dan benar saja.
Di ruang tengah yang remang, sosok ayahnya berdiri sempoyongan, tubuhnya terhuyung, bau alkohol menyengat menyelimuti udara.
Langkah kakinya gontai, tapi matanya menyala merah. Seperti iblis yang lapar akan korban berikutnya.
“Berikan aku uang!” bentaknya tajam.
Nayla berdiri tegak, meski tubuhnya gemetar. “Uang apa, Pak? Nayla nggak punya uang.” ucapnya pelan.
“Halah! Jangan bohong kamu!” Ayahnya menunjuk wajah Nayla dengan telunjuk kotor yang bergetar.
“Kamu udah jual diri, kan?! Pasti punya uang banyak! Jangan pura-pura suci!”
“Nayla nggak punya uang!” Nayla mencoba bertahan. Suaranya mulai meninggi, tapi tetap penuh ketakutan.
“Nayla nggak pernah simpan uang! Semuanya buat beli makan Dio sama Lili!”
Namun pria itu tak peduli.
Amarahnya meledak.
Dengan tinju yang kasar dan tak terkendali, ia menghantam wajah Nayla.
BUGHH!
Tubuh Nayla terjatuh menghantam lantai. Darah mengalir dari sudut mulutnya. Pandangannya berkunang-kunang. Tapi bukan rasa sakit yang paling menghantam. melainkan kenyataan bahwa ia baru saja dipukul oleh orang yang seharusnya melindunginya.
“Anak nggak berguna!” hardik ayahnya.
“Percuma kau jadi pelacur kalau masih hidup miskin kayak begini!”
Lalu, PRANGGG!!
Botol minuman yang ia bawa dibanting ke lantai. Kaca berserakan. Suaranya mengagetkan. Membelah keheningan malam.
Sang ayah tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya memandangi putrinya yang tergeletak di lantai dengan tatapan dingin, lalu berjalan pergi begitu saja, meninggalkan rumah itu dalam kekacauan.
Nayla tetap terbaring di sana.
Sendiri.
Tubuhnya sakit, tapi lebih sakit lagi jiwanya.
Ia ingin menjerit. Ingin marah. Ingin bertanya pada Tuhan, kenapa semua ini harus terjadi. Tapi tak ada suara yang keluar. Hanya air mata yang mengalir pelan, menelusuri luka di bibir dan luka di hatinya.
“Kalau aku mati… apa semuanya akan lebih mudah?” bisiknya dalam keheningan.
Namun, saat ia menoleh dan melihat Dio dan Lili yang masih tertidur di kamar. ia tahu jawabannya.
Tidak.
Jika ia mati, siapa yang akan menjaga mereka?
Siapa yang akan memastikan Lili tetap bisa tertawa?
Siapa yang akan menunggu Dio kembali dari sekolah, meski anak itu tak lagi menoleh padanya?
Dengan sisa tenaga, Nayla bangkit perlahan. Kakinya gemetar. Darah masih menetes dari mulutnya. Tapi ia tetap berjalan ke kamar, mengambil kain kecil, menyeka lukanya sendiri.
Ia terbiasa merawat luka. Karena tidak ada orang lain yang akan melakukannya.
Dan malam itu, di tengah luka, darah, dan air mata…
Nayla membuat janji pada dirinya sendiri.
Bahwa ia akan mengembalikan kartu itu.
Dan bahwa ia akan berubah. Demi dirinya sendiri. Demi dua anak kecil yang tertidur tanpa tahu, bahwa hidup mereka dipertahankan dengan nyawa seorang kakak.
kasian Nayla hancur N merasa bersalah bngt pastinya ..ibunya mninggal karna tau kerjaan nayla😭